Share

Merantau

Sesampainya di rumah, Pak Slamet mengajak istrinya untuk mengobrol tentang rencana putra tunggal mereka merantau ke ibu kota.

"Bu, sini ... Bu ...," panggil Pak Slamet ke ruang tengah.

Bu Rodiyah muncul dari dalam kamar tidur dengan daster. Dia sebetulnya sudah bersiap-siap tidur karena memang sudah larut malam.

"Ada apa, Pak?" sahut Bu Rodiyah seraya duduk di sebelah suaminya itu.

Pak Slamet mengusap wajahnya yang berkumis tebal itu sembari menghela napas. "Tadi di rapat dusun, mertuanya Agus bikin ulah. Ki Agung tidak setuju Agus jadi ketua panitia pembangunan dusun. Anak kita malah dituduh mau korupsi karena miskin, ndak punya duit. Begini lho, kalau Agus merantau ke Jakarta, gimana? Apa Ibu setuju?" ujarnya.

Mendengar penuturan suaminya barusan, Bu Rodiyah hanya bisa nyebut dan mengelus dadanya. Dia pun berkata, "Gus, kalau hatimu sudah mantep, Ibu ridho ... kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Ibu pasti dukung."

"Agus senang dengan dukungan Bapak dan Ibu, tapi ada satu masalahnya ... Agus tidak punya uang buat berangkat ke Jakarta, sepeserpun tak punya ...," ujar Agus malu. 

Semua kebutuhannya selama ini memang dipenuhi oleh Ratih dan keluarga mertuanya. Terkadang Ratih menyelipkan beberapa lembar uang yang tak seberapa nilainya ke dompetnya yang selalu kosong untuk sekadar membeli rokok.

"Tidak perlu dibuat susah, Le. Ibu punya mas-masan, warisan dari mbah kamu dulu, Gus. Besok antarkan Ibu ke toko emas, biar Ibu jual saja untuk bekal kamu merantau ke ibu kota," ujar Bu Rodiyah.

Agus pun mengangguk-anggukkan kepalanya sembari tersenyum getir. Dia merasa bersalah telah merepotkan orangtuanya dengan hidupnya yang malang. 

"Agus janji, Bu. Kalau Agus sukses nanti, perhiasan Ibu pasti akan Agus ganti dengan yang lebih bagus," janjinya sembari menatap bapak dan ibunya bergantian yang dibalas dengan senyum hangat serta anggukan yakin.

Keesokan harinya, Agus mengantar ibunya ke toko emas di pasar untuk menjual perhiasan emas warisan dari nenek Agus. Pemuda itu termenung melamun di atas sepeda motor. Akhirnya setelah 25 tahun hidup di kampung halamannya, tiba pula waktunya dia meninggalkan tempat kelahirannya itu. 

Bu Rodiyah menepuk punggung putranya. "Gus!"

"Ehh ... ohh ... sudah selesai, Bu?" sahut Agus kelabakan karena kaget.

"Sudah, ayo pulang ke rumah, Gus," jawab Bu Rodiyah seraya tersenyum lalu membonceng di belakang Agus.

Agus pun menstarter sepeda motornya berkendara menuju ke rumah orangtuanya. 

Sesampainya di rumah, Bu Rodiyah membuka tas tangannya lalu mengeluarkan dompetnya yang sudah pudar warna coklatnya. "Gus, ini uangnya hasil jual emas ada 5 juta, semoga cukup untuk transport dan sewa tempat tinggal sampai kamu dapat kerjaan di Jakarta," ujarnya seraya menyerahkan 50 lembar uang merah ke tangan putranya itu.

Agus terisak-isak memeluk ibunya. Lidahnya kelu karena terharu dengan segala kebaikan ibunya. Dia malu sudah berusia 25 tahun, tapi masih merepotkan ibunya yang sudah tua.

"Sudah, Le. Ibu ikhlas ... yang penting kamu nanti bisa jadi orang sukses," ucap Bu Rodiyah menepuk-nepuk punggung Agus yang terguncang-guncang karena isak tangisnya.

Sore itu sebelum berangkat merantau, Agus menyempatkan dirinya berpamitan dengan istrinya yang segera akan menjadi mantan istrinya karena memang mereka tidak dapat bersatu lagi terhalang restu orangtua Ratih. Mereka bertemu di belakang dinding rumah keluarga Artosuwiryo.

"Dik Ratih, Kang Mas pamit merantau ke Jakarta ya," ujar Agus menggenggam tangan Ratih.

"Mas Agus, aku ndak rela harus pegatan sama Kang Mas. Apa kita kawin lari aja, Mas?" ucap Ratih berurai air mata lalu mendekap erat tubuh suaminya yang biasa menyentuh mesra tubuhnya.

Hati Agus serasa dikalungi batu kilangan yang begitu berat. Dia masih sangat mencintai Ratih, kembang desa di Dusun Tapan.

Istrinya itu sangat cantik, rambut hitamnya halus lurus sepunggung, raut wajahnya begitu lembut tidak sengak seperti mertuanya. Bibirnya merah ranum dan berhidung mancung, bulu matanya rimbun lentik menaungi mata lebarnya yang cemerlang.

"Jangan, Dik. Bapakmu pasti akan menangkap kita dan malah masa depan kita akan lebih suram. Kalau memang kita berjodoh, kelak pasti bisa bersatu lagi. Mungkin ini sudah jalan takdir yang di atas, Mas Agus harus merantau ke Jakarta biar bisa sukses seperti Lik Supriyadi," jawab Agus dengan tenang sekalipun hatinya terasa seperti diremas-remas.

Tangan Ratih terulur membelai wajah suami yang dicintainya itu lalu dia pun menautkan bibirnya ke bibir Agus untuk memberikan ciuman untuk terakhir kalinya. 

"Terima kasih, Mas, sudah jadi suami terbaik buat Ratih selama ini. Maafkan segala caci maki dan perlakuan buruk Bapakku ya, Mas. Jangan dijadikan dendam biar tidak menjadi penghalang jalan kesuksesan Mas Agus ke depannya," tutur wanita cantik itu.

Agus mengecup kening istrinya itu. "Siap, Dik. Mas bukan pendendam kok," sahut Agus.

Kemudian mereka pun berpisah arah. Ratih masuk ke dalam rumah megah keluarganya, sedangkan Agus pulang ke rumah orangtuanya.

Malam harinya, Pak Slamet dan Bu Rodiyah mengantarkan putra semata wayangnya itu ke terminal untuk berangkat dengan bus antar provinsi ke Jakarta.

Agus memeluk erat ayah dan ibunya untuk terakhir kalinya dengan penuh rasa haru di dadanya.

"Ati-ati, Le. Jaga diri di ibukota, jangan lengah sama barang bawaan kamu ya," pesan Bu Rodiyah sebelum melepas kepergian putranya.

Setelah Agus naik ke bus dan sopir menjalankan kendaraannya, Agus melambaikan tangannya dari balik kaca jendela bus kepada ayah dan ibunya.

Bus malam antar provinsi itu melaju meninggalkan terminal Bojonegoro menuju ke Jakarta. Agus memeluk erat tas ranselnya, dia menyimpan uang pemberian ibunya di dalam situ. Karena mengantuk, Agus pun tertidur sepanjang perjalanan. 

Setelah hampir 12 jam perjalanan lebih, Agus pun sampai di Terminal Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia pun turun dari bus malam itu lalu mencari toilet karena sudah berjam-jam menahan kencing. 

Usai buang air kecil di toilet umum Terminal Tanah Abang, Agus menenteng tas ranselnya menuju ke warung nasi untuk mengisi perutnya yang keroncongan karena belum makan sejak semalam.

Agus celingukan mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Dia masih bingung dengan tempat asing itu. Sementara lautan manusia bersliweran di kanan kirinya seolah sudah terbiasa berada di terminal. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke sebuah warung makan sederhana di terminal itu.

"Bu, pesan nasi rames satu sama es teh," ujar Agus memesan menu makanannya.

Dengan cepat penjaga warung itu menyajikan menu pesanan Agus. Ibu berusia 40an tahun itu bertanya, "Darimana Mas? Baru pertama ke Jakarta ya?"

Agus pun mengunyah makanannya seraya menjawab, "Iya, Bu. Saya dari Bojonegoro, niatnya mau cari kerja di Jakarta."

Dua pasang mata mengamati Agus dari pojok warung sambil minum kopi. Mereka saling memberi kode dengan mata. Sepertinya mereka mendapat mangsa empuk siang itu. Orang desa pasti membawa bekal uang lumayan dari keluarganya untuk bertahan hidup di kota besar. 

Mereka berdua pun mengamati Agus dengan seksama dan menunggu pemuda itu membayar makanannya sebelum beraksi. Dan memang benar selembar uang merah dibayarkan Agus ke ibu penjual nasi rames itu. Senyum jahat tersungging di wajah mereka berdua.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Puspita Adi Pratiwi
di copet rampok
goodnovel comment avatar
Sastrowagino saputro
cukup bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status