Di atas sampan kecil milik mendiang Inyiak Mudo, Puti Bungo Satangkai berdiri menatap ke arah Pulau Sinaka yang semakin jauh dan semakin jauh ia tinggalkan. Air matanya telah berlinang semenjak ia meninggalkan tepian pantai tadi.‘Selamat tinggal, Inyiak Mudo, Inyiak Gadih, aku memulai langkahku sendiri di kehidupan yang lebih nyata. Aku akan selalu mengingat Inyiak berdua, mengingat semua pesan dan nasihat kalian…’Sampan kecil terus bergerak ke arah timur, ke pulau besar bernama Andalas. Di mana, di sanalah nanti perjalanan yang sesungguhnya dari Puti Bungo Satangkai akan bermula.Mengandalkan ingatan dan jalur yang biasa dilalui oleh Inyiak Mudo sebelum-sebelum ini, Puti Bungo Satangkai mengambil jalur yang sama pula. Ia juga melabuhkan sampannya berjauhan dari keramaian Bandar Bangkahulu.Tapi di titik itu kini juga telah ramai. Titik di mana sering digunakan Inyiak Mudo untuk menambatkan sampannya di masa-masa yang lalu. Sehingga ketika gadis jelita itu menepikan sampannya, ia me
Pada masa itu, Kerajaan Minanga masih dipimpin oleh si Kuciang Ameh yang bergelar Rajo Bungsu yang sudah berusia 60 tahun. Permaisurinya adalah Upik Andam—48 tahun, yang bergelar Ratu Nan Sabatang sebab ia adalah anak tunggal dalam keluarganya. Tiga belas tahun kepemimpinan Rajo Bungsu di Istana Minanga, kondisi kehidupan rakyat telah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Keberadaan Ratu Mudo alias Puti Pandan Sahalai semenjak menikah dengan Buyung Kacinduaan alias Mantiko sati, dan setelah menyerahkan tampuk kekuasaan pada si Kuciang Ameh, tidak lagi diketahui. Pasangan suami-istri muda itu menghilang tanpa jejak seolah ditelan oleh bumi. Beberapa kali Rajo Bungsu mencoba mengutus orang-orang istana guna menyambung tali persaudaraan di antara mereka, namun selalu berakhir dengan kegagalan. Tapi paling tidak, Rajo Bungsu yakin bahwa kemenakannya si Puti Pandan Sahalai itu berada di tangan yang aman, Mantiko Sati bukanlah pemuda sembarangan. Ia pendekar yang berilmu tinggi dan sangat
Perampok itu terpelanting beberapa langkah ke belakang, terhempas dengan posisi berlutut. Untuk sesaat, ia seperti mampu menahan serangan tak berwujud tersebut. Detik selanjutnya, ia mengernyit, mengerang seperti orang yang benar-benar dalam kesakitan, lalu muntah darah, dan tumbang dengan tertelungkup di tanah.“Keparat…!” maki perampok ketiga, ia dan perampok keempat bersiaga dengan senjata masing-masing di tangan meski setengah ke bawah tubuh mereka sama-sama telanjang.Sementara itu, gadis yang menjadi korban pemerkosaan keempat perampok itu bangkit dan beringsut menjauh dengan cepat, ia meraih pakaiannya yang telah robek-robek hanya demi menutupi dua bagian pribadi di tubuhnya.Dan ketika perampok kedua itu terhempas, hanya sekitar tiga langkah saja dari posisinya kini, ia terperanjat, dan menggigil ketakutan.Masalahnya, gadis itu bukanlah seorang yang mengerti silat dan kesaktian. Dengan kata lain, ia juga tidak melihat siapa yang menyerang perampok-perampok tersebut. Janganka
“T—Tidak, jangan mendekat,” lalu sang gadis menjatuhkan diri, bersujud ke tanah, kepada Puti Bungo Satangkai. “Saya mohon. Saya tidak bersalah, o—orang-orang jahat itulah yang telah melakukan keburukan di kawasan ini. M—Mereka memperkosa—”Sang gadis terdiam sebab pada saat itu Puti Bungo Satangkai berjongkok di hadapannya, menyentuh bahunya dengan lembut, dan tersenyum manis seolah menawarkan persahabatan, bukan ketakutan.“U—Uni,” ujar sang gadis, “b—bukan Sibunian?”Puti Bungo Satangkai menggeleng dengan senyuman.“Bukan h—hantu?”Kembali ia menggeleng.Meskipun dalam hal usia Puti Bungo Satangkai mungkin memang lebih tua daripada gadis di hadapannya itu, namun soal wajah dan penampilan, Puti Bungo Satangkai justru terlihat jauh lebih muda.Namun begitu, gadis tersebut sengaja memanggil orang yang telah menyelamatkannya itu dengan kata Uni hanya sebagai tanda menghormati saja.Si gadis bisu melirik ke samping si perampok kedua yang tertelungkup di samping kanannya. Ia lantas membet
Tidak berapa lama, mereka sampai di depan sebuah gubuk yang dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Gubuk itu tidak besar, dan seperti sebuah rumah panggung, ciri khas masyarakat Minanga pada saat itu.“Ini rumahku,” ujar Sarah seraya mengajak Puti Bungo Satangkai untuk memasuki gubuk tersebut.“Siapa yang kau bawa bersamamu itu,” satu suara terdengar dari arah samping kanan gubuk. “Sarah?”“Mak Uncu,” ujar Sarah. “Ini, Bungo. Tadi, dia telah menyelamatkanku.”“Menyelamatkanmu?” pria sepantaran 40 tahun dengan tubuh sedikit kurus itu mengernyit. “Apa yang terjadi?”Di tangannya, pria yang dipanggil Mak Uncu oleh Sarah tersebut membawa sebuah bungkusan dari daun pisang, dan sebilah cangkul bergagang pendek di tangan lainnya. Ia hanya mengenakan celana komprang usang sebetis itu saja, tanpa ada pakaian lain di bagian atas. Dan sebuah ikat kepala yang juga usang di keningnya.Wajah, tangan, dan kakinya terlihat basah yang menandakan ia baru saja membersihkan anggota tubuhnya terse
Entah apa pun yang terjadi di antara Sarah dan pamannya itu, Bungo hanya mengangguk saja. Ya, gadis itu terlihat sedikit cemas, pikirnya, meskipun ia tahu dan melihat sendiri bahwa Sarah sempat diperkosa oleh salah seorang perampok itu sebelumnya. Bisa jadi pula tiga lainnya telah memperkosa Sarah juga.‘Siapa yang bisa tahu?’Sang paman menyipitkan pandangannya terhadap Sarah, lalu beralih kepada Bungo.“Dari mana kau berasal?”“Ermm, Mak Uncu,” kata Sarah, “Bungo ini bisu, dia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.”“Hmm, begitu, ya?” Mak Uncu sedikit menyeringai.Bungo melihat itu, namun ia tetap memilih untuk bersikap tenang-tenang saja.“Tapi ini luar biasa. Kau seorang gadis bisu, tapi mampu mengalahkan perampok-perampok itu.”“Benar, Mak Uncu,” sahut Sarah. “Bungo sangat lihai, ilmu silatnya sangat tinggi.”Bungo menegur Sarah dengan garakan tangannya. ‘Jangan berlebihan.’“Tapi kau memang sangat kuat, Bungo. Andaikan saja kau tidak ada di sana, entah apa ya
Persimpangan yang dimaksudkan oleh Sarah tadi tidaklah dekat, tapi itu tidak masalah bagi Puti Bungo Satangkai. Lagi pula, jalan setapak itu sangat-sangat sepi dengan kondisi hutan lebat di kiri dan kanan. Bahkan, semenjak tadi, ia tidak melihat seorang pun di jalan setapak tersebut.Bungo juga tidak merasa bahwa Sarah telah membohonginya atau menjebaknya demi satu dan lain kepentingan. Ia masih bisa melihat sang mentari di sisi kiri langit, yang berarti ia memang sedang menuju ke arah utara.Setelah jauh berjalan, Bungo akhirnya tiba di persimpangan yang dimaksudkan oleh Sarah sebelumnya. Ia menghela napas, melirik ke kiri, lalu ke kanan. Kondisi jalan tanah itu sama saja, seperti jalan setapak yang nyaris tidak pernah dilalui orang.Paling tidak, sang gadis meyakini hal ini sebab tidak banyak rumah penduduk yang bisa ia lihat sepanjang perjalanannya barusan. Terhitung hanya tiga rumah—itu pun sudah termasuk dengan gubuk milik Sarah dan pamannya itu.Setelah menimbang-nimbang untuk s
Ayah dan anak itu masing-masing membawa sebilah parang, sebuah suluh dari daun kelapa kering sebagai penerangan mereka, dan di punggung sang anak, ia membawa sebuah keranjang rotan yang cukup besar.“Mari,” ajak si pria 50 tahun kepada Bungo. “Kami pun kebetulan sudah selesai mencari lauk.”Sang pemuda pun mengangguk tersenyum kepada Bungo.Setelah itu, Bungo mengikuti langkah ayah dan anak tersebut. Melihat dari apa yang mereka bawa, Bungo cukup yakin bahwa keduanya sebelumnya tengah mencari ikan atau juga belut di aliran air itu tadi.Di dalam keranjang rotan di punggung sang pemuda, Bungo dapat melihat beberapa ekor ikan dan belut, juga seikat besar kangkung. Ia tersenyum, lebih kepada menghargai kebersamaan ayah dan anak tersebut. Hal ini membuatnya mengingat bahwa ia tidak seberuntung itu. Tidak mengetahui siapa ayah dan siapa ibunya. Kecuali, Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih saja.Setelah melewati pepohonan yang rimbun di sisi timur, mereka tiba di satu kawasan yang lumayan terbuka.