Selang beberapa hari setelah kejadian di kantor itu, tubuhku mulai merasakan sesuatu yang tak biasa. Awalnya aku berpikir hanya kecapekan, tapi gejalanya semakin aneh. Tenggorokkanku sering terasa penuh, berdahak, dan ketika aku meludah, ada bercak-bercak merah, seolah bercampur darah. Hal itu membuatku khawatir, tapi aku mencoba menyangkal, berpikir mungkin hanya masalah kecil.
Namun, tubuhku semakin lemah dari hari ke hari. Terkadang, tanpa alasan yang jelas, aku merasa pusing dan hampir jatuh saat sedang bekerja. Eci mulai khawatir melihat kondisiku. Setiap kali aku mengeluh soal rasa lelah yang tak wajar ini, dia hanya menggeleng, tampak bingung. "Kamu beneran nggak mau periksa ke dokter, Nur?" tanyanya suatu sore ketika kami sedang beristirahat di dapur. Matanya menatapku penuh kekhawatiran. Aku menghela napas panjang. "Nggak usah, paling cuma masuk angin." Tapi dalam hatiku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. Aku hanya tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh, takut pada kemungkinan yang belum bisa kupahami. Terutama setelah semua gangguan yang terjadi di kantor dan rumah ini, aku mulai merasa tubuhku terpengaruh oleh sesuatu yang lebih dari sekadar penyakit fisik. Suatu malam, aku terbangun oleh suara gemericik air yang terdengar samar dari arah balkon. Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba mengabaikannya, meyakinkan diriku bahwa itu hanya angin atau mungkin Eci yang sedang berwudhu untuk sholat subuh. Tapi anehnya, suara itu terus berlanjut, seolah keran air dibiarkan mengalir tanpa henti. Dengan rasa kantuk yang berat, aku membuka mata perlahan dan melirik ke arah pintu balkon yang terbuka sedikit. Samar-samar, aku bisa melihat air mengalir dari keran, tapi tak ada siapa-siapa di sana. Balkon itu kosong, tak ada tanda-tanda kehadiran Eci. "Ah, mungkin dia baru saja selesai dan kembali ke kamar," gumamku dalam hati, mencoba meredakan perasaan aneh yang mulai muncul. Tapi ada sesuatu yang tidak benar. Suara air itu terdengar terlalu deras, seolah-olah seseorang sengaja membiarkannya terbuka lebar. Aku terdiam sejenak, mendengarkan lebih seksama. Aku bangkit dari tempat tidur dengan langkah pelan, berusaha menepis perasaan tak nyaman yang mulai merayap di punggungku. "Eci?" panggilku dengan suara pelan, berharap dia masih terjaga di sekitar sana. Tapi tak ada jawaban. Saat aku membuka pintu balkon sepenuhnya, udara dingin menyentuh wajahku, dan bulu kudukku berdiri. Keran itu memang terbuka, airnya mengalir deras, tapi tak ada siapa pun di sekitar. Jantungku mulai berdegup lebih cepat. Aku memutar keran itu hingga berhenti mengalir, lalu kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Eci, kamu tadi di balkon?" tanyaku setengah berbisik ketika aku melihatnya masih tertidur pulas di kasurnya. Dia mengerang pelan, setengah sadar, sebelum menjawab dengan suara berat, "Enggak, kenapa sih?" Aku terdiam, mencoba memahami apa yang barusan terjadi. Jika bukan Eci, lalu siapa yang membuka keran air di balkon? Aku kembali ke kamarku, mencoba meredakan detak jantungku yang masih berdebar keras. Mataku melirik ke arah jam dinding, jarumnya menunjukkan pukul 3 pagi. Masih jauh dari waktu subuh. Kamar terasa dingin, lebih dari biasanya. Aku merapatkan selimut, berusaha mengusir perasaan tidak nyaman yang terus menghantui. Meski aku sudah menutup keran dan meyakinkan diri bahwa semua baik-baik saja, ada sesuatu yang tak beres. Aku mencoba memejamkan mata, tetapi rasa was-was itu terus membayangi. "Kenapa keran bisa terbuka? Dan kenapa perasaan ini tak kunjung pergi?" Aku berusaha mencari jawaban, tapi tak ada yang masuk akal. Pikiranku berputar-putar, dan meskipun tubuhku lelah, tidur seolah menjauh. Di luar, angin malam berdesir pelan, tetapi sunyi itu terasa terlalu mencekam. Aku berbalik ke sisi lain, mencoba tidur, namun seakan ada sesuatu yang menahan. Pandanganku mengarah ke jendela, tapi tak berani menatap terlalu lama, takut apa yang mungkin bisa kulihat di luar sana. Saat aku hendak memejamkan mata, pintu kamarku terbuka perlahan. Aku terkejut melihat Eci berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat pucat, dan matanya sedikit bengkak seperti orang yang baru bangun tidur. “Nggak bisa tidur?” tanyaku pelan, masih dengan sedikit rasa kaget. Eci menggeleng lemah. "Temenin aku ke kamar mandi, ya," suaranya terdengar agak bergetar, seolah ada rasa takut yang disembunyikan. Aku bangun dengan cepat, rasa kantuk hilang begitu saja. "Kenapa nggak dari tadi? Kamu baik-baik aja?" Eci hanya mengangguk tanpa menjawab. Aku meraih senter di meja kecil di samping kasur, lalu berjalan di belakangnya menuju kamar mandi. Perasaan tak nyaman mulai merayap lagi di benakku, mengingat kejadian-kejadian sebelumnya. Di luar kamar, suasana rumah terasa lebih mencekam di malam hari. Hanya terdengar suara langkah kaki kami yang berat, menapaki lantai dingin. Sepanjang perjalanan, aku tak bisa menghilangkan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak, perasaan seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Eci menatapku sejenak sebelum mendorong pintu kamar mandi lebih lebar. "Tunggu di sini, ya," katanya sambil melangkah masuk. Aku berdiri di depan pintu, berusaha tetap tenang. Tapi entah kenapa, bulu kudukku berdiri, dan rasa dingin di punggungku semakin menusuk. “Ci, udah belum?” tanyaku dengan nada cemas, mencoba mengalihkan pikiranku dari ketidaknyamanan yang menyelimuti suasana di sekitar. Suara air yang mengalir dari keran masih terdengar, namun tidak ada jawaban dari Eci. Detak jantungku semakin cepat, dan aku melangkah sedikit lebih dekat ke pintu, berusaha mendengar suara gerakan di dalam kamar mandi. “Eci?” Aku memanggil lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras. “Kamu baik-baik aja?” Masih tak ada jawaban. Aku mengernyit, merasa gelisah. “Ci, jangan lama-lama!” seruku, mencemaskan apa yang mungkin terjadi di dalam. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya Eci muncul dari dalam kamar mandi, wajahnya tampak lebih pucat dari sebelumnya. “Aku... aku merasa aneh,” ujarnya, suaranya bergetar. “Sepertinya ada yang mengawasi.” Mendengar kata-katanya, rasa takutku semakin membuncah. “Maksudmu?” Eci menatapku dengan mata penuh ketakutan. “Aku merasa ada seseorang di dalam, tapi nggak ada siapa-siapa.” Sebelum aku bisa menjawab, suara berderit dari dalam kamar mandi terdengar lagi, seperti pintu yang terbuka dan tertutup dengan sendirinya. Kami berdua saling memandang, dan tanpa berkata-kata, insting kami langsung menggerakkan kami untuk mundur perlahan. "Cukup, kita masuk kamar saja!” aku berbisik, menarik Eci menjauh dari pintu. Tapi saat aku berbalik, pintu kamar mandi itu tiba-tiba tertutup dengan keras, menggemparkan kami. Rasa takut yang sudah mengendap di dalam dada kini menggelora, membuatku tidak bisa bergerak. Aku dan Eci berlari menuju kamar, terengah-engah dalam ketakutan. Begitu kami sampai di dalam, aroma menyengat tiba-tiba menyerang indra penciumanku. Bau busuk itu memenuhi udara, seolah ada sesuatu yang tidak beres di sekitar kami. "Ci, apa ini?” tanyaku dengan suara bergetar, menutupi hidungku dengan lengan. “Kamu mencium bau itu?” Eci mengangguk, matanya membulat ketakutan. “Iya! Seperti… bau bangkai." Bau itu semakin kuat, seolah menyelimuti kami, membuatku merasa mual. Keterasingan di dalam kamar ini seakan menciptakan dinding tak terlihat yang membuat kami semakin terjebak. Eci meraih tanganku, matanya penuh ketakutan. “Kita harus pergi dari sini! Ini tidak aman!” Aku menatap ke arah pintu, merasa seolah ada sesuatu yang mengintai dari baliknya. “Tapi ke mana? Kita nggak bisa keluar sekarang!” Tanpa berpikir panjang, aku melangkah ke jendela, berharap bisa melihat dunia luar yang terasa lebih aman. Namun, saat menatap ke luar, keheningan malam Jakarta hanya menambah rasa tidak nyaman di dalam dada. “Tunggu sebentar,” bisikku, “kita perlu tenang.” Mendengar suaraku, Eci menarik napas dalam-dalam, meskipun wajahnya masih tampak ketakutan. “Tapi bagaimana jika… jika ada sesuatu di dalam rumah ini?” Satu pertanyaan itu meluncur seperti anak panah, menembus jantungku. Aku tahu, di luar semua ketakutan ini, sesuatu yang aneh dan tidak bisa dijelaskan sedang terjadi. Saat itu, suara deru mesin mobil majikan terdengar dari luar, menembus keheningan malam. Mereka baru pulang, seperti biasa, jarang terlihat di rumah dan selalu keluar entah kemana setiap malam. Aku dan Eci langsung saling berpandangan. “Apa mereka gak pernah tidur?” bisik Eci, sedikit was-was. Aku hanya menggeleng pelan. "Entahlah. Mereka selalu pergi larut dan pulang saat semua orang sudah tertidur." Aku menatap jendela, melihat lampu depan mobil yang menerangi jalan masuk. Ada sesuatu yang aneh tentang mereka, tapi kami tak pernah bertanya. Mungkin karena ketakutan atau hanya merasa itu bukan urusan kami. "Aku tidak tahan lagi..." kataku dengan suara bergetar. "Aku ingin berhenti kerja di sini."Hari itu datang lebih cepat dari yang aku bayangkan. Pagi masih berselimut kabut tipis, hawa dingin khas kampungku menyelinap ke sela-sela jendela kayu. Rumah sederhana peninggalan orang tuaku yang lama tak kuhuni kini terlihat ramai, penuh kerabat dan tetangga yang datang membantu persiapan pernikahanku.Di halaman depan, tenda putih dipasang sederhana. Kursi-kursi plastik tertata rapi berhadapan dengan meja panjang tempat hidangan akan diletakkan. Beberapa bunga krisan putih dipadukan dengan daun pisang sebagai hiasan—cukup untuk membuat suasana terasa hangat dan bersahaja.Aroma masakan dari dapur menyebar ke seluruh penjuru rumah; nasi kuning, opor ayam, dan sambal goreng kentang menjadi menu utama hari ini. Ibu-ibu tetangga tampak sibuk membantu, tertawa kecil sambil sesekali menegur anak-anak yang berlarian riang di halaman.Aku duduk di kamar kecilku yang dulu sering menjadi saksi hari-hari penuh mimpi dan air mata. Di depan cermin yang sedikit retak, aku merapikan diri dengan
Setiap kali aku tiba di kantor, hal yang paling membuat langkahku terasa berat adalah masuk ke ruangan Pak Frank. Meski tugasnya sederhana, hanya sekadar membuka jendela dan memastikan ruangan itu rapi, aku selalu merasa enggan. Ada sesuatu yang membuat ruangan itu berbeda, hawa dingin yang menyeruak meski jendela-jendela kecilnya langsung menghadap jalan raya. Ruangan itu cukup besar, dilengkapi sofa yang cukup nyaman, ada televisi dan beberapa peralatan lainnya. Di dekat pintu terdapat meja Pak Frank dengan kursi putar hitam, dan beberapa dokumen yang tertumpuk rapi di sudutnya. Di sisi lain, ada dua jendela kecil dengan pemandangan jalan raya yang biasanya penuh lalu lintas. Di sampingnya, ada lemari tempat menyimpan barang-barang, mesin kopi dan juga kulkas. Namun, yang paling mencolok adalah jendela kaca sebelah kanan, yang terhubung langsung dengan rooftop. Jendela itu tampak gelap dari luar, aku selalu merasa seperti ada sesuatu yang menatapku dari dalam setiap kali aku
Aku mencoba mengabaikan pesan Isabelle, tapi rasa cemas itu tetap menggantung di pikiranku sepanjang hari. Saat bekerja, aku merasa lebih sensitif terhadap sekelilingku. Setiap suara kecil, bayangan yang melintas di sudut mata, atau bahkan hembusan angin yang terasa tidak wajar membuatku terlonjak. Malam harinya, ketika aku pulang ke kontrakan, aku masih memikirkan kata-kata Isabelle. 'Bau wangi… tertarik dengan Mbak…' Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku teringat bagaimana ibuku dulu pernah berkata kalau aku sering dipuji memiliki aroma tubuh yang khas, seperti harum bunga melati. Saat kecil, aku menganggapnya pujian biasa, tapi sekarang aku merasa takut. Apa ini artinya aku memang punya "ciri" yang bisa menarik perhatian makhluk-makhluk tak kasat mata? Di dalam kontrakan, aku mencoba menenangkan diri. Aku mengunci semua pintu dan jendela, memastikan tidak ada celah sedikit pun. Aku berbaring di kasur tipis yang tergeletak di lantai, memaksakan diri untuk tidur. Na
Pagi itu, aku berangkat ke kantor lebih pagi dari biasanya, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk pergi lebih awal. Mungkin karena sudah merasa tak nyaman di kontrakan baru, atau mungkin hanya sekadar ingin mengalihkan pikiran.Aku memegang kunci gerbang utama dan pintu depan, berjalan memasuki kantor yang masih sepi. Hanya aku yang sudah datang, terlalu pagi untuk siapa pun. Aku duduk di sofa, membelakangi cermin besar yang menempel di dinding.Cermin itu hampir mencakup seluruh ruangan, dan aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa dengan keberadaannya, namun aku memilih untuk mengabaikannya.Rasa kantuk datang begitu saja. Aku merasa begitu lelah, entah karena pekerjaan atau masalah yang terus menghantui pikiranku. Dalam sekejap, aku tertidur di sana, tanpa bisa mengontrolnya. Namun, tidurku bukan tidur yang tenang.Seperti yang sudah sering terjadi, aku kembali mengalami ketindihan, bahkan kali ini di kantor. Rasanya seperti ada yang mengge
Ketika akhirnya aku menemukan kontrakan yang sederhana tapi nyaman, aku merasa seperti mendapatkan harapan baru. Tempat itu tidak besar, hanya sebuah kamar dengan kamar mandi kecil tanpa dapur. Meski begitu, aku yakin tempat ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih mandiri.Aku belum langsung menempatinya, tapi mulai mencicil barang-barang yang akan kubawa ke sana. Saat Bu Dina kembali mengeluhkan bahwa ia belum menemukan kontrakan murah untukku, aku akhirnya berkata dengan tenang.“Bu, saya sudah menemukan kontrakan sendiri. Saya akan pindah secepatnya.”Raut wajahnya berubah. Ia tampak terkejut tapi tidak berkata banyak. Sejak percakapan itu, aku merasa hubungan kami benar-benar berubah. Kami seperti orang asing yang hanya berbicara seperlunya, tidak lagi seperti keluarga yang dulu aku bayangkan. Malam itu sesuatu yang ganjil terjadi lagi. Aku kembali memimpikan Bin, padahal hubunganku dengan Aji mulai membaik. Mimpi itu selalu dimul
Sejak saat itu, suasana rumah Bu Dina berubah drastis. Entah apa yang merubah sikapnya, tapi perlakuannya padaku mulai terasa menusuk. Dulu, rumah ini adalah tempat yang membuatku nyaman. Namun, sekarang, dia seperti orang yang berbeda. Dingin, penuh sindiran, dan seolah tak sabar menunggu aku pergi.“Kamu masih tinggal di sini, Nur. Makan di sini, pakai air di sini, wifi di sini. Jadi bantu-bantu ya,” katanya suatu sore, dengan nada seperti memerintah.Kalimat itu terngiang di kepalaku, mengikis rasa hormatku sedikit demi sedikit. Aku tahu aku tinggal di rumahnya, tapi apa aku seburuk itu?Bukankah aku sudah membantu pekerjaan rumah setiap hari sebelum berangkat ke kantor? Bukankah aku selalu memastikan semuanya rapi sebelum aku meninggalkan rumah? Tapi sepertinya, apapun yang kulakukan tak pernah cukup di matanya.Setiap kali aku terlihat duduk santai, meskipun hanya lima menit setelah seharian bekerja, Bu Dina selalu menemukan alasan untuk meny