LOGINWhen 20 year old Emilia Navarro is sold to one of the most feared mafia lord in the city, her world shatters. Her father and stepmother, drowning in debt and desperate for a taste of luxury, trade her innocence for a pile of blood stained money. She is delivered like property to Dante Calhoun a cold, ruthless man with ice in his veins and a reputation built on violence. Dante didn't ask for a bride, he demanded obedience, a pawn to solidify his grip over a rival family. What he didn't expect was Emilia's fire, fragile yet defiant. Emilia refuses to be broken even as she thrusts into a world of brutal power plays ,deadly secrets and dangerous alliances. As the lines between hate and desire blur, Emilia must learn how to survive in a world where love is a weapon and loyalty is earned in blood. But the deeper she falls into Dante's world, the more she realizes that the most dangerous thing may not be falling for the man she was sold to but discovering secrets behind her true origin.
View MoreAku tidak percaya, ternyata tubuh mertuaku jauh lebih nikmat daripada istriku sendiri. Malam ini, akhirnya aku bisa melepaskan hasratku dengan Mama Siska, ibu mertuaku sendiri.
"Enak banget Ma, semakin lama rasanya semakin nikmat." Aku tidak berhenti menggoyang mertuaku di atas kasur. "Kamu juga sangat perkasa Raka, Mama sampai kewalahan. Kamu memang luar biasa, ayo Raka bikin Mama puas!" Desahnya, badannya bergetar. "Siap Ma, akan kubuat Mama puas. Kita main sampai pagi Ma, Mama mau kan aku goyang sampai pagi?" "Mau banget Raka, Mama pasrah apapun yang kamu lakukan." Istriku berselingkuh dengan pria lain, maka dari itu aku membalasnya, berhubungan dengan Ibunya.**
Hujan deras mengguyur malam itu, menciptakan simfoni yang seharusnya menenangkan. Tapi tidak untukku. Aku terjaga di atas ranjang, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang berantakan, seperti hujan yang mengguyur tanpa henti. Seharusnya di sebelahku ada istriku yang menemaniku, di saat cuaca dingin begini aku hanya bisa memeluk guling. Aku sudah membayangkan bisa bercinta semalaman dengan istriku, padahal baru beberapa hari saja kita resmi menjadi suami-istri. Memang di saat malam pertama pernikahan kita, aku sudah bercinta dengannya semalaman suntuk tanpa henti. Sekarang benda pusaka ku ingin memuntahkan lahar panas nya, tapi sekarang aku sendirian tidak mungkin jika aku sampai jajan di luar. Aku punya nafsu yang tinggi, apalagi cuaca dingin begini, semakin besar keinginanku untuk bercinta. Ponsel di tanganku masih menyala, menampilkan pesan suara dari Tiara. "Sayang, jangan lupa makan ya. Mama pasti bakal perhatian sama kamu, jadi gak usah khawatir." Suara Tiara terdengar lembut, tapi ada sesuatu yang terasa jauh. Aku menarik napas panjang sebelum membalas. "Iya, hati-hati di sana." Setelah hampir seminggu Tiara pergi dinas ke luar kota. Awalnya, aku pikir tidak masalah tinggal sendiri di apartemen. Tapi dia bersikeras agar aku tinggal di rumah orang tuanya. "Biar Mama bisa nemenin kamu. Lagian, kamu belum terlalu akrab sama Mama, kan?" Dan di sinilah aku sekarang. Di rumah yang bukan rumahku, di bawah atap yang sama dengan seorang wanita yang… semakin sulit untuk tidak kupikirkan. Bu Siska. Bukan ibu kandung Tiara, tapi ibu tirinya—dan itu seharusnya tidak membuat perbedaan. Tapi, entah kenapa, aku mulai melihatnya dengan cara yang tidak seharusnya. Ibu Siska terlihat sangat cantik, badannya seperti gitar spanyol, kulitnya putih mulus dan senyumnya itu rasanya mengajak untuk berbuat maksiat. Aku menggeliat di tempat tidur, mencoba mengabaikan kegelisahan pikiran kotor yang mulai merayapi pikiranku. Tapi rasa lapar memaksa aku keluar kamar. Langkahku di lorong terasa lebih berat dari biasanya, mungkin karena pikiranku yang tidak tenang. Begitu tiba di dapur, aku langsung melihatnya. Bu Siska. Ia berdiri di dekat meja makan, hanya mengenakan gaun tidur satin berwarna biru muda. Kain halus itu membalut tubuhnya dengan pas, menyoroti lekukan yang masih terjaga di usianya yang menginjak 42 tahun. Bahunya terbuka sedikit, memperlihatkan kulitnya yang masih kencang dan mulus, seperti wanita yang jauh lebih muda dari usianya. Rambut hitamnya tergerai santai, memberi kesan liar namun tetap elegan. Mataku tertuju pada buah dadanya yang lumayan montok, saat dia menata piring rasanya buah dadanya akan tumpah. Aku buru-buru mengalihkan pandangan, tapi terlambat. Ada sesuatu yang menancap di benakku. Sesuatu yang mengusik. Astaga, ini ibu mertuamu sendiri, Raka. Fokus. Namun sebelum aku bisa merapikan pikiranku, ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang lembut, tapi ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat. "Raka, ayo makan dulu," ajaknya dengan suara yang hampir seperti bisikan. Aku mengangguk dan duduk di meja makan. Dia menuangkan sup hangat ke dalam mangkukku, aroma rempah dan jahe menguar, menyebarkan kehangatan di ruangan yang terasa semakin sempit. Entah kenapa rasanya Bu Siska, seperti sengaja menempelkan buah dadanya pada wajahku. Hingga tercium aroma parfum dan body lotion nya, yang membuat pedang pusaka ku berdenyut-denyut. "Tiara pasti sering masakin kamu, ya?" tanyanya, matanya menatapku lebih lama dari seharusnya dan dia meremas buah dadanya sendiri seperti sengaja. Aku menelan ludah. Senyum itu… tidak seperti senyum ibu mertua pada menantunya. Kenapa juga dia harus meremas buah dadanya sendiri di depanku. "Iya, Ma—eh, Bu," jawabku, buru-buru memperbaiki panggilan. Mama Siska terkekeh pelan, suara tawanya renyah, hampir seperti godaan. "Mama aja nggak apa-apa. Toh, kamu memang anak Mama sekarang." Aku ikut tertawa kecil, mencoba tetap tenang. Tapi saat aku hendak mengambil sendok, tangannya tanpa sengaja menyentuh tanganku lagi. Sekilas, itu mungkin hanya kebetulan. Tapi kehangatan yang tertinggal di kulitku bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Aku meneguk air putih, mencoba menenangkan diri. Setelah makan, aku beranjak ke wastafel untuk mencuci tangan. Saat aku hendak kembali ke kamar, suara Mama Siska menghentikan langkahku. "Raka," panggilnya pelan. Aku menoleh. Ia berdiri di lorong, bersandar di kusen pintu kamarnya, satu tangan terangkat menyentuh kayu, tubuhnya sedikit miring. Gaun tidurnya tampak lebih pendek daripada tadi, memperlihatkan pahanya yang mulus di bawah cahaya redup. Aku menahan napas. "Kalau butuh sesuatu… jangan ragu panggil Mama, ya?" Dia mengedipkan mata sambil mengigit bibirnya. Suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan di telinga. Seakan ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dari sekadar kata-kata. Aku hanya bisa mengangguk. "I-iya, Ma." Ia tersenyum tipis, sebelum masuk ke kamarnya dan menutup pintu perlahan. Aku diam di tempat, jantungku berdegup lebih cepat dari seharusnya. Tidak. Ini pasti cuma pikiranku saja. Tapi saat aku berbalik, mataku tak sengaja menangkap pantulan di kaca jendela ruang tamu. Pintu kamar Mama Siska belum benar-benar tertutup. Masih sedikit terbuka… cukup untuk kulihat sepasang mata yang mengawasiku dari celah itu. Aku merinding. Aku segera berbaring di kasur, menarik selimut dan berharap segera pagi. Tapi ternyata aku tidak bisa tidur, pikiranku terbayang wajah Mama Siska apalagi saat dia meremas buah dadanya. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuat gairahku naik. Seketika benda pusaka ku langsung mengeras, sampai terlihat jelas di dalam celanaku. "Ssshhh aaahhhh...." Tiba-tiba terdengar suara aneh, aku turun dari ranjang dan mencari sumber suara itu. Aku membuka pintu dan ternyata pintu kamar Mama Siska masih terbuka, suara itu semakin terdengar jelas. Sekarang aku tau jika itu suara Mama Siska, dia sedang mendesah membuat kerongkonganku mendadak kering. Aku berjalan secara perlahan, sampai berada di depan kamar Mama Siska. Aku mengintip di balik tembok melihat ke dalam kamarnya dan betapa terkejutnya aku, melihat Mama Siska berbaring tanpa sehelai benangpun. Tangan kirinya membelai lembah terlarang nya, dan tangan kanannya meremas buah dadanya. "Ahhh enak Raka, terus sayang.... !" Nafasku terasa sesak, mungkin aku salah dengar. Jantungku berdebar kencang, rasanya udara semakin panas dan keringat menetes di dahi ku. Di tambah lagi benda pusaka ku malah makin keras, apalagi melihat tubuh Mama Siska yang aduhai. "Masuk Raka, jangan ngintip!" Aku semakin terkejut, rupanya Mama Siska tau jika aku sedang ngintip. Akhirnya aku menampakan diri, aku berdiri sambil menatap Mama Siska yang masih berbaring telentang dengan begitu menggoda. "Kamu gak bisa tidur ya? Ayo sini tidur sama Mama!" Aku harus melawan antara nafsu dan status. Dia mertua ku, tidak mungkin jika aku mengkhianati istriku sendiri. Tapi nafsu mengalahkan segalanya, aku tidak peduli yang jelas malam ini harus di lampiaskan. Aku sudah tidak kuat menahannya, dalam beberapa hari ini. Sedangkan di depan mataku, terdapat kenikmatan surgawi yang sudah menantang ku. Aku tidak akan menyia-nyiakannya, aku butuh pelampiasan. "Raka...... Raka.... Raka.... !" Suara itu semakin terdengar jelas, hingga aku membuka mataku. "Tokkk.... Tokkkk.... Tokkkk... Raka... Raka... Bangun!" Itu suara Mama Siska, ternyata semuanya hanya mimpi. "I-iya Ma, aku sudah bangun." Jawabku gelagapan. "Mama tunggu di meja makan ya?" "Iya Ma," Aku segera berlari ke kamar mandi. Gara-gara memikirkan Mama Siska, membuatku bangun kesiangan.The forest had changed.What was once a place of strength and sacred power now lay silent and forgotten, as if the earth itself had chosen to mourn. The trees no longer whispered. The moon no longer glowed with warmth. The air tasted of ash and old memories.Nothing grew here anymore.And still, Dante returned.Every year, on the same night, to the same spot—an ancient cliff just beyond the Bloodmoon territory, where the stars once looked brighter, where she once smiled beside him and talked about a life that would never come.Now he stood alone, tall and quiet, cloaked in black.The wind swept through his hair, tousling it like a lover’s final touch. His eyes, once the sharp golden hue of a protector, now burned with something darker—something unrecognizable.No one dared speak to him.Not anymore.The Dante who had once led with both strength and mercy had been buried the same day Emilia was. And what rose in his place… was not a man who could be reasoned with.He hadn’t taken back
The wind howled through the broken windows of the long-forgotten mansion, carrying with it the scent of decay, dust, and something older—something darker.The structure groaned beneath the weight of time, its walls cracked, its ceilings sagging with age. It was the kind of place people whispered about in passing, but never dared approach. Yet tonight, it was full. Not with laughter, not with warmth, but with hushed voices, sharpened eyes, and deadly purpose.A circle had formed inside the ruined ballroom. The chandeliers above them swayed gently, their crystals dulled by grime and the years. Shadows danced across the floor, thrown by flickering torches pinned to rusted iron sconces. They were a ragtag collection—witches with cracked fingernails and burning eyes, rogue wolves with jagged scars across their necks and backs, and others whose allegiances were harder to place.They had one thing in common: they had been waiting.One of the women, cloaked in deep crimson, stepped forward.“
The battle had quieted—but not stilled.Wolves circled the bloodied courtyard, wary and wounded. Naia crouched over Mara’s unconscious form, whispering healing chants. Luka paced like a caged animal, his torn clothes soaked in blood, his amber eyes flicking to the heart of the destruction.To her.Emilia stood in the center, unrecognizable.Her once clean dress was soaked scarlet, hanging off her like shredded silk. Her eyes weren’t hers—gold, glowing, distant, maddened. Her breathing came in soft hisses, feral and wild. Magic shimmered around her skin like a mirage, crackling and unstable.Thalia stepped forward.Quietly. Gently.Hands raised in surrender.Her voice was calm, laced with the delicate edge of fear and love.“Emilia… sweetheart, please. I know you’re still in there.”No answer.Just the wind, rustling the broken leaves across the blood-soaked ground.“I know it hurts,” Thalia whispered, inching closer. “I know what it’s like to be consumed by power. But this—this isn’t
The courtyard reeked of blood and scorched magic.Dante stumbled backward as Mara's wolf form leapt between him and the blaze of Emilia’s next spell. The impact knocked him off his feet, the heat licking his face as he landed hard against the stone floor.Mara skidded beside him, shifting back to human form, skin seared along her ribs. “She tried to kill you,” she rasped, coughing through the pain. “That was meant for you, Dante.”He could barely process her words. The only thing he saw was Emilia—her silhouette standing tall in the middle of the destruction, her eyes gleaming like twin suns of wrath.A woman on fire.And all of it—every breath of fury—was directed at him."She..." Dante shook his head, trying to deny what he'd felt. The way her magic had zeroed in on his heartbeat. There’d been no hesitation. No restraint.He clutched at his chest, the ache of their bond twisting like a knife inside him.“Dante!” Luka’s voice roared from across the battlefield. “Get out of here! We’l
The heavy doors groaned open again.This time, all four of them were there—Luka, Naia, Thalia, and Mara—standing in the center of the hall like sentinels who had been waiting far too long. The moment Dante stepped in, every pair of eyes locked onto him.He looked like a shell of himself.His coat was half-buttoned, his hair slightly damp from the mist outside. His boots tracked mud across the marble floor, and he didn’t seem to care. His shoulders were slumped, face drawn, eyes darkened with something that could only be described as torment.“Dante?” Luka stepped forward. “Where the hell have you been?”Mara narrowed her eyes. “Do you know what time it is? You were supposed to report back hours ago.”“We tried mind-linking you,” Luka added, his voice edging into frustration. “I reached out at least ten times—nothing. Not even static.”Thalia frowned, her nose twitching as she caught the scent of ash and something older—ancient, almost burnt magic. “You smell… strange.”“Different,” Na
The study was quiet again.The fire crackled in the hearth, casting golden light on the hardwood floors. Emilia stood by the mirror, adjusting the sleeves of her dark blouse. Dante buttoned his shirt behind her, watching her reflection. Her expression was unreadable, but her shoulders relaxed slightly in his presence.He stepped up behind her, his arms sliding around her waist.“I have a surprise for you,” he murmured against her ear.Emilia raised an eyebrow, glancing at his reflection. “A surprise?”He nodded, lips curving faintly. “Something... or someone.”Before she could respond, the sound of approaching footsteps echoed down the hall.Emilia straightened immediately, her instincts flaring. She turned sharply toward the door just as it creaked open — and froze.Mochi stood in the doorway.Alive. Whole.Her long sliver hair was slightly tangled, her eyes tired but steady. She stepped into the room, and for a long, breathless second, no one spoke.“Mochi...?” Emilia’s voice came o






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments