LOGIN"Kalau saya teruskan ... nggak jamin bisa berhenti." Bisikan pria itu terasa menyengat. Laras tak menyangka niatnya untuk kabur dari suami bejat, malah membawanya ke atas ranjang milik pria luar biasa. Mampukah Laras menanggung skandal yang mungkin menghancurkan segalanya?
View MoreLaras sempat percaya itu cinta. Padahal sekarang ia sadar, itu hanya akting murahan dari pria kaya yang ingin menang taruhan.
Sungguh … Laras tidak menyangka bahwa mulut dan sikap manis Rama ternyata beracun. Amarah yang menggelegak dalam diri pun membawa langkahnya mendekati pria itu, yang sedang telekonferensi di ruang tamu rumah kontrakan mereka. Laras meletakkan ponsel di atas meja rotan. “Maksud kamu, apa, Mas? Jelasin!” desaknya dengan suara bergetar. Rama yang baru saja menyelesaikan meeting, bersikap tenang … atau lebih tepatnya bersandiwara. Tangannya meraih telepon genggam. Pria itu membaca pesan chat dari beberapa temannya di fakultas manajemen bisnis pascasarjana. “Kamu jadiin aku taruhan? Tega kamu,” lontar Laras, tanpa embel-embel ‘Mas’ karena sudah terlalu kecewa. Dengan santainya Rama berdiri, mendekati Laras dan meraih ujung rambut sebahu wanita itu. “Memangnya kenapa?” ucap Rama begitu ringan. Dagu pria itu terangkat dan tatapannya menusuk tajam, meremehkan. “Kamu pikir dinikahi karena cinta?” Laras membeku. Sejenak matanya menatap kosong, lalu berkedip dengan cepat, ia berusaha menyingkirkan bayangan harapan yang runtuh tiba-tiba. ‘Jadi benar, cuma aku yang percaya? Cinta? Dasar bodoh,’ batinnya. Apa mungkin karena alasan itu juga, sudah tiga bulan mereka menikah, Rama belum pernah menyentuhnya. Bahkan pria itu beralasan sedang sibuk, banyak tugas dan kelelahan. Melihat keterdiaman Laras, Rama geleng-geleng dan tertawa mengejek. “Kamu pikir kamu siapa, hah? Cewek kayak kamu itu udah beruntung dinikahi siri sama pria kaya dan berpendidikan seperti aku.” Tangan Laras terkepal kuat di samping tubuhnya, kulitnya yang kuning langsat itu sampai memutih pada buku-buku jarinya. Tidak terima harga dirinya diinjak-injak dan dipermainkan oleh pria, Laras mendorong Rama hingga pria itu mundur setengah langkah. Ia ingin muntah melihat wajah pria yang selalu didoakan dalam sujud. Dulu, Rama tampak seperti jawaban dari setiap harapannya, kini terasa seperti laknat yang tak bisa ia cabut. “Ceraikan aku, Rama!” Sorot mata Laras begitu tajam, tetapi memancarkan luka yang menganga lebar. Rama melotot saat Laras berani melawannya. Nampaknya pria itu naik pitam dan langsung mencengkeram rahang Laras dengan kuat. Laras meringis dan berusaha melepaskan diri. Tubuhnya juga agak gemetar, ternyata Rama mampu bersikap sekejam ini. “Cerai? Jangan harap. Kamu milikku sampai taruhan ini selesai.” Tangan Rama makin kuat dan kukunya perlahan menancap pada kulit rahang Laras. Ia berteriak, “Paham?!” “Aku bakal laporin kamu—” “Silakan, nggak akan ada seorang pun yang percaya ucapan perempuan miskin kayak kamu!” Tawa Rama menggelegar puas. Sambil menginjak kaki Rama, Laras berujar, “Aku benci kamu!” “Argh, sialan!” erang pria itu, seketika itu juga Rama melayangkan tangannya dengan keras hingga Laras terhuyung. Laras membeku. Telinganya berdengung, pandangannya berkunang dan kepalanya masih menghadap ke samping. Rasa panas serta kebas menjalar pada pipi yang tertutupi oleh rambut. Air mata luruh dengan memalukan di hadapan pria yang tidak seharusnya ia tangisi. Ini terlalu sakit hingga lukanya itu menyebar ke seluruh jaringan tubuhnya. Seakan belum puas menyakiti Laras, dengan tangan terlipat di depan dada, Rama berkata, “Dengar baik-baik, Laras. Kalau bukan karena taruhan itu, aku nggak akan sudi melirik cewek sekelas kamu.” Rama menunjuk-nunjuk tubuh Laras seakan kotoran yang tak layak disentuh. Tanpa empati atau secuil rasa bersalah, Rama melenggang pergi keluar dari rumah kontrakan itu. Meninggalkan Laras yang berdiri dalam diam bersama isak tangisnya. Laras menyeka air matanya dengan gerakan kasar. Cukup sudah penghinaan ini, ia tidak mau diinjak-injak lagi oleh lelaki itu. Setelah menutupi memarnya dengan concealer, Laras menemui koordinator rumah sakit. Memohon dipindahkan dari yang awalnya bertugas sebagai dokter muda di Jakarta menjadi di wilayah pelosok. Sialnya, ia harus menunggu cukup lama untuk mendapat keputusan. Laras memilih tinggal di kosan temannya, dan juga memblokir kontak Rama. Sampai hari ke lima, satu email masuk bahwa permohonannya dikabulkan. Terpaksa Laras kembali ke rumah kontrakannya untuk mengambil semua barang. Saat memasuki kamar, matanya membelalak mendapati ranjang berantakan. Parahnya lagi, ia menemukan alat kontrasepsi bekas pakai yang tergeletak begitu menjijikkan. “Keterlaluan kamu, Rama!” desis Laras sambil meremas dadanya sejenak. Dengan tangan gemetaran, ia mulai memasukkan semua pakaiannya ke dalam ransel. Napasnya tercekat kala tak sengaja menginjak gaun tipis ungu muda miliknya, serta dompet merah asing. Laras sempat mematung. Lalu ia memfoto semua kekacauan ini dan mengunggah ke sosial media pribadi. [Ternyata lebih gampang meniduri perempuan asing daripada istrinya sendiri.] Sebelum benar-benar pergi dari kota ini, ia melemparkan dompet asing itu ke kebun di dekat rumah. Kelak pemiliknya akan kesulitan mencarinya. Air mata Laras kembali luruh. Dengan bibir yang mengering ia bergumam, “Ya, Rama ... kalau kita nggak akan cerai, maka kamu juga nggak akan bisa menemukan aku sampai waktu taruhanmu habis.”Ragil masih gemetar di mobil, tatapannya tak percaya saat Randy membawanya ke sebuah rumah kontrakan sederhana dan bersih, meskipun itu di pinggiran kota. Ia disuguhi makanan lezat dan hangat, bahkan label restoran bintang lima menempel di segelnya. Tak hanya itu, ada juga pakaian ganti yang layak, diinstruksikan untuk segera membersihkan diri. Mandi air hangat pertama setelah berhari-hari di pulau asing membuat air mata Ragil menetes. Ternyata, musuh bebuyutan tuannya jauh lebih manusiawi dibandingkan Raymond atau Raina yang tega membuangnya seperti sampah. Rasa terharu bercampur dendam membakar hatinya. Begitu Ragil selesai berpakaian dan makan, Randy sudah siap dengan perekam suara di depannya. "Sekarang, Ragil," kata Randy tanpa basa-basi. "Ceritakan semua yang kamu tahu tentang penukaran obat JB Pharmacy." Randy mensetting kamera ke arah wajah Ragil. Pria tambun itu menarik napas panjang, lalu menunduk dalam-dalam. "Ini sudah berlangsung lima tahun, Randy. Awalnya, Raina h
Menunggu hari pertama Dirga kembali praktik memang melelahkan. Laras sampai tertidur, karena pasien anak dan ibu terlalu betah berlama-lama di ruang pemeriksaan.Tidak ingin membangunkan istrinya, Dirga menggendong Laras, kembali ke hotel. Sejak dari rumah sakit, semua orang memerhatikannya. Tentu saja wajahnya viral hari ini.Di kamar, Dirga sempat memeriksa sosial media. Membaca beberapa komentar warganet.[Gila, beruntung banget istrinya. Siapa sih? Jadi penasaran?][Kayaknya cewek itu menantunya, deh.][Dicerai suami, dinikahi papa mertua hot. Buset mirip judul novel online BESTie.]Dirga tersenyum tipis. "Kamu membuatku jadi pria paling iri di dunia, Sayang," bisiknya. Dirga langsung mengambil foto selfie dengan Laras, mengecup lembut pipi Laras yang masih terlelap. Wajah Laras tampak tenang dan damai dalam tidurnya. Ia mengunggahnya ke semua akun media sosialnya dengan cepat.[Selesai praktik pertama, ditemani istriku. Wanita satu-satunya yang kupilih untuk menaklukkan
Pagi harinya Raymond sudah berpakaian rapi. Ia meminta salah seorang asistennya membawakan pakaian ganti. Wajahnya lebih segar dibanding semalam. Sebelum meninggalkan klub, Raymond melempar dua puluh lembar uang ratusan ribu. “Nih, bonus untukmu. Kamu beneran masih perawan. Rasanya nikmat sekali. Sekarang kamu pulang dan jangan bersetubuh sama pria mana pun. Ingat itu!” Raymond menarik tengkuk gadis muda, memaksanya berciuman. Gadis itu pasrah sambil memegang erat selimut. Raymond bersenandung sambil keluar kamar. Setidaknya beban di pikiran sedikit berkurang. Meskipun hari ini ia harus kembali menghadapi semua masalah. Hari yang masih cukup gelap ini, digunakan Raymond untuk hal lain. Ia tidak pulang ke rumah atau mengunjungi kantor. Mobil pribadinya melesat cepat mendekati salah satu rumah mewah bergaya Eropa. Lampu-lampu masih menyala, dan petugas keamanan menjaga ketat di sana. Ia bukan ingin menerobos masuk, melainkan memantau situasi. “Pasti perempuan itu tinggal di
Helahan napas panjang terdengar dari dalam telepon genggam. Raymond basah oleh keringat. Dingin AC ruangan sama sekali tak membantu. Jemarinya mencengkeram ponsel begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Setiap detik terasa memanjang, ia ditikam oleh rasa cemas yang menusuk luar biasa. Dalam benaknya, ia melihat satu wajah yaitu Dirgantara.“Cepat katakan kenapa kamu diam saja, hah?!” hardiknya, suara pria itu menggema dalam ruang kerja.“Apartemen Reza terkunci rapat, Pak. Tidak ada yang membobolnya. Tapi—” Raymond memotong cepat, “Katakan saja intinya! Reza ada atau tidak?!”Tangannya yang menggenggam ponsel itu mulai bergetar. “Tidak ada, Pak. Menurut resepsionis, Reza berangkat dini hari ini dan belum kembali,” jelas anak buah itu dengan nada hati-hati. “Tidak mungkin Reza ikut dengan Raina ke luar negeri. Ada yang tidak beres,” gumam Raymond. Sebelah tangannya mengetuk-ngetuk pada meja kaca. “Cari tahu ke rumah Raina. Apa yang terjadi di sana. Laporkan padaku se
Usai melamun beberapa saat, Raina masuk kembali. Ia menatap sekeliling rumah yang sama sekali memprihatinkan. Wanita itu tak pernah menyangka harus menjalani persembunyian di tempat kumuh. Matanya memejam sesaat tatkala melihat tak ada kompor di rumah ini, hanya tungku untuk memasak dan beberapa potong kayu bakar. “Ish … kampungan banget!” gerutunya pelan. Ia lantas masuk ke kamar. Matanya melotot, selain dipan dan matras tipis yang usang, hanya ada lemari kayu reyot. “Gila. Aku dikasih barang bekas? Bahkan ini udah nggak layak pakai, ih, udah digerogoti rayap lagi! Brengsek si Raymond!” omelnya tidak henti. Raina pun memilih menyimpan bajunya tetap dalam koper elegan miliknya. Namun, matanya kembali melebar dan jantungnya berdetak kencang tatkala ia sadar satu koper berisi kertas berharga dan barang lainnya tidak ada di dalam kamar. “CK!” decaknya. Ia kemudian ke depan rumah. Bola matanya bergerak-gerak mencari koper yang lain. “Sial! Sepertinya mereka lupa menurun
Senyum dingin menghiasi bibir Dirga yang sensual. Mata karamelnya menatap datar ke depan, tetapi seperti ada satu makna di dalamnya. Setiap tarikan napas pria itu terasa berat usai mendengar informasi penting dari Randy. Amarahnya tidak meledak-ledak. Tangannya yang berhias cincin pernikahan hanya meremas kuat telepon genggam. “Jangan sampai keluarga saya ada yang tahu tentang Raina.” Suara Dirga begitu pelan dan bola matanya bergerak ke arah pintu kamar mandi, ia khawatir Laras mendengarnya. Randy menyahut cepat, “Baik, Pak.” “Kamu jalankan saja rencana kita yang lain. Ingat untuk tetap tenang!” Perintah itu bernada tegas dan menuntut. Setelahnya Dirga memutus sambungan telepon. “Kamu nekat, Raina. Percuma saja kabur,” geramnya pelan, Dirga menyeringai. Gegas menggunakan pakaian sebelum sang istri selesai mandi. Lima belas menit kemudian, Dirga dan Laras sudah berada di dalam mobil, meninggalkan ketegangan hotel. Tangan Dirga menggenggam erat jemari Laras, ia












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments