"Apa yang harus aku lakukan, Bu? Rasanya lelah sekali terus menerus menghadapi masalah seperti ini." Ibu mengusap-usap lenganku dengan tidak mengalihkan pandangan. Semuanya telah aku ceritakan pada Ibu. Aku benar-benar sudah tidak sanggup menampung beban ini. Aku manusia yang lemah, wanita cengeng yang sedang berpura-pura kuat. Di depan Ibu, wanita yang telah melahirkanku, aku tumpahkan semuanya. Air mata terus bercucuran dengan bibir yang tak hentinya berucap mengungkapkan isi hati yang sudah merasa lelah dengan kehidupan rumit ini. Sekarang, bebanku sedikit berkurang, tapi hatiku tetap tak tenang. Masih ada yang mengganjal, jika belum menyelesaikan masalah yang ada. Apalagi ketidakadaannya Soni di rumah, membuatku semakin gundah. Takut, jika pria itu berbuat nekad yang akan merugikan dirinya sendiri. "Sekarang, maunya kamu apa, Num?" Aku mengusap kedua mata yang sedari mengeluarkan cairan bening. Kemudian mengadahkan kepala sebentar, lalu kembali menatap Ibu. "Aku ingin perg
Aku tidak menolak. Langsung pergi ke lantai dua untuk mengambil tas dan ponsel Soni yang ada di sana. Setelahnya, kami pun berangkat ke kedai mengunakan mobil. Sedangkan motor, Soni masukkan ke dalam ruko. Hari masih pagi, tapi hati sudah panas dingin. Rasanya tidak sabar untuk segera bertemu dengan Nabila dan melihat wajah itu ketika kebusukannya terbongkar. "Sat, gue lagi di jalan mau ke sana, kedai tutup dulu bentar, ya? Ada yang ingin gue selesaikan dengan kalian."Aku melirik Soni yang sedang berbicara dengan seseorang di sebrang telepon. Jika dari panggilannya, sepertinya Satria yang dia hubungi."Emh ... satu lagi. Jangan kirim pesan apa pun pada Nabila. Baik kamu, maupun Miranda. Biar aku yang akan menyuruh Nabila," tutur Soni lagi masih dengan sebelah tangan memegang ponsel. Setelah selesai bicara, Soni menyimpan ponselnya di dashboard mobil. Kemudian dia melirik ponsel Mas Sandi yang ada di sana. Tanganku langsung mengambil ponsel itu sebelum Soni menyentuhnya. Aku tidak
"Ya Allah, Bila .... Kenapa, lo gak pernah cerita sama gue atau yang lainnya? Terus, masa, lo mau ngasih duit haram buat pengobatan bokap? Durhaka, lo!" "Gue, gak peduli, Mir! Yang penting Papa sembuh, dia bisa sehat lagi kayak dulu! Gue udah gak peduli dengan harga diri, duit halal atau haram, semua untuk Papa, akan gue lakuin! Gue, gak punya siapa-siapa selain dia! Gue, gak mau hidup sebatang kara." Kini tangis Nabila semakin pecah. Dia tergugu dengan menelungkupkan wajah pada lipatan tangan di atas meja. Jadi, itu alasan dia berani menerima tawaran Mas Sandi? Miris. Demi untuk kesembuhan ayahnya, Nabila rela merendahkan dirinya dengan bekerja sama dengan mantan suamiku. Namun, apa pun alasannya, itu tidak dibenarkan. Dia tetap salah, meskipun di hatinya ada kemuliaan untuk kesembuhan sang ayah. "Sudah, jangan ditekan terus. Yang penting sekarang, kita sudah tahu alasannya," ujar Soni menghentikan Miranda yang terus mencecar Nabila dengan berbagai pertanyaan. Dia juga tidak a
Pandanganku dan Soni bertemu saat mendengar suara seorang wanita yang berteriak dari dalam rumah. Disusul oleh teriakan Mama yang memanggil nama putranya. Aku dan Soni buru-buru masuk ke dalam rumah untuk melihat apa yang terjadi. Sungguh mengagetkan, Mas Sandi tergeletak di lantai dengan kedua wanita bersusah payah untuk membangunkan pria itu. "Mas Sandi kenapa, Mah?" tanya Soni membuat wanita paruh baya itu menoleh ke arah kami. "Jatuh, Soni. Tolong batu Mama bawa dia ke kamar." Mama menggeser tubuhnya agar Soni bisa menghampiri Mas Sandi yang terlihat begitu lemah. Beberapa hari tidak berjumpa dengannya, kulihat ada perubahan pada tubuh pria itu. Dia semakin kurus dan pucat. Sakit darah tinggi yang dia derita, terlihat sangat menyiksanya. Bagiamana tidak, dia tidak mau minum obat dan berobat seperti yang pernah dikatakan Mama padaku. "Ayo, bantu naikan ke punggungku," ujar Soni. Suamiku menggendong Mas Sandi yang terkulai di punggungnya. Dia membawa pria itu ke kamar bawah
"Maaf, Son, aku terlalu lelah dengan masalah hidupku, jadi ... agak ngawur.""Ya, gak apa-apa, aku ngerti, kok."Soni melepaskan genggaman tangannya, lalu menghentikan taksi. Dia membukakan pintu, menyuruhku masuk terlebih dahulu. "Kalau kita membahas dua pilihan tadi, aku memilih pergi daripada harus melihat Mas Sandi mati. Maaf, bukannya aku membela dia karena kami saudara, tapi ... umur seseorang tidak ada di tangan kita, bukan?" Aku menoleh ke arah pria yang memiliki hidung bangir itu, kemudian mengangguk seraya tersenyum tipis."Terus, kalau kita akan pergi, pergi ke mana, ya kira-kira?" tanyanya lagi. "Belum tahu. Bisa, gak kalau ke sekolah Shanum dulu? Ini sudah waktunya dia pulang."Soni mengiyakan. Dia menyuruh supir taksi untuk pergi ke sekolah putriku. Tidak lama kami menunggu, Shanum keluar dari kelas dan kami langsung pulang. Sepanjang perjalanan, Soni dan Shanum bercengkrama sangat akrab. Sedangkan aku, memilih diam dengan menyandarkan kepala pada jok mobil. "Mbak,
Niat hati ingin istirahat, aku urungkan saat melihat Soni kerepotan dengan pembeli. Aku pun menghampiri dia, membantunya mengambil barang yang diinginkan para pelanggan. "Loh, kok ke sini? Bukannya mau istirahat?" tanya Soni saat aku berdiri di samping dia yang tengah menulis nota belanjaan. "Mana bisa, Soni. Istri macam apa aku ini, yang malah tidur saat suami sibuk?"Soni menoleh sejenak, lalu tangan memegang ponsel mencolek pinggangku. Aku melotot ke arah dia, mencubit pundaknya lumayan keras.Satu sampai tiga jam berjalan, pelanggan datang semakin banyak. Tangan dan kaki sudah pegal, apalagi perut yang mulai memberikan isyarat minta di isi. "Perutmu demo, Mbak. Makan dulu, gih?" ujar Soni. Aku menggelengkan kepala. Sekarang, ganti posisi. Aku yang mencatat nota belanjaan, dan Soni yang mengambil dan mengemas barang yang dibeli dalam jumlah banyak. Jika hanya sekedar beberapa barang saja, biasanya aku menyuruh pembeli mengemasnya sendiri. "Mbak, mau ambil belanjaan punya Mama
"Rambutmu sudah panjang, Son. Potong, gih biar rapi.""Enggak, ah sayang," ujar Soni seraya menyusupkan wajah ke cengkuk leherku. "Kok, sayang?" tanyaku dengan tangan mengusap-usap surai lebat milik pria itu. "Iya, kalau pendek, nanti Mbak pegangannya ke mana, coba? Jadi mendingan panjang, biar dielus-elus terus."Aku berdecak kesal. Menjauhkan diri dari tubuh pria itu, lalu membalikkan badan memunggunginya. Seperti yang tidak ingin jauh dariku, Soni melingkarkan tangan di perut, menarikku agar semakin rapat dengannya. Baik aku atau dia, tidak ada yang bicara lagi. Kami sama-sama diam hingga akhirnya mata saling terpejam. Malam ini tidurku teramat nyenyak. Tubuh dan pikiran yang lelah, membuatku enggan beranjak dari tempat tidur. Namun, suara benda jatuh dari lantai bawah membuatku membuka mata. Aku beringsut duduk seraya menarik selimut sampai batas dada. Kulirik ke samping, sudah tidak ada Soni di sana. Aku semakin yakin, jika suara yang tadi aku dengar, berasal dari pria itu.
Aku membiarkan dia mengeluarkan apa yang ingin diungkapkan. Biarlah, aku hanya jadi pendengar dan menilai apa yang akan dia sampaikan. "Maafkan aku, Ranum. Aku salah, aku benar-benar salah. Semua yang terjadi pada Soni dan Nabila, adalah salahku. Aku yang menyuruh anak itu untuk membuat kamu dan Soni bertengkar."Aku mengambil bantal dan memangkunya. Volume ponsel aku besarkan, lalu menyimpan benda pipih itu di atas bantal. Punggung kusandarkan dengan melipat tangan di perut. "Aku lelah, Ranum. Lelah mengejarmu yang tak lagi sudi kembali padaku. Tubuhku pun sudah rapuh, tidak sekuat dulu. Maka dari itu, sebelum waktuku habis, aku ingin meminta maaf padamu. Memang, aku belum ikhlas kamu menikah dengan adiku, tapi ... aku sedang belajar untuk itu. Mengikhlaskanmu dengan kehidupan yang baru."Sekelebat bayangan tentang aku dan dia menari di pelupuk mata. Indahnya rumah tangga pernah aku rasakan dengannya. Sayangnya, badai itu teramat besar mengguncang jiwa. Hati yang rapuh tak kuat lag