Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or
"Nda ...!" Aku diam di tempat saat Cahaya lari menubruk tubuhku dan memeluknya dengan erat. Sungguh aku tidak menduga jika Soni akan datang ke sini dengan membawa keponakannya itu. Tidak hanya Soni, Cahaya rupanya datang dengan ibu mertuaku. Mama, wanita itu menatapku yang berdiri kaku di ambang pintu. Aku bingung dengan keadaan ini. Apa maksud Mama membawa Cahaya ke sini? Sengajakah dia agar aku tidak bercerai dengan putranya? "Nda .... Aya, mau di sini, sama Bunda, ya?" ucap Cahaya mendongak melihat wajahku. Aku masih bergeming. Hanya tangan ini yang bergerak membelai lembut rambut anak tiriku itu. "Silahkan masuk, Bu Tami, Soni." Bapak mempersilahkan besannya yang masih berada di teras rumah.Ibu dan anak itu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku mengusap punggung Cahaya, membawa gadis itu untuk duduk di sampingku. Hening. Suasana menjadi canggung. Aku memperhatikan raut wajah ibu yang terlihat tidak suka melihat keluarga suamiku datang. Dia bahkan tidak tersenyum
Langit pagi ini begitu sangat cerah. Aku sudah siap untuk pergi ke rumah Mas Sandi dengan membawa Cahaya. Drama terjadi pagi ini saat sedang membujuk Cahaya. Dia tidak mau aku bawa dan ingin ikut dengan ibu yang hendak pergi ke pasar bersama Shanum. "Fir, bisa kita bertemu sekarang? Aku butuh bantuanmu, nih," ujarku menghubungi temanku. "Bisa, Num. Mau ketemu di mana? Kebetulan pagi ini aku sedang joging di taman kota. Kalau aku tunggu kamu di sini, gimana?" "Emmh ... oke, deh. Tunggu, ya? Aku mungkin akan sedikit terlambat, tapi tidak akan terlalu lama, kok.""Siap, aku tungguin." Aku mematikan ponsel, menyimpannya ke dalam tas dan siap untuk menjalankan kendaraan roda empat yang sudah aku panaskan. Di sampingku, Cahaya duduk seraya melipat kedua tangan di perut. Ceritanya dia sedang ngambek karena aku tidak memperbolehkannya ikut dengan Shanum. "Kakak, Kakak marah sama Bunda?" tanyaku yang langsung disambut tidak baik olehnya.Cahaya memalingkan wajah melihat pada kaca pintu
"Kok, kamu ngomongnya gitu, Num?" "Terus aku harus gimana? Dia memang anak kamu, kan? Anak kalian. Kenapa aku harus repot-repot ngurusin dia sedangkan kamu di sini santai-santai seperti pasangan kekasih yang tidak memiliki tanggung jawab. Hey, kalian punya anak, lho ...," kataku seraya memindai wajah keduanya satu persatu.Mas Sandi salah tingkah. Dia melihat pada Cahaya, kemudian kembali melihatku yang berdiri berkacak pinggang."A–aku tahu, dia anakku, Num. Bukannya katamu, anak aku anak kamu juga? Kenapa sekarang kamu jadi mempermasalahkan Cahaya yang selalu ingin denganmu?""Aku tidak mempermasalahkan dia ingin denganku, Mas. Yang aku masalahkan itu adabmu! Di mana otakmu, sehingga tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Tidak ada tanggung jawabnya sedikit pun sebagai seorang suami dan ayah. Di sana, di rumah orang tuaku, aku repot mengurusi, membujuk dia. Di sini, kamu enak-enakan memadu kasih tanpa memikirkan perasaanku! Aku masih istrimu, Mas. Masih istrimu!!" jeritku dengan menu
Aku tersedu, menangis seraya menelungkupkan wajah pada setir. Puas mengeluarkan rasa sakitku karena harus meninggalkan Cahaya, aku mengambil ponsel. Menelepon seseorang yang aku percaya bisa membantu menenangkan anak tiriku. "Halo, Son.""Halo, Mbak. Kamu kenapa, Mbak? Nangis?" tanya Soni panik."Emh ... aku tidak apa-apa, Son. Tapi, aku mau minta tolong sama kamu.""Tolong apa? Mbak, kenapa memangnya?" Soni kembali bertanya. "Tolong tenangkan Cahaya, Son. Tadi, aku mengantarkannya ke rumah, dan dia nangis saat aku tinggal. Takutnya dia melukai dirinya sendiri. Aku ..., aku benar-benar sudah tidak sanggup mengurusnya, Son." Aku langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu lawan bicaraku mengatakan apa pun. Tanganku terulur mengambil tisu untuk menghapus jejak air mata yang sudah membanjiri wajah. Sayangnya masih ada air yang keluar dari sudut mataku sehingga sulit bagiku untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kutadahkan kepala ke atas, bersandar pada sandaran jok. Beberapa
"Tidak ada, Ranum ... Ibu tidak bermaksud apa-apa," tutur Ibu mendesah. Aku bangun, duduk bersila di samping ibu yang memandang lurus pada putriku. Tidak mungkin tidak ada apa-apa, jika tadi jawaban Ibu seperti itu.Apa mungkin Bapak telah berkhianat dari Ibu sewaktu dulu? Rasanya tidak mungkin jika Bapak melakukan itu. "Ibu ... Bapak pernah melakukan apa yang Mas Sandi lakukan?" tanyaku ingin mendapatkan jawaban pasti. Ibu memandangku dalam diam. Hingga akhirnya, anggukan kepala Ibu menjadi sebuah jawaban. "Kapan, Bu?" "Dulu. Duluuu sekali. Saat kamu masih bayi merah. Dan alasan kita pindah dari Bandung ke Jakarta, ya itu. Meninggalkan kepedihan." "Kok, Ibu kuat bertahan hingga sekarang? Kenapa Ibu tidak bercerai seperti apa yang aku lakukan?" tanyaku kembali. Ibu menarik napas panjang. Wajah tua itu mengadah ke atas mengingat masa-masa yang tidak pernah aku tahu. "Ada beberapa hal yang membuat Ibu, bertahan kala itu. Satu, kamu masih bayi. Butuh nutrisi dan asupan gizi. Se
Aku melihat jam dinding yang menempel di atas foto Ibu dan Bapak. Masih pukul dua siang. Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. [Bisa, Fir. Di mana?] [Di kafe Magnolia.] Aku langsung pergi ke kamar. Membawa beberapa berkas yang mungkin akan ditanyakan pengacara itu. Setelah semuanya siap, aku bicara pada Ibu, sekaligus memintanya untuk menjaga Shanum yang sedang tidur siang. Tanpa menunggu nanti, aku pun langsung berangkat ke tempat yang Safira sebutkan tadi. Aku harus bergerak cepat untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak ingin berlarut-larut hingga nanti malah membuat masalah bertambah rumit. "Di mana Safira?" ujarku setelah berada di kawasan kafe Magnolia. Mata ini menelisik ke seluruh ruangan hingga lambaian tangan seorang wanita yang ada di meja paling belakang membuatku tersenyum ke arahnya. Aku berjalan cepat, dan berdiri tepat di belakang pria yang duduk satu meja dengan temanku itu. "Mas, ini Ranum temanku," ucap Safira membuat pria itu menoleh ke belakang
"Kenapa bisa kabur, Soni ...?" ujarku seraya mengurut kening. Aku mengambil ponsel dari Safira, langsung bicara pada Soni mengenai Cahaya. "Aku juga tidak tahu, Mbak. Aku dan Mama baru sampai rumah, tiba-tiba dapat kabar itu dari Mas Sandi. Sekarang aku lagi nyari, nih di sekitar kompleks. Nanya-nanya sama tetangga juga, kiranya ada yang lihat. Mbak bantu doa, ya agar Cahaya bisa segera ditemukan." "Doa, sih doa, Son. Tapi, hatiku jadi tidak tenang ini. Yasudah, deh aku ikut nyari juga," ujarku mengakhiri panggilan. Aku menoleh pada Safira yang mengedikkan bahu. Sepertinya memang sulit untukku lepas dari anak itu. Yang jadi pertanyaan aku, ke mana orang tuanya sampai anak itu bisa pergi tanpa mereka ketahui? Tidak mengunci pintu kah? Tidak diawasi? Mereka asik dengan dunianya? Dasar tidak becus. Ponsel kembali berbunyi saat aku hendak melajukan mobil. Dan kali ini dari Mawar Berduri. "Ap—""Cahaya kabur! Dia mencarimu! Puas, kamu sekarang karena sudah membuat anak itu jadi