Share

Sugar Daddy?

Sel tumor di otak istri Bapak sudah menyebar ke jaringan terdekatnya. Tumor itu sudah berubah status menjadi kanker stadium tiga,” papar Dokter Haris.

Andreas sesaat terdiam, matanya mulai berkaca-kaca. Dia membayangkan bagaimana reaksi Emi mengetahui ini semua dan apakah dia sanggup menjelaskannya kepada Emi.

“Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan, Dok, agar istri saya sembuh? Ehm ... maksud saya ....” Andreas tak dapat melanjutkan perkataannya, jelas sekali kekhawatiran di raut wajahnya.

“Langkah selanjutnya, kita akan melakukan operasi pengangkatan tumor, setelahnya radiasi dan kemoterapi,” terang Dokter Haris.

“Baik, Dok. Lakukan apa saja untuk kebaikan istri saya,” pinta Andreas kepada Dokter senior itu.

***

Dengan langkah yang gontai, Andreas menyusuri koridor rumah sakit. Bayangan kematian Emi semakin menghantuinya. 

‘Tidak! Emi pasti sembuh,’ batinnya dalam hati untuk menepis segala pikiran buruknya.

Sesampai di ruangan. Ada Romi, Oma, dan Emi yang harap-harap cemas menunggu kabar dari Dokter Haris.

“Ndre, bagaimana Emi? Dia baik-baik saja ‘kan?” tanya Oma dengan penasaran.

Andreas hanya terdiam. Pandangannya tak pernah lepas dari wajah Emi yang juga mengharapkan kabar baik dari mulut Andreas.

“Emi harus menjalani operasi, Oma!” tutur Andreas lirih. Seketika Oma Risa pingsan mendengar jawaban singkat dari Andreas.

***

[Hai, El, sudah siap belum?] tanya Laras lewat teleponnya. Walaupun kamar keduanya bersebelahan, tapi sudah jadi kebiasaan mereka untuk bicara lewat telepon.

[Sudah, Ras. Duluan gih, ke bawah!]

[Okay, Girl. Jangan lupa dandan yang cantik, soalnya lu kan mau ketemu dokter ganteng.] Lagi-lagi Laras menggoda Elena sebelum menutup teleponnya.

Di kamarnya, Elena masih tampak enggan berhias, hanya lipstik warna nude yang menghiasi bibir mungilnya. Namun, tidak sedikit pun mengurangi kecantikannya. Setidaknya, kali ini penampilannya terlihat lebih segar dibanding saat dirawat di rumah sakit. 

“Yuk, berangkat! Nanti telat,” ajak Elena.

Keduanya berangkat dengan diantar taksi menuju ke rumah sakit. Di dalam taksi, Laras menerima pesan dari Pak Hadi melalui aplikasi birunya. Dengan hati-hati Laras membuka pesan itu, karena jarak duduk keduanya sangat dekat.

[Pagi, My Baby.]

[Nanti saja, ya, hubungi lagi. Laras lagi sama El.]

Laras membalas pesan dari lelaki botak itu, lalu mematikan ponselnya. Dia melirik ke arah Elena, ada rasa takut di pikirannya. Takut sahabatnya itu marah, andai tahu kalau ayah Elena adalah kekasih gelapnya.

“Lu kenapa, sih, Ras? Gue lihat sibuk sendiri?” tanya Elena.

“Enggak ada apa-apa, El. Ini, emak gue di kampung ngasih kabar kalau telat kirim uang semesteran,” sahut Laras.

“Oh, gitu. Kamu enggak usah khawatir, ya. Entar gue kasih pinjam. Kemarin ayah transfer lumayan untuk bulan ini. Insyaa Allah, cukup buat bayar semester kamu,” ucap Elena menenangkan Laras.

“Enggak usah, El. Aku enggak mau merepotkan kamu.”

Mendengar ucapan Elena yang ingin membantunya, membuat Laras semakin merasa bersalah terhadap sahabatnya itu. Namun, apalah daya, gaya hidup dan kebutuhan hidupnya di kota membuatnya enggan lepas dari dekapan sang sugar daddy.

***

Sesampainya di lobi rumah sakit, Elena langsung menanyakan ruangan poli jiwa tempat Dokter Andreas praktik.

“Mbak lurus aja, lalu belok kanan, persis di depan apotek ruangannya,” terang perawat yang berjaga di ruang pendaftaran.

Elena dan Laras segera menuju poli jiwa. Sesampainya di depan ruangan, Elena dan Laras saling berpandangan. Melihat beberapa pasien di sana. Mata Elena tertuju pada seorang pasien yang bicara lalu tertawa sendiri.

“Coba lu lihat, Ras. Bapak-bapak depan lu bicara sendiri. Jujur gue takut, Ras,” ucap Elena pelan.

“Jangan takut, namanya juga poli jiwa. Ya, isinya rata-rata ODGJ semua.”

“Termasuk gue, gitu?” tanya Elena dengan nada sedikit tersinggung.

Laras baru merasa kalau ucapannya itu menyinggung perasaan Elena, dengan cepat Laras meralatnya. Dia tidak mau Elena berubah pikiran untuk berhenti berobat. Teringat janji Pak Hadi yang akan menghadiahkannya sebuah mobil, jika dia bisa membujuk Elena untuk rutin berobat ke psikiater.

“Eh, enggak gitu maksud gue, El. ODGJ itu bukan berarti gila. Contohnya, tuh si Selena Gomez, dia enggak malu mengakui kalau dia punya gangguan jiwa. Masa, sih, orang gila bisa berkarya seperti dia. Iya ‘kan?” sanggah Laras sekenanya.

Mendengar itu, Elena hanya diam mengindahkan penjelasan sahabatnya itu.

“Elena Putri Rahadi,” panggil asisten Dokter Andreas.

“Iya, saya.”

“Silakan masuk!” Suster mempersilakan keduanya masuk.

Di dalam ruangan, sesaat Dokter Andreas terlihat sibuk dengan laptopnya. Elena duduk di hadapan dokter itu, sedang Laras duduk tepat di samping suster. Ada rasa gugup memenuhi dada Elena. 

“Elena, apa kabar?” tanya Dokter Andreas dengan senyum ramahnya. 

“Baik, Dok,” jawab Elena pelan.

“Kelihatan, kok, dari raut wajahnya. Jauh banget dari waktu kita pertama bertemu. Sekarang auranya kelihatan,” canda Dokter Andreas.

Elena hanya tertunduk dingin tanpa ekspresi.

“Coba, ceritakan kepada saya apa saja yang Mbak Elena rasakan saat ini?” Dokter Andreas mencoba membuat Elena lebih banyak bicara.

“Biasa saja, Dok. Senang enggak, sedih juga enggak. Datar-datar saja,” jawab Elena.

“Oke, saya paham.” 

Sepertinya Dokter Andreas sudah mulai sedikit memahami apa yang sedang dialami Elena. Dia mencatat setiap apa saja yang menjadi keluhan Elena. 

“Baik, Mbak Elena, ini saya kasih resep dulu, ya. Saya akan kasih obat jenis penenang yang dikombinasi dengan anti depresi. Saya kasih dosis kecil dulu. Seminggu lagi, Mbak ke sini, ya,” pesan Dokter Andreas.

Setelah mendapatkan surat kontrol, Elena dan Laras beranjak dari ruangan untuk menebus obat di apotek. 

“El, gue titip tas, ya. Gue mau ke toilet dulu, kebelet.” Laras berjalan cepat menuju toilet. 

Elena segera berjalan menuju apotek. Saat duduk menunggu antrean, tiba-tiba ponsel Laras berbunyi. Elena hanya membiarkan saja namun, ponsel itu terus berbunyi, dan akhirnya memaksa Elena untuk mengambil ponsel itu dari dalam tas Laras.

“My Sugar Daddy?” gumam Elena sambil mengernyitkan dahi. 

Elena masih membiarkan ponsel itu berbunyi, sambil dipandangnya gambar yang ada di layar. 

‘Ini ‘kan nomornya ayah, kok, dikasih nama Sugar Daddy, sih?’ batin Elena dalam hati. 

Elena penasaran dan akhirnya diangkatnya telepon itu.

[Halo, Sayang.]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status