Frustasi karena tak kunjung mendapatkan keturunan dan hancur karena sikap dingin dan kasar sang suami, Nayyara justru terjebak hubungan terlarang dengan Galen, sang bodyguard. Nayyara begitu terpesona dengan sikap tulus dan lembut Galen hingga melupakan fakta jika dia masih sebagai istri orang. Hubungan keduanya menjadi semakin intens saat Nayya meminta Galen untuk menghamilinya demi membalas hinaan sang suami. Apakah Galen mau menerima tawaran Nayya? Apa alasan suami Nayya terus bersikap acuh selama ini? Dan rahasia apa yang sebenarnya mereka tutupi? "Kamu mau menghabiskan malam denganku?Aku akan memberikan apapun untukmu." — Nayyara "Jangan merayuku, Nona. Aku khawatir, anda tak bisa lepas dariku dan malah meninggalkan suami anda." — Galen
View More"Kamu ini sebenarnya mandul kan?"
Perempuan yang sedang menuangkan teh hijau ke dalam cangkir keramik putih dengan ukiran mahal itu, melirik ke arah lawan bicaranya. Ekspresi wajahnya tampak menegang, terlihat tak terima dengan pernyataan yang baru saja dia dengar. "Maksud Mama apa?" "Gak usah pura-pura polos kamu, Nay! Kamu sama Liam udah mau 3 tahun menikah, masa kalian berdua belum juga ngasih Mama cucu. Jadi cepet kasih tau Mama, kamu sebenarnya mandul kan? Tapi malu buat mengakuinya." "Ma, aku udah cek ke dokter. Dan hasilnya aku baik-baik aja kok." "Oooh, jadi kamu mau nyalahin Liam? Kamu pikir dia yang mandul begitu?" tukas wanita paruh baya itu balik, namanya— Widuri. Nayya menghela nafas panjang. "Aku gak nuduh Mas Liam mandul, Ma. Aku—" "Jujur saja ya, Nayya. Sebenarnya Mama capek debat ama kamu soal cucu, tapi Mama ini juga males menghadapi pertanyaan temen-temen Mama soal ini." "Ini diluar kendaliku, Ma. Anak itu kan titipan Tuhan." Widuri mendengus, melipat tangannya di dada sambil menatap Nayya dengan tatapan tajam. "Kamu gak usah bawa nama Tuhan. Orang kamu yang emang gak sempurna jadi istri." Nayya menunduk, menahan perasaan yang mulai campur aduk. Ia sudah berusaha sabar menghadapi tekanan dari mertuanya, tapi komentar-komentar pedas itu makin hari makin tak tertahankan. "Ma, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Bahkan konsultasi dokter dan menjalani segala terapi yang disarankan. Ini bukan hal yang bisa kita kontrol sepenuhnya." "Tapi kamu sadar kan, waktu terus berjalan? Mama gak mau punya menantu yang nggak bisa memberikan keturunan untuk keluarga ini. Mama butuh cucu untuk meneruskan nama keluarga," Widuri menegaskan, tak peduli dengan wajah Nayya yang mulai pucat dan tegang. "Terus aku harus apa, Ma? Ini diluar kendaliku." Nayya bertanya dengan suara bergetar, berusaha menjaga ketenangannya meski air matanya hampir menetes. Widuri menatap Nayya sejenak, lalu berkata, "Mama cuma mau bilang, kalau Mama gak akan diam aja. Jika kamu gak bisa kasih cucu, Mama mungkin perlu bicara sama Liam soal... opsi lain." Nayya merasakan tubuhnya mendadak lemas. Kata-kata mertuanya menghantamnya keras. "Opsi lain? Maksud Mama... mau nyingkirin aku?" Widuri mengangkat bahunya, mengisyaratkan bahwa semua itu tak sepenuhnya tidak mungkin. "Mama hanya ingin Liam bahagia dan punya keturunan. Kamu paham itu, kan? Jadi, pikirkan baik-baik, Nayya. Mama kasih waktu, tapi kalau tidak ada hasil… Mama bisa carikan perempuan lain untuk Liam." Nayya terdiam, lidahnya kelu. Ia tak menyangka Sang mertua benar-benar bisa mengatakan hal seperti itu padahal mereka ini sama-sama perempuan. Kenapa mertuanya bisa bicara seperti itu? Padahal mereka sama-sama perempuan. "Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, Nayya. Mama udah cukup sabar nunggu kamu ngasih cucu." Dengan suara bergetar, Nayya berbisik pelan, "Ma, punya anak itu gak semudah ngebalik telapak tangan. Aku—" Widuri hanya mendengus. "Enam bulan, Nayya! Mama kasih waktu kamu 6 bulan dari sekarang." Perempuan itu terpaku, menatap wajah serius Sang mertua yang tampak mengintimidasi. "Kalau dalam waktu 6 bulan kamu belum bisa kasih Mama cucu. Siap-siap aja buat urus perceraian kalian." Nayya tak dapat berkata apapun lagi. Dia membiarkan Sang mertua beranjak dari sana dengan ekspresi marah. Memang dia bisa apa selain pasrah? Dia sudah terlalu lelah dengan sikap seenaknya wanita tersebut. Haaa... Perempuan 23 tahun itu menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Rasa pening menyerang kepalanya hanya karena kejadian beberapa saat yang lalu. "Galeeen!" Ia berseru, memanggil asisten pribadinya. Tak berapa lama kemudian, muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dengan kulit sawo matangnya yang khas. Galen namanya— pria muda yang setia menjadi asisten Nayya sejak hari pertama pernikahannya dengan Liam. Pemuda berusia 27 tahun itu muncul dari balik pintu dengan wajah tenang, seperti biasa. "Iya, Non, ada yang bisa saya bantu?" Nayya menatap Galen, matanya terlihat sedikit berkaca-kaca, tapi ia berusaha menyembunyikan kelemahannya di balik senyuman tipis. "Bisa gak kita keluar sebentar, Galen? Aku butuh udara segar." "Anda mau di antar ke mana?" tanya Galen, sopan. "Ke taman deket sini aja. Aku mau jalan-jalan sebentar," jawabnya sambil merapikan rambut. "Baik, Nona. Saya siapkan mobil dulu." Nayya memberikan anggukan kecil pada Sang asisten sebelum membiarkan pemuda itu menghilang dari pandangan matanya. Mereka pun menuju taman kecil tak jauh dari rumah. Saat tiba, Nayya berjalan pelan, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi bunga mawar merah dan putih. Langkahnya lambat, pikirannya masih dipenuhi kata-kata sang mertua. Di depannya, Galen menjaga jarak, tetap siaga jika Nayya membutuhkan sesuatu. Setelah beberapa saat, Nayya mendekat, merasa tidak tahan lagi dengan perasaan yang terus membebani. "Galen," panggilnya pelan. "Menurut kamu, aku harus gimana?" "Maksud Nona?" "Mama bilang, dia mau cari istri baru untuk Mas Liam karena aku gak bisa kasih cucu." Galen menatap Nayya dengan cermat, raut wajahnya berubah serius, seolah mencoba memahami perasaan perempuan yang selama ini dia layani dengan setia. "Maaf, Nona. Tapi, apakah Tuan Liam sudah tahu soal ini?" Nayya menggelengkan kepala pelan. "Enggak. Aku gak pernah cerita ke Mas Liam. Aku cuma gak mau nambah beban pikiran dia." Galen menghela napas, menatap Nayya dengan penuh empati. "Tapi, menurut saya, Tuan Liam harus tahu, Nona. Ini kan juga tentang hubungan kalian. Mungkin dengan begitu, ada solusi yang bisa kalian temukan bersama." Nayya menggigit bibirnya, terlihat ragu. "Kamu kan tau sesibuk apa Mas Liam. Jangankan mengobrol serius, nanya keadaanku aja dia nggak sempat." "Jadi Nona mau diam aja dan biarkan masalah ini terus seperti ini?" Galen bertanya, sedikit serius. Nayya tersenyum kecil, lemah. "Aku gak tau, Galen. Aku udah sering bahas ini sama Mas Liam, tapi ujung-ujungnya kalau gak nyuruh mengabaikan ucapan Mamanya, pasti ya berantem." Bodyguard berparas tampan itu melihat ke arah Sang majikan, perempuan cantik itu memiliki kulit yang cerah. Fitur wajahnya lembut. Dia memiliki rambut panjang hitam legam yang bergelombang. "Kalau kamu jadi aku, kamu bakal gimana?"Setelah Nilam pergi, butik kembali tenang. Karin mulai membereskan meja, sementara Nayya duduk kembali di kursi desainnya, membuka kembali sketsa dan catatan kecil yang tadi ia buat. Matanya kembali fokus, masuk ke dalam dunia kreativitas yang selalu jadi tempat pelariannya.Galen memperhatikan sejenak dari sofa, menyilangkan tangan sambil bersandar. Tapi detik berikutnya, ia berdiri dan berjalan mendekat.“Nay,” panggilnya pelan.“Hm?” Nayya menoleh, masih setengah fokus ke kertas.“Aku keluar bentar ya. Ngantuk banget. Kayaknya butuh kopi biar seger.”Nayya langsung mengangkat kepala, menatapnya dengan dahi sedikit mengernyit. “Kopi? Kan di sini ada. Kenapa—"Galen menatap lembut ke arah lawan bicaranya itu. "Aku mau sekalian beli makan siang juga. Kamu mau nitip?"Nayya berpikir sejenak, lalu mengangguk ringan. “Hmm... kayaknya aku pengen asinan deh. Tapi jangan yang terlalu pedas ya!"Galen mencatat perminta
Nayya mengangguk pelan, matanya masih basah. Tapi kali ini, bukan karena sesak atau putus asa—melainkan karena rasa hangat yang mengalir dalam dadanya. Ia tak sanggup bicara, hanya menatap Galen dengan pandangan yang penuh kepercayaan… dan harapan.Galen tersenyum tipis. Ia menyelipkan rambut Nayya yang sedikit berantakan ke belakang telinga, lalu menghapus sisa air mata di pipinya dengan ibu jari yang hangat.“Udah ya... jangan nangis lagi,” bisiknya. “Air matamu terlalu berharga buat hal-hal kayak gitu.”Nayya mengangguk lagi, lalu tanpa ragu bersandar ke pelukan Galen. Lelaki itu menyambutnya dengan tangan terbuka, memeluknya erat, seolah ingin melindunginya dari seluruh dunia. Kepalanya bersandar di bahu Galen, menghirup wangi sabun dan aroma khas tubuh pria itu yang entah kenapa selalu berhasil menenangkan pikirannya.Galen mengusap punggung Nayya pelan, lembut, penuh ketulusan.“Kamu tahu gak?” ucap Galen dengan suara nyaris berbisik. “Pelukan ini... tempat ternyaman yang pernah
Setelah sarapan selesai, Nayya membereskan piring sementara Galen menghilang ke kamar sebentar. Ia kembali beberapa menit kemudian, sudah rapi dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku dan celana jeans gelap. Di tangannya ada kotak kecil berisi vitamin dan sebotol air mineral.“Ini, jangan lupa,” ujarnya sambil menyodorkan kotak itu ke Nayya.Nayya menatapnya, agak terkejut. “Oh iya. Hampir aja lupa," Ia mengetuk keningnya sendiri.Galen mengangguk. “Vitamin dan obat ini kan hal yang penting, jadi jangan sampai lupa."Nayya diam sejenak, lalu tersenyum. Senyum itu lembut, penuh rasa syukur dan sedikit gugup. “Terima kasih, Galen…”Galen mengangguk kecil, lalu dengan hati-hati membantu Nayya memakai jaket tipis. Gerakannya pelan dan penuh perhatian, seperti takut menyakiti.“Siap ke butik, calon Mama terbaik di dunia?” ledek Galen dengan senyum hangat.Nayya mencubit perut Galen dengan reflek. "Apaan sih!"“Tapi ka
“Kalau rencana ini berhasil,” gumam Liam, suaranya serak dan dalam, “aku bakal kasih kamu lebih dari separuh aset yang kita selamatkan. Kamu pantas dapet semuanya.”Cintya menyentuh dada Liam dengan telapak tangannya, menatapnya dari dekat. “Aku gak butuh semua itu. Aku cuma butuh kamu tetap di atas. Karena kalau kamu runtuh, semuanya gak ada artinya.”Liam menatap mata Cintya dalam-dalam, lalu mencium bibir perempuan itu perlahan. Bukan ciuman tergesa, tapi ciuman yang menuntut—penuh strategi seperti rencana mereka, tapi tak kalah panas dari ambisi yang mereka bawa.Liam menarik napas dalam, lalu mencengkeram tengkuk Cintya dengan satu tangan—tidak kasar, tapi penuh kendali. Pandangannya menusuk lurus ke mata perempuan itu.“Kamu tahu,” bisiknya, suaranya turun setengah oktaf, “kalau aku bukan tipe pria yang gampang kagum. Tapi kamu… kamu selalu bikin aku kehilangan pijakan.”Cintya tidak mundur. Nafasnya mulai naik turun, tapi dia tetap mempertahankan kontak mata, tak gentar sedikit
Cintya menghela napas panjang, lalu menatap satu persatu wajah pria-pria di ruangan itu. “Masalahnya, Galen ini bukan bodyguard biasa. Dia itu jago banget. Geraknya cepet, matanya awas. Dia selalu nempel kayak bayangan. Sampai-sampai aku susah cari celah buat ngusik Nayya.” Pria berkepala plontos bersiul pelan. “Wah, yang begini biasanya ribet. Kita harus main halus kalau ada orang kayak gitu di sekitarnya.” “Betul,” Cintya mengangguk. “Makanya aku mau kalian berhati-hati. Kita gak boleh ketahuan. Gak boleh sampai ada jejak yang bisa buat kita ketahuan. Dan gak boleh ada keributan. Aku mau semuanya terlihat natural. Bisa kecelakaan. Bisa perampokan. Bisa juga cuma orang iseng. Terserah kalian, yang penting Nayya takut dan dia nurut.” “Dan Galen?” tanya pria berkumis tebal sambil menyilangkan tangan. “Kalau bisa, jangan konfrontasi langsung. Hindari dia. Tapi kalau emang gak bisa dihindari…” Cintya mengecilkan suaranya. “…buat dia sibuk. Jauhkan dia dari Nayya, tapi tanpa bikin jej
Nayya memiringkan kepala, menatap garpu kecil berisi semangka yang disodorkan Galen ke arahnya. Ia menyipitkan mata, lalu meraih garpunya sendiri dari meja dan berkata, “Aku bisa makan sendiri, Galen.” Galen tak bergeming. “Aku tahu. Tapi aku pengen suapin baby di perut kamu." “Galen…” Nayya memperingatkan dengan nada setengah malas. Pria itu tetap tak bergerak, garpunya masih terulur. Tatapannya tenang, tak ada paksaan, hanya perhatian yang begitu lembut. Akhirnya, Nayya mendesah pasrah. Ia sedikit menunduk dan membuka mulutnya, membiarkan Galen menyuapkan potongan semangka ke dalam mulutnya. Dingin, manis, dan segar. Tapi lebih dari itu, ada kehangatan aneh yang menjalar diam-diam dari dadanya ke seluruh tubuh. “Lihat? Gak susah kan nerima perhatian dariku?” goda Galen sambil tersenyum. “Sedikit?” Nayya mengangkat alis. “Kamu ini paket full service.” “Anggap aja bonus karena kamu orang spesial,” balas Galen santai. Nayya menunduk, tersenyum kecil. Tangannya bergerak ke arah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments