Itulah yang sebenarnya sedari tadi ditunggu oleh sang gadis. Sebuah permintaan. Bukan lantaran ia memandang bahwa ia satu-satunya yang akan mampu menolong sang datuk, namun lebih kepada tata krama.Bungo tersenyum dan bangkit dari kursinya. Lantas ia melangkah ke belakang Talago, duduk bersila menghadap punggungnya.Ia menyentuh punggung Talago sebagai sebuah isyarat bahwa ia akan memulai penyaluran tenaga dalamnya.Talago paham itu, ia lantas memusatkan pikiran dan energi di dalam tubuhnya agar tidak melawan energi dari Bungo yang akan memasuki tubuhnya.Baru sekejap saja sang gadis menyalurkan hawa panas ke dalam tubuh sang datuk muda, wajah sang datuk sendiri langsung memerah. Hawa panas seolah memuai, keluar dari setiap pori-pori di tubuhnya. Bahkan di bagian ubun-ubunnya mengeluarkan uap tipis.Hingga pas sang surya berada di titik tertingginya, barulah pengobatan lewat olah tenaga dalam itu selesai.Talago terengah-engah dengan wajah dan sekujur badan bermandikan keringat, dan i
“Kau berusaha menampik, ya?” si jangkung kembali tertawa-tawa. “Dengar kalian semua, hai, orang-orang pasar!” ujarnya sembari mengembangkan tangan sedemikian rupa. “Pria muda itu,” ia menunjuk Talago dengan kasar, “mengaku sebagai si Kumbang Janti, salah satu dari Tujuh Hulubalang Minanga. Tapi tidakkah kita semua tahu bahwa si Kumbang Janti belumlah menikah? Masih lajang? Sedangkan dia… kalian bisa lihat sendiri, dia keluar bersama seorang gadis dengan tubuh basah oleh keringat.”“Hentikan ucapanmu yang mengada-ada itu!” ucap Talago dengan wajah yang kian memerah. “Jika tidak ada bukti, jangan menuduh sembarangan!”Sesungguhnya, ucapan si pria jangkung itu juga memancing tanda tanya besar dari semua warga yang ada di pasar tersebut. Begitu juga terhadap si pemilik penginapan. Sebelumnya, ia tidak pernah tahu gelar Talago selain karena pakaiannya itu sendiri.Dan ya, semua orang mengetahui bahwa Hulubalang Kerajaan bergelar si Kumbang Janti memanglah masih lajang, dan ketampanannya te
Sementara itu, Puti Bungo Satangkai hanya berdiri berdiam diri saja sembari mengawasi si pria jangkung. Tatapannya tidak terlepas dari yang satu itu.‘Mulutnya lebih beracun daripada ular sekalipun!’Plekh!Bungo mengernyit, menggeram ketika seseorang melemparinya dengan sebongkah sayuran, dan sayuran itu mengenai kepalanya.Ia melihat si pelempar sayur itu, tapi ia menjadi ragu untuk bertindak, sebab si pelempar itu ternyata seorang rakyat biasa yang terhasut oleh ucapan si pria jangkung.“Pergi kau!” teriak si pelempar.“Benar!” sahut yang lain pula. “Pergi dari kampung kami!”“Kalian telah berbuat tak senonoh di sini!”“Kalian hanya akan mendatangkan bala pada kampung kami!”Lalu, satu per satu benda-benda melayang ke arah Bungo. Berbagai jenis sayuran, bahkan ada pula bongkahan tanah dan batu, juga patahan kayu.“Pergi dari sini!”‘Ini tidak baik,’ pikir Bungo. ‘Orang-orang telah terhasut.’Meskipun hanya beberapa saja dari mereka sekarang, namun lambat-laun, hasutan itu pasti aka
Saat di tengah kekacauan itu, Puti Bungo Satangkai tidak melihat lagi keberadaan si pria jangkung yang telah memfitnahnya.‘Ini tidak baik!’Ia segera merangkul Talago, dan belum sempat sang Datuk Hulubalang itu mengatakan sesuatu, Bungo telah membawanya menghilang dari hadapan semua orang.Tiga orang yang menyerang Talago dan Bungo secara bersamaan hanya mengenai tempat kosong.Semua orang memandang ke sana kemari.“Di mana mereka?!” teriak seorang di antara ketiganya.“Mereka pasti menggunakan semacam pukau untuk mengelabui mata kita semua!” sahut yang lainnya pula.Dengan kemampuannya dalam gerakan Kabut Kahyangan, Bungo membawa Talago kembali ke kamar mereka tanpa seorang pun yang menyadari.Lalu, sang gadis menunjuk ke arah kamar mandi. Meskipun Talago tidak terlalu memahami apa yang dimaksudkan oleh Bungo, namun ia menurut saja.Setelah menyambar kembali baju dan detanya, Talago mengikuti Bungo ke dalam kamar mandi itu.Brakk!Semua mata tertuju ke kamar besar di mana Bungo dan
Ketiga pria itu sama terkejut dengan mata sama membelalak lebar. Orang yang sedang mereka bicarakan tahu-tahu jatuh di hadapan mereka dengan kondisi mengenaskan.“D—Dambi?!” pria kedua yang duduk di tepi beranda tergagap.Dambi si jangkung tergeletak di hadapan mereka dengan bergelimang darah di dada dan punggungnya.Ketiganya langsung bersiaga, berdiri mengelilingi Dambi dengan membelakanginya, mencari-cari siapa yang telah melemparkan tubuh sahabat mereka tersebut.“Siapa?!” teriak pria pertama. “Keluar, tunjukkan wajahmu!”“Jangan bertindak pengecut!” teriak pria ketiga.Seseorang di balik kerimbunan dedaunan sebuah pohon menyeringai demi mendengar kata pengecut yang diteriakkan di pria kedua.Saat pria kedua berbalik, hendak memeriksa kondisi si Dambi, sesuatu melesat ke arah mereka dari beberapa arah sekaligus.“Serangan…!” teriak peria ketiga sembari melompat menghindar.Begitu juga dengan pria pertama, tapi tidak bagi pria kedua yang ketika itu sedang membungkuk. Sesuatu itu me
Setelah berjalan cukup jauh, dari satu bagian ke bagian lain dari padang rumput di dataran tinggi itu, Talago dan Puti Bungo Satangkai tiba di depan sebuah telaga kecil yang dipenuhi oleh bunga teratai.Tepian telaga itu berbatu-batu, mulai dari yang seukuran seujung kuku, hingga ke ukuran sebesar-besar buah kelapa.Talago mengedarkan pandangannya, mencoba mengawasi kondisi di sekitar.“Kita harus memastikan terlebih dahulu,” ujarnya seraya melangkah ke sisi kanan. “Mungkin saja telaga kecil ini tempat berkumpulnya hewan-hewan buas.”Itu benar, pikir Bungo. Dan ia pun melangkah ke arah kiri.Mereka memeriksa jejak atau bekas dari keberadaan satu makhluk di sekitar sana. Entah itu jejak telapak kaki, ataupun kotoran dari hewan-hewan buas seperti harimua, serigala, ataupun beruang.Setelah memastikan tidak ada jejak dan bekas keberadaan hewan buas, barulah mereka menjadikan tepi telaga kecil itu sebagai tempat mereka beristirahat.Mereka duduk berdekatan, terpisah seuluran tangan. Talag
Tapi sangat sulit bagi Puti Bungo Satangkai untuk mengungkapkan perasaannya, dengan ketidakmampuan Talago memahami bahasa isyaratnya, sepertinya ia hanya bisa menahan semuanya di dalam dada.“Kau tahu,” ujar Talago yang tidak menyadari perubahan riak muka sang gadis. “Kabar berembus bahwa Teratai Abadi akan dapat memberikanmu umur yang panjang, kehidupan abadi sebagaimana dengan para dewa dan dewi.”Bungo menghela napas dalam-dalam untuk menghilang rasa sesak yang muncul atas praduganya tadi.Hanya itu alasan yang sepertinya lebih masuk akal, pikirnya. Dengan kabar burung seperti itu, bukan tidak mungkin bahwa ibunya—atau bahkan mungkin satu keluarganya—yang memegang satu kelopak Teratai Abadi, dan kemudian menjadi incaran orang-orang yang termakan kabar burung tersebut, berujung dengan kematian ibunya di dasar lembah Ngarai Sianok.‘Ya, sepertinya semua ini akan terungkap sedikit demi sedikit!’“Aku pernah bertemu seorang yang—katakanlah, sama sepertimu.”Bungo melirik Talago, tatapa
Talago tersenyum dan mengangguk. “Itu benar,” ujarnya. “Engkau dengan membawa salah satu kelopak Teratai Abadi dan hendak menuju istana, sementara Uda Sati pula memiliki dendam disebabkan Teratai Abadi menuju istana.”Bukan tidak mungkin kami memiliki persamaan dalam kasus ini, pikir Puti Bungo Satangkai demi mendengar cerita dari Talago barusan.“Tapi akhir cerita itu cukup membahagiakan,” ujar Talago.Kembali ia menghela napas dalam-dalam, tatapannya tertuju pada salah satu kuncup bunga teratai di tengah telaga kecil di hadapan mereka.Bungo memerhatikan riak wajah pria di samping kanannya itu.“Uda Sati akhirnya menikahi Ratu Mudo,” ujarnya. “Takhta kerajaan diserahkan kepada si Kuciang Ameh yang akhirnya bergelar Rajo Bungsu, ayahku dijemput kembali oleh Ibu Suri untuk tinggal dan bekerja di istana.”Yeah, itu sepertinya memang akhir cerita yang indah, pikir Bungo. Tapi, kurasa sangat berbeda dengan kisah dan cerita hidupku sendiri.Oh, Dewata Yang Agung… kuharap aku cukup kuat un