Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Inyiak Mudo harus menghentikan semadinya. Suara-suara halus yang berbisik ke dalam hati dan pikirannya cukup mengganggu meditasi yang telah ia mulai semenjak beberapa purnama yang lalu. Meditasi yang sesungguhnya tidak akan mungkin diganggu oleh orang lain sebab ia tinggal nun di sebuah pulau kecil nan terpencil.Pulau Sinaka, sebuah pulau yang berada di lepas pantai sebelah barat Pulau Swarnadwipa yang bermakna Pulau Emas. Atau setidaknya, begitulah kata para pedagang dari Gujarat dan Tiongkok Selatan.Namun, penduduk yang mendiami pulau besar itu lebih mengenal daratan tersebut dengan nama Andalas—kelak, nama itu akan berganti menjadi Sumatra.“Ada apakah gerangan?” gumam Inyiak Mudo setelah ia membuka matanya. “Mengapa suara-suara tak berwujud itu mengiang-ngiang dalam pikiranku?”Dan ketika ia memutuskan untuk berdiri, barulah terlihat bahwa pria yang berperawakan seperti seorang yang sudah berusia 70 tahun itu cukup pendek, hanya memiliki tinggi sekitar satu tombak[1] saja.Hanya
“Apa kau tidak bisa menunggu sampai hari pertemuan kita?” ujar Sabai Nan Manih. “Kita sudah berjanji hanya akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, Akhirali.”“Aku tahu, Sabai. Aku tahu,” kata Inyiak Mudo. “Hanya saja, sudah beberapa hari ini sesuatu mengganggu semadiku.”“Apa yang kau maksudkan itu?”“Entahlah,” kata Inyiak Mudo. “Seperti suara-suara halus yang terus mengiang di dalam pikiranku. Terkadang, seperti suara bayi yang menangis. Tapi, ada yang aneh dengan bayi itu yang aku sendiri sukar untuk menjelaskannya. Juga, suara rintihan kematian seorang wanita muda.”“Aneh sekali!” gumam Inyiak Gadih. “Selama ini, kau tidak pernah bercerita bahwa semadimu bisa terganggu?”“Itulah yang hendak aku ketahui sekarang ini,” Inyiak Mudo menghela napas dalam-dalam. “Bahkan, saat aku tidur pun aku berasian, memimpikan hal yang sama pula. Tapi, tetap saja semuanya samar. Suara siapa? Bayi siapa? Atau wanita yang mana satu? Semua tidak bisa kuingat dengan jelas.”“Oh, Dewa Yang Bijaksana,” I
Teph!Telapak Inyiak Gadih beradu kencang dengan tinju Inyiak Mudo, dan tertahan untuk beberapa saat di udara, tubuh keduanya juga ikut mengambang di antara dorongan dua tenaga dalam yang saling bertolak belakang.Jika Inyiak Gadih dengan Telapak Penghancur Raga-nya yang memiliki jenis tenaga dalam yang berinti panas, Inyiak Mudo pula memiliki inti tenaga dalam yang sangat dingin dengan Tinju Penghancur Sukma-nya.Inyiak Mudo mengumbar senyum. “Aku memang tidak berniat menandingimu, Sabai. Kau pasti tahu perasaanku padamu masihlah tetap sama.”“Tutup mulutmu, Tua Bangka!” Inyiak Gadih melipat gandakan tenaganya.Bahkan Inyiak Mudo tetap saja tersenyum meski tinjunya yang menahan telapak sang istri berdengung kencang. Suara berdengung akibat dari bergeseknya dua tenaga dalam mereka.Inyiak Mudo tahu pasti, sisi lain dari istrinya itulah yang membuat ia bersedih hati, yang membuat mereka harus terpisah. Inyiak Gadih seolah memiliki kepribadian ganda semenjak kematian putri mereka satu-s
“T—Tolong…”Wanita muda yang tengah hamil besar itu tidak lain adalah Zuraya yang beberapa saat yang lalu telah diperkosa oleh Darna Dalun sebelum akhirnya ia memutuskan untuk melompat ke lembah ngarai.Kondisinya sangatlah mengenaskan. Kedua kakinya patah, begitu juga dengan satu tangannya sementara tangannya yang lain terjulur ke arah Inyiak Mudo.Dari kondisi pernapasannya yang sepertinya tersumbat oleh genangan darah di hidung yang patah, dan di mulut dengan bibir yang pecah, Inyiak Mudo tahu pasti bahwa Zuraya sedang berada di ujung kematiannya.Darah juga terlihat mengalir dari selangkangan wanita muda yang adalah istri dari seorang Wali Jorong bernama Sialang Babega.Tentu saja, mata manusia biasa tidak akan mampu melihat semua itu di tengah kegelapan malam. Tapi tidak bagi si orang tua sakti tersebut.“I—Inyiak…” dengan napas yang hanya tersisa satu-satu, Zuraya yang tidak yakin apakah seseorang yang sedang berdiri di hadapannya itu adalah manusia ataupun jin penunggu lembah i
Lima tahun kemudian, Inyiak Mudo menepati janjinya terhadap istrinya, Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih. Hanya saja, kali ini ia datang ke Bukik Siriah dengan membawa seorang gadis kecil yang berusia lima tahun.“Kau pasti akan senang bertemu dengan Inyiak Gadih,” ujar Inyiak Mudo pada gadis kecil itu ketika mereka berada di atas sampan.Dan ya, sebagaimana dengan yang telah diperkirakan oleh Inyiak Mudo ketika ia menolong kelahiran gadis kecil itu, dia terlahir dengan kekurangan. Gadis kecil yang bahkan dalam usia semuda itu telah terlihat akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik, sayangnya ia tidak bisa bicara. Bahkan, ia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.Sebab itulah, ia membalas ucapan Inyiak Mudo hanya dengan gerakan isyarat tangannya.‘Benarkah, Inyiak?’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengusap kepala gadis kecil. Ia mendayung sampannya hanya sesekali saja, namun itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat sampan itu meluncur dengan sangat cepat.Dala
“Diam kau, Tua Bangka!”“Oh, Dewata Yang Agung,” keluh Inyiak Mudo berpura-pura bersedih hati. “Padahal aku yang merawatnya.”“Apakah kau juga tidak akan mengalah padaku untuk yang satu ini?”Inyiak Mudo hanya bisa tersenyum menahan tawa di dalam hatinya. Sesungguhnya, memang itulah yang ia inginkan, ketenangan sang istri. Lagi pula, sudah tidak terhitung entah berapa kali ia mengalah kepada istrinya tersebut. Termasuk, dengan harus hidup berjauhan.“Baiklah, baiklah,” ucap Inyiak Mudo. “Puti Bungo Satangkai. Kau puas?”“Sudah seharusnya!” balas Inyiak Gadih seraya menggendong si gadis kecil. “Kau suka nama pemberianku itu, Sayang?”Gadis kecil tersenyum dan mengangguk-angguk.“Anak pintar!” Inyiak Gadih tertawa pelan. “Kelak, jangan jadi seperti si Tua Bangka itu! Dia tidak bisa diandalkan!”“Hei, hei,” Inyiak Mudo menahan tawanya. “Jangan menjelek-jelekkanku di hadapan anak asuhku sendiri!”“Mari, Bungo,” ujar Inyiak Gadih dengan tidak menggubris ucapan sang suami. “Kita akan pergi