LOGINShen Liang, pewaris tahta Kerajaan Kencana Biru harus menelan kenyataan pahit. Kedua orang tuanya, Raja dan Ratu Kerajaan Kencana Wungu dibunuh di depan matanya. Yang tersisa hanya stempel kerajaan dan sebuah pedang pusaka kerajaan. Pedang itu dihuni roh leluhur sakti. TAPI GILA.
View MorePangeran Shen Liang bersembunyi di balik pilar-pilar tinggi raksasa, tubuhnya menggigil hebat disertai keringat dingin mengucur membasahi dahinya.
Udara malam yang lembab bercampur bau dupa yang harum. Tapi kini ditambah bau amis darah para prajurit pengawal raja yang sudah tumbang. Bau kematian membuat perutnya mual. Dari celah sempit, dia menyaksikan ayah dan ibunya dipaksa berlutut di hadapan Jenderal Bao Jun. Orang yang dulu selalu menunduk hormat, kini berdiri dengan pedang terhunus dan pandangan mata penuh aura kejahatan. Bao Jun, Jenderal yang paling dipercaya oleh sang Raja ternyata berkhianat dan melakukan kudeta malam itu. “Kenapa kau melakukan ini, Bao Jun?” Sang Raja bertanya dengan mata merah dan tatapn tajam yang menusuk. Bao Jun hanya menyeringai, “Heh?! Mengapa Baginda bertanya? Bukankah sejak dulu dunia memang begini? Mereka yang lemah akan ditindas oleh yang lebih kuat.” “Kerajaanmu ini, Baginda-, sudah keropos. Para pejabatnya korup. Kerajaan ini hanya menggantungkan diri pada kejayaan masa lalu. Sekarang, kejayaan itu sudah usang, Baginda.” “Apa salahnya kalau aku menggantikanmu untuk berkuasa? Hahaha!” tawa Sang Jenderal menggema ke seluruh ruangan. Shen Liang ingin maju, ingin berteriak, tapi tubuhnya lumpuh. Seumur hidup, ia hanya mengenal kesenangan, kemewahan dan pesta-pesta pora. Tak pernah terbayangkan olehnya kalau ternyata dunianya begitu rapuh. Yang dia tahu, dirinya adalah pewaris tahta Kerajaan Kencana Biru. Kerajaan dengan ratusan ribu tentaranya. Satu-satunya hal yang dia mengerti bahwa dia bebas melakukan apa saja. Semua orang tunduk pada keinginannya. Dunia ada dalam genggamannya. Tapi sekarang, ketika seluruh keluarganya di ambang maut, dia bahkan tak mampu bergerak satu inci pun karena dirantai oleh ketakutan. Bao Jun berjalan perlahan menuju kursi singgasana. Cahaya pedang Jenderal Bao Jun berkilat saat menebas, jeritan Sang Ratu pecah, lalu lenyap. Raja Sheng Xiu menerima tebasan tanpa suara. Hanya matanya yang terus melotot dan mendelik tajam pada jenderal pengkhianat yang akan mengakhiri hidupnya. Darah menyembur di lantai giok lambang kemewahan dan keagungan Kerajan Kencana Biru yang telah berumur ratusan tahun. Shen Liang merasa dunia seakan runtuh. Ia menutup mulut rapat-rapat dengan tangan gemetar, menahan tangis yang terus mendesak keluar. Jenderal Bao Jun dan beberapa tentara pengawal akhirnya pergi dari ruang singgasana itu, langkah zirahnya bergema dan menghilang di balik pintu. Shen Liang menunggu beberapa saat. Saat merasa sudah aman, dia akhirnya pelan-pelan merangkak keluar. Di dekat singgasana, ia menemukan ayahnya yang ternyata masih hidup, namun terbaring pucat dan berlumuran darah. “Liang … cepat … dengarkan …!” suara Sang Raja parau dan nyaris hilang. “Baginda Raja …,” balas Shen Liang memanggil ayahnya dengan suara tertahan. Air mata tak berhenti membasahi penuh wajahnya. Dengan sisa tenaga, Raja Shen memberi petunjuk tentang ukiran giok di dinding. Shen Liang menekan kepala naga pada ukiran itu, lalu dinding batu di belakang singgasana bergeser, Tampak lorong gelap yang menurun ke bawah tanah. “Di sana …, pedang pusaka …, dan stempel kerajaan …, itu warisanmu …” Sang Raja berbisik lemah. “Ayah …, maafkan aku …!” Shen Liang bersujud di samping Sang Raja sambil berurai air mata. “Liang … pergilah, Nak! Selamatkan dirimu …!” Cahaya di mata Raja Shen perlahan meredup lalu lenyap seiring akhir kehidupannya. Kata-kata itu adalah kata terakhir dari Raja Shen sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Pangeran Shen Liang berjalan gontai dalam diam. Dadanya sesak, air mata jatuh deras. Ia ingin tinggal, tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Satu-satunya pilihan hanyalah masuk ke lorong itu mencari warisan yang diberitahukan ayahnya. Warisan yang lebih dia rasakan seperti kutukan. Shen Liang bersujud tiga kali di hadapan mayat kedua orang tuanya lalu beranjak memasuki lorong rahasia itu. * Lorong itu terasa sempit dan dingin. Dinding batu berlumut lembab dan bau tanah memenuhi udara. Dia lalu terduduk dan bersandar. “Haaaaahh!" "Haaaaaaahhhh …!!” Teriakan Shen Liang yang menyayat bergema di lorong sempit itu. “Tidak …! Ini pasti mimpi …!” ia berulang-ulang berbisik pada dirinya sendiri. Tapi bau darah yang masih menempel di hidung menegaskan-, semua itu nyata. Penyesalan menghantamnya, selama ini ia hanya tertawa dan meremehkan latihan bela diri, dan kini kebodohan itu menampakkan wajahnya yang sebenarnya. Ratusan hari tertawa terganti oleh tangis hanya dalam satu malam. Dirinya hanya pangeran manja, tak siap menghadapi dunianya yang ternyata rapuh. Tahta dan warisannya dirampok orang dan dia tak bisa berbuat apa-apa Lorong itu berakhir pada sebuah ruangan kecil. Di sana tersimpan pedang pusaka berkilau samar berwarna biru, berdampingan dengan stempel giok kerajaan yang berwarna hijau dengan ukiran-ukiran yang juga biru. Sang Pangeran menggenggam keduanya dengan tangan gemetar, benda-benda itu terasa lebih berat daripada yang sanggup ia pikul. Di ruangan itu terdapat pintu di sebelah kanan menuju lorong selanjutnya. Perjalanan mulai menanjak. Shen Liang terus menyusuri lorong bawah tanah itu, entah sudah berapa puluh meter dia berjalan. Rupanya lorong itu berujung di satu ruangan dalam gedung tabib istana. Udara malam menyambutnya. Dari jendela, ia melihat ibu kota dengan suasana kacau balau. Api menjilat-jilat langit. Dari kejauhan terdengar jeritan-jeritan bercampur denting senjata. Ia berdiri terpaku, pedang dan stempel digenggam dengan tangan yang masih terus menggigil. Dunia Pangeran Shen Liang sudah berubah jadi neraka. Dia keluar dari gedung dan menuju gerbang timur, berjalan seadanya dengan pikiran kosong. Langkahnya terhenti ketika seorang prajurit pemberontak muncul dari balik reruntuhan. “Pangeran?!” suara itu terdengar membentak dengan nada ejekan, “Tak kusangka kau masih hidup.” Shen Liang terlonjak, dia mengeluarkan pedang pusaka dari sarungnya. Tapi genggamannya kaku, gerakannya kikuk sambil melangkah mundur. Saat tebasan pertama datang, ia menangkis asal-asalan. Benturan logam mengguncang tangannya, hampir membuat pedang terlepas. “Hahahaha ..,” prajurit itu tertawa mengejek, lalu menyerang lagi. Shen Liang terhuyung, nafasnya kacau. Penyesalan membanjiri dadanya. Seluruh latihan yang dulu dianggap main-main kini terasa sebagai dosa. Tiga prajurit lain muncul dari balik asap mengepungnya. Sabetan dan pukulan bertubi-tubi menghantam. Shen Liang jatuh tersungkur saat mendapatkan tendangan lutut yang mendarat telak di ulu hatinya. Dia dipukul, disiksa tanpa ampun. Pedangnya nyaris terlepas, darah entah dari mana menetes di gagang. Sang Pangeran pewaris tahta Kerajaan Kencana Biru kini jadi bulan-bulanan para prajurit pemberontak. ‘Bocah tolol . . .' Dalam kesadarannya yang memudar, Shen Liang mendengar bisikan. Anehnya bisikan itu seperti berada dalam kepalanya. Suara bisikan itu terdengar serak dan berat. Hawa dingin merayap perlahan dari bilah pedang masuk ke nadinya. Pelan-pelan terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Bisikan-bisikan asing, dingin, namun membakar, memenuhi kepalanya. Bisikan nafsu dan aura membunuh. Pandangannya mulai kabur, Shen Liang antara sadar dan tidak, mulai tertawa cekikikan. “Hihihihi … Hahahahaha!” “Hiiiaaaaah, hahahahaha!” Mata Shen Liang berkilat liar. Dia bangkit dan langsung menebas ke arah para prajurit. Satu orang prajurit langsung terkapar tanpa nyawa. Tiga prajurit lainnya beringsut mundur beberapa langkah dengan sikap siaga. Sementara Sang Pangeran lagi-lagi cekikkan dan terbahak-bahak. “Ada apa dengannya?” tanya salah satu prajurit. Ketiganya saling berpandangan. Salah satunya terkekeh sambil menyeringai, “Heheh, paling dia sudah gila karena kehilangan mahkota dan keluarganya. Serang!” Prajurit itu berteriak sambil melompat menerjang ke arah Shen Liang dengan sabetan pedangnya. Dua lainnya ikut menyusul. Namun, di luar dugaan. Jeritan pecah! Darah muncrat ke segala arah, dua prajurit tumbang hanya dalam beberapa jurus. Sampai hanya tersisa satu. Shen Liang terengah, wajahnya berlumuran darah, sedangkan bola matanya berputar-putar liar. Perlahan kesadarannya mulai kembali. Dia kebingungan, hatinya dicekam perasaan ngeri melihat mayat-mayat prajurit bergelimpangan. Apakah benar semua itu dirinya yang lakukan? Prajurit terakhir sambil memegang perutnya yang berdarah meludah dan mendengus. Dia tak sudi dikalahkan oleh seorang Pangeran manja dan sudah jadi gila. Prajurit terakhir maju, pedang teracung. Shen Liang yang kehabisan tenaga tahu ajal sudah dekat. Namun, tiba-tiba prajurit itu ambruk di tempatnya berdiri. Terkapar tanpa suara. Shen Liang mendongak. Nampak siluet seorang sosok gadis berdiri dengan belati berlumuran darah. Wajah manisnya terlihat samar diterangi cahaya api. Usianya mungkin tak jauh beda dengan Shen Liang, sekitar 17 tahun. Tapi kontras dengan wajah manis itu, sorot matanya dingin dan tajam. “Kalau kau terus bengong begitu, umurmu takkan panjang, Pangeran,” suara wanita itu setengah berbisik dan terdengar datar. Shen Liang hanya terdiam, dada naik turun cepat, tak tahu apakah harus bersyukur atau takut pada sosok asing itu. ***** Bersambung“Mei Lan! Seranganmu terlalu dangkal!” teriak Cao Yun sambil menahan gempuran pedang naga Shen Liang yang hampir merobek pundaknya. Suara benturan logam menggema keras, percikan cahaya Qi liar beterbangan ke udara. Formasi Bintang bukan hanya soal posisi. Itu tarian maut, di mana tiap langkah dan tiap tebasan harus seirama, setara, tanpa keraguan sedikit pun. Satu orang goyah, seluruh formasi bisa runtuh. Mei Lan menggertakkan giginya. Dadanya naik-turun, keringat bercampur darah menetes dari pelipis. Dirinya sadar jenderal Cao Yun benar. Belatinya terlalu ringan, terlalu hati-hati. Ada keraguan di tangannya setiap kali bilahnya hampir menusuk tubuh Shen Liang. “Maaf, Jenderal…” suaranya nyaris tak terdengar, tapi sorot matanya mulai mengeras. Cao Yun menekan pedangnya, lalu berteriak lantang: “Serigala! Serang!” Wu Ling dan Wu Lan langsung melesat bagai bayangan hitam. Wu Ling menusuk dengan pedang pendeknya beruntun, kilatan baja berdesir seperti hujan rintik. Wu Lan
Mo Tian menatap tajam pedang pusaka berkepala naga itu. Jemarinya yang kurus tapi bertenaga menyentuh permukaan bilahnya, seakan mencoba membaca jejak waktu dari dingin logam tersebut.“Sejak kapan Pangeran memegang pedang ini?" “Murid tidak tahu pasti, Guru. Hamba hanya melihat pedang itu selalu ada di sisinya.”Mei Lan ikut menyambung, “Seingatku… sejak hari aku pertama kali menemuinya.""Saat itu istana sudah dilalap api kudeta. Pangeran Shen Liang lolos dengan luka-luka parah, tapi pedang ini tergenggam erat di tangannya. Sejak hari itu, pedang ini tak pernah lepas darinya.”Mo Tian mengangguk tipis, seolah-olah jawaban itu meneguhkan kecurigaannya. Matanya memicing menatap Shen Liang yang terbaring, lalu kembali pada bilah pusaka yang memantulkan cahaya temaram gua.“Qi Liar ini memang telah berakar dalam tubuhnya,” gumamnya pelan, “namun terasa baru". "Biasanya Qi yang berakar sudah bersemayam puluhan bahkan ratusan tahun dalam garis darah pemiliknya. Tapi kasus Pangeran ini b
Wu Ling hanya terdiam, keringat dingin merembes di pelipisnya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya: apakah sosok di depan mereka punya lebih dari satu wujud? Atau suara di luar tadi hanyalah dari kekuatan anehnya?Kalau ternyata itu memang kekuatannya, orang tua di hadapan mereka ini, tentu tak terukur kesaktiannya.Sosok tua berjubah putih itu membuka matanya perlahan. Sepasang mata yang jernih, setenang dan sedalam danau gunung, menatap mereka semua. Dalam tatapan itu, Wu bersaudara dan Mei Lan merasa seperti seluruh tubuh mereka bisa dibaca hingga ke tulang.Hening menekan. Hanya suara gemericik air terjun kecil yang mengisi udara.Cao Yun melangkah maju, lalu berlutut kembali dengan kedua tangan merapat di depan dada. Suaranya dalam, seperti penuh penyesalan.“Guru, murid menghaturkan beribu maaf karena telah berani melanggar perintahmu. Guru sudah melarangku menginjakkan kaki di gunung ini lagi … tapi keadaan memaksa. Murid merasa tak punya pilihan lain.”Orang tua berjubah putih i
"Justru karena di sini berbahaya, maka tempat ini paling aman untuk bersembunyi," jawab Cao Yun pada Wu Lan dengan pandangan berbinar."Lagipula, kaliankan Pasukan Serigala yang bergerak bagaikan kilat. Membunuh dengan cepat. Hantu mana yang berani menggangu kalian?""Tch," Wu Lan hanya mendengus singkat mendengar jawaban Jenderal Cao Yun.Tentu saja Wu Lan tak takut dengan manusia. Entah berapa liter darah yang pernah mampir di senjata cakar besinyaTapi kalau lawannya makhluk antah berantah, hantu, dedemit atau semacamnya, bahkan dirinya si ratu Serigala paling buas, tidak yakin kalau cakarnya bisa banyak berguna.Wu Ling dan Mei Lan hanya menahan tawa melihat kontradiksi seorang Perwira Pasukan Serigala Hitam bernama Wu Lan. Kejam, beringas, berdarah dingin tapi takut hantu.Pendakian panjang akhirnya membawa mereka tiba di puncak. Kabut yang tebal perlahan tersibak, menyingkap sebuah dataran luas.Di tengah puncak itu terbentang lapangan alami yang dikelilingi ngarai-ngarai raksas
Seminggu kemudian. Kabut pagi masih menggantung di sekitar desa kecil itu. Embun terasa segar membasahi halaman bambu di belakang rumah Guo Shan. Wu Lan bergerak cepat, cakarnya berkelebat, menyambar ke arah Mei Lan. Tapi Serigala Kecil itu memiringkan tubuhnya lincah, kaki kirinya menjejak tanah dan tubuhnya berputar, menangkis serangan dengan kedua belatinya. Trang! Bunyi senjata beradu nyaring. Mei Lan terdorong dua langkah ke belakang, bahunya naik-turun menahan nafas, wajahnya pucat namun matanya bersinar penuh semangat. “Heheh …, belum pulih sepenuhnya, tapi gerakanmu lumayan cepat,” ujar Wu Lan, sudut bibirnya terangkat. Mei Lan mengusap keringat di pelipisnya dan menyeringai tipis. “Aku tidak bisa berlama-lama lemah. Kita masih dalam pengejaran.” Jenderal Cao Yun dan Wu Ling berkelebat muncul dari arah hutan Wu Lan dan Mei Lan serempak langsung menunduk hormat. “Jenderal!” Cao Yun berjalan mendekat, tatapannya menyapu singkat lalu berhenti pada wajah Mei Lan.
Shen… Liang…” suara Mei Lan yang lemah menembus kabut darah dan kegilaan. “Shen Liang…” Mei Lan melangkah terseok-seok dan perlahan, menembus lingkaran para pasukan Serigala Hitam menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan tiba-tiba datang menghadang, di depan “Oi, Mei Lan! Kau mau bunuh diri, ya?!” Tapi Mei Lan nampak tidak peduli. Dia terus saja berjalan menuju ke arah Shen Liang. Wu Lan berniat memukul tengkuk Mei Lan untuk membuatnya pingsan. Tapi Jenderal Cao Yun tiba-tiba bersuara. "Biarkan dia!" Tanpa mereka sadari Sang Jenderal juga sudah muncul di arena pertarungan. Pandangan matanya berbinar dengan sorot mata yang bening saat melihat Mei Lan yang semakin mendekat ke arah Shen Liang. Jenderal Cao Yun seakan-akan menikmati sebuah pertunjukan. Wu bersaudara saling menatap. Para pasukan Serigala Hitam siaga penuh. Karena bila Si Pangeran Gila kembali mengamuk, mereka sudah siap menyerang dengan Formasi Bintang Sembilan. Juga, sebisa mungkin mereka harus berusaha menyelamatka
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments