waaaah akhirnya Dirga tau juga ya terus gimana caranya biar Laras cerai? T.T
Di desa Wanasari.Malam ini, Dirga meringis karena melewatkan waktu makan siang dan makan malam. Semua jelas karena Laras yang sibuk sehingga tidak memperhatikannya. Ia juga tak ingin membuat wanita itu kelelahan, tetapi justru dirinya yang menjadi korban. Dilema memang.Akhirnya Dirga memaksakan diri untuk menyuap nasi dan sayur.“Laras … saya butuh kamu sekarang juga,” keluh Dirga sambil menatap isi mangkuk. Tidak ada selera untuk menyantapnya lagi, semua terasa hambar.Ia juga tidak bisa ke rumah Laras malam ini, trauma seperti kemarin izin kerja dan seharian tidak bertemu gadisnya. Itu jauh lebih menyiksa, karena waktu jadi sangat panjang.Untuk membuang sepi ia berniat membuat video edukasi kesehatan untuk para pengikutnya di media sosial. Ia meraih ponsel yang sedari tadi tergeletak di atas meja.Ada satu notifikasi pesan yang ia buka. Pupilnya melebar dan otot perut sixpack-nya menegang, membuat rasa mual makin parah. Dirga membaca pesan dari Rama. Ia tersenyum miris setelahnya
Rama terus berusaha membuka pintu unit apartemennya. Berulang kali ia menempelkan kartu akses, tetap saja panel pada pintu berwarna merah.“Argh … pintu sialan!” hardiknya sambil menendang-nendang pintu yang tetap bergeming, tidak tergoyahkan dengan guncangan itu.Rama yang hampir frustrasi pun menuju bagian informasi. Matanya merah menyala dan saraf-saraf di tubuhnya tampak tegang.“Pintu nggak bisa dibuka!” bentaknya sambil melempar kartu akses itu ke meja informasi dengan kasar.Pihak pengawas yang sudah ada di meja informasi menatap Rama dengan ekspresi tegang, sambil menempelkan telapak tangannya.“Kami mohon maaf, Pak Rama. Mulai hari ini Anda tidak bisa menempati unit apartemen yang dimaksud,” jelas sang pengawas dengan bahasa hati-hati dan nada yang sopan.Mata Rama membelalak dan urat di lehernya seolah membeku. Tangannya menggebrak meja informasi itu.“Apa maksudnua?! Ini apartemen gue! Lu pikir bisa buang gue seenaknya?!” bentaknya sambil menunjuk-nunjuk pengawas, lalu lang
Garis wajah Laras menegang. Tenggorokannya mendadak kering dan pedih. Ia menggeleng pelan. “Jangan dieksekusi, Dok,” cicitnya.Sungguh ia tidak mau Dirga tertimpa masalah berat hanya karena berusaha menolongnya.“Kenapa? Kamu masih cinta sama anakku?” tanya Dirga, bukannya menjawab pertanyaan Laras malah balik bertanya.“Saya serius, Dok!” Laras menahan geraman dalam mulutnya. Ia lantas menjauh dari pria itu, sambil memalingkan wajah. “Dan saya udah nggak cinta sama dia,” katanya getir.“Lihat saya, Sayang, jangan pikirin Rama lagi.” Dirga menarik pinggang gadisnya lagi dengan satu tangan. Lalu ia berbisik, “Mau kamu marah, nangis, atau mendesah, saya tetap nafsu dekat kamu.”Laras memutar bola mata dengan malas, lali kembali menatapnya. “Jelasin eksekusi apaan!”“Maksudnya … saya bikin Rama tertekan karena materi. Kalau anak itu kembali ke rumah utama, otomatis pergerakannya bisa saya pantau. Seperti itu,” terang Dirga, sambil menyentil kening Laras.Sebelum Laras mengaduh kesakitan,
Setelah memastikan Dirga baik-baik saja, Devi dan Dinda turut mengajak Laras pulang. Terpaksa gadis itu ikut karena tak mau dicurigai lebih lama. Namun semalaman ini dia kesal karena teringat bagaimana seniornya menyentuh sang kekasih dengan begitu mudah.Apakah Devi sengaja? Laras mendecak di atas ranjang. Inikah yang namanya cemburu? Bahkan lebih sakitnya lagi karena ia mengandung anak dari pria yang bahkan belum ia miliki secara sah. Bagaimana kalau direbut wanita lain?Pikiran-pikiran itu membuat Laras kusut di atas ranjang. Ia memeluk guling sambil memejamkan mata. Sebelum benar-benar terlelap, ia bergumam, “Dokter Dirga … nyebelin.”Esok harinya, Laras melakukan kegiatan seperti biasa. Ia tahu sejak pagi Dirga mengamatinya dengan intens. Parahnya lagi pria itu tidak mengatakan apa pun untuk menjelaskan masalah kemarin.Bahkan saat memasuki jam istirahat, Laras bergegas menemui Dinda dan temannya yang lain.“Tumben dikasih istirahat cepet?” tanya Dinda, nadanya sedikit menyindir
Ah, sial!Laras kalah cepat dari Dirga yang membuka pintu, ia tak sempat bersembunyi. Dilanda panik karena takut ketahuan, membuatnya sulit berpikir jernih sehingga ia tidak bergegas mencari tempat untuk bersembunyi.“Dinda,” lirihnya sambil memejamkan mata, tangannya menggenggam ujung kemeja ungu yang ia kenakan. Keringat dingin sudah membasahi tubuh. Ini benar-benar akhir riwayat hidupnya.“Ras, gue pikir lu udah pulang.” Tatapan Dinda penuh selidik yang menusuk ulu hatinya.Lidah Laras seakan ditindih kuat oleh bongkahan bebatuan, begitu berat untuk menjawab pertanyaan itu. Ia menggeleng kecil dan tidak berani menatap ke arah temannya, juga Dokter Devi. Perlahan mata hitamnya melirik Dirga yang masih berdiri di depan pintu. Jelas ia memancarkan sinyal permintaan tolong.Dirga segera menyela, “Iya. Saya memang sengaja minta Laras ke sini. Terus kenapa?”Dinda melangkah makin dekat, diikuti Dokter Devi di belakangnya. Mereka menatap ke arah Dirga yang kini memandangi Laras.“Sebenarn
“Ya ampun, Dokter!” Laras terpekik, bahkan refleks menjatuhkan tas ungu muda dari gendongan. Dilihatnya Dirga yang meringkuk dengan wajah sayu. Nalurinya sebagai dokter membuat Laras gegas menempelkan stetoskop pada dada bidang pria itu.Napasnya sempat tertahan dan matanya menyipit, karena….“Nggak ada yang salah,” gumamnya, lantas ia meraba kening Dirga. “Suhunya stabil.” Untuk memastikan sekali lagi, ia mencari termometer dari tasnya yang dijatuhkan di ambang pintu.Setelah diperiksa, ternyata benar tidak demam. Namun … kenapa tubuh Dirga tampak lesu?“Dokter nggak sakit,” tukas Laras.Dirga menjawab dengan nada tegas, “Sakit!”“Nggak!” kekeh Laras, wajahnya menjadi jutek, sebab pasien dewasa yang diperiksa ini sangat keras kepala. “Cuma tangan aja ‘kan lagi masa pemulihan, tapi badannya sehat,” jelas Dokter Muda itu.Dengan cepat Dirga meraih tangan gadisnya dan menempelkannya di atas dada berambut halus nan tipis itu. “Yang sakit di sini, Sayang.”Mata Laras membulat penuh. Ia pu