Malam pertemuan tiba. Zedrich mempersiapkan dirinya dengan sempurna. Zivana sengaja memilihnya karena menganggap lawan terberatnya adalah Zedrich. Dengan bangga wanita berambut putih dan bermata biru itu berjalan menggunakan mahkota pemberian Akasma yang memang telah disiapkan. Dia berjalan menuju halaman istana dan akan menaiki Aslan. Namun sang singa mengerang keras. Zedrich seketika mundur.
“Putri, Anda akan menaiki kereta yang sudah disiapkan,” ucap Agha membuatnya kecewa. Zedrich mengira jika dia akan berdua dengan Mustafa menaiki singa kesayangan Pangeran. Perasaan tidak percaya semakin membuatnya mengerti jika tantangan Zivana pasti akan membuatnya kalah.
“Aku tidak akan pernah mengalah. Ini adalah kesempatanku,” gumam Zedrich menatap dingin Mustafa yang tidak membalas pandangannya sama sekali. "Bahkan dia sama sekali tidak memandangku." Zedrich tidak menyerah. Dia tetap akan melakukan semua cara untuk mendapatkan Mustafa.
Mustafa dengan gagah menaiki
Mustafa membuat Zivana sangat terkejut. Dia menggeleng keras mencegah keinginan Mustafa. “Jangan lakukan. Aku akan berjuang melawan mereka. Kau tidak perlu membuktikan apapun. Mustafa … aku mohon.”Mustafa memeluk Zivana erat. Mereka berdua saling menikmati kehangatan masing-masing. Mustafa menatap wajah Zivana dengan tatapan lembut. Senyuman tampan terlihat di sana. Linangan air mata hilang seketika. Mereka saling menyatukan kening dengan senyuman.“Senyummu sangat indah. Berikan kepadaku setiap hari, Zivana.”“Aku akan memberikannya, kekasihku,” jawab Zivana dengan bisikan manja.Bibir mereka kembali bersatu dengan indah. Hasrat kembali hadir dalam hati masing-masing. Namun itu semua harus mereka tahan. Lidah mulai bersentuhan menyapa di dalam. Saling bermain dengan senyuman, membuat kebahagiaan semakin utuh. Sedikit gigitan di bibir Zivana, membuat sang putri tersenyum dan membalasnya. Bibir itu masih saling m
Aigul masih saja mengitari semua arah. “Mustafa!” teriaknya keras. Dia menghentikan langkahnya, mengedarkan pandangan dengan teliti. Dia tidak menyangka jika Mustafa yang terkuat juga bisa mengalami kekalahan seperti ini.“Mustafa, ke mana kau?”“Pangeran itu tidak mungkin berada di sini, Aigul. Sudah kau lihat jika Mustafa meninggalkamu.” Evren tiba-tiba mengejutkannya. Aigul masih terdiam kaku. Linangan air mata kini hadir kembali. Wajahnya mulai sembab. Terisak-isak, itulah yang dia lakukan hingga tertunduk ke tanah karena tidak bisa lagi menumpu tubuhnya.“Jangan pernah mencintai dia yang tidak mencintaimu,” ucap Evren membuat Aigul memandangnya dengan sangat tajam. Dia berdiri, berjalan cepat mendekati Evren dan mendorong kuat tubuhnya.“Jika kau tidak membawaku pergi, aku pasti akan bersamanya! Bagaimana bisa dia mengetahui keberadaanku jika aku pergi bersamamu! Ini semua salahmu, Evren sialan!&r
Aigul tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Hatinya bergemetar. Perasaan lega dia rasakan. Tanpa banyak berpikir, Aigul memeluk Mustafa yang tiba-tiba berada di hadapannya. Dalam diam Mustafa perlahan membalas pelukannya.“Tidak perlu meninggalkan istana,” ucapan Mustafa, seketika membuat kedua mata Aigul melotot keras. Dengan cepat dia melepaskan kedua tangannya yang semula mengerat di leher Mustafa.“Apa kau akan membiarkanku di sini? Kau sudah berjanji kepadaku, Pangeran.” Aigul memasang amarah. Kedua tangannya mengepal. Deguban jantungnya semakin cepat. Dia berharap Mustafa akan memberikan alasan tepat untuk dirinya.“Hari ini kerajaan Zengini akan berada di tanganku. Ini adalah rencanaku. Ratu Deriya bersama sepuluh kerajaan sudah mengambil alih Spaden dan semuanya. Mereka melanggar aturan. Aku akan mengakhiri ini.”Aigul mencengkeram dadanya. Dia menarik napas panjang. Hatinya merasa lega mendengar alasan yang
Evren terkejut melihat Emir dan Sarman berhasil masuk ke dalam kamar Aigul. Tatapan tajam Sultan masih terpampang jelas di sana. Ujung lancip pedang, semakin Emir dekatkan. Kulit Evren tergores tajamnya pedang. Darah mengalir seketika itu juga.“Apa kau tahu hukumannya melukai Sultan!” teriakan menggema dari Evren, membuat Emir kesal.“Jangan mengakui dirimu Sultan!” balas Emir lebih keras.“Zab!”Sarman mengarahkan anah panah tepat di sebelah wajah Evren. Anak panah melewati permukaan pipi kanannya secepat angin. Panah tajam itu menancap dengan keras. Tembok yang semula masih rata, kini meretak. Telinga Evren mendengung seketika. Sarman melangkah cepat mendekati Evren yang semakin melotot tajam.“Kau … bukan Sultan. Apakah aku harus mengatakan siapa Sri Sultan yang sebenarnya?” ucap Sarman pelan namun tegas. Sorotan yang semula menyerang dirinya dari Evren, kini mulai menunduk. Sang Sultan mer
Mustafa berdiri, menatap puluhan ribu prajurit terkuat Zengini yang tunduk di hadapannya. Mustafa melangkah mendekati Ozone dan menepuk pundaknya.“Tataplah aku, prajurit,” pintanya.“Ozone namaku, Pangeran,” balasnya kini berdiri tegak.“Panglima Burak! Masuklah!” teriak Mustafa keras.Burak tersenyum di depan pintu kokoh yang dia raih kembali. Sebelum Deriya mengambil alih kerajaan, Burak adalah pemilik benteng terkuat Zengini. Dengan gagah dia berjalan memasukinya. Parjurit yang menunduk, merasa senang dengan kehadirannya kembali.“Apa kabar, Ozone,” sapa Burak. Prajurit yang sejak dulu mendapat pelatihan Burak dari kecil, kini tersenyum lega."Selamat datang, Panglima!" jawab tegas Ozone.Mustafa berjalan menuju tengah lapangan, menatap semua prajurit yang masih menundukkan kepala. “Angkatlah kepala kalian!” teriaknya seketika membuat puluhan prajurit melakukannya.
Saat Deriya sudah bersiap akan menyerang Mustafa yang masih menunduk kesakitan dengan kekuatan hitamnya, Trisula tiba-tiba datang. Para ahli sihir itu akan keluar hanya saat sinar matahari tepat menerangkan sinarnya di tengah bumi. Itulah alasan Mustafa memilih menyerang Zengini saat fajar. Hanya Trisula yang bisa membuat kekuatan hitam sihir Deriya menghilang.“Deriya, kau ingat ini?” Trisula menunjukkan sehelai rambut Aigul yang sudah dia miliki dari Muatafa saat itu. Deriya melotot melihatnya. Kekuatannya akan menghilang jika Trisula membakar rambut Aigul.“Jangan lakukan!” teriak Deriya kencang.Deriya akan melakukan perjanjian dengan iblis. Dia memerlukan gadis suci untuk persembahan. Deriya melakukan perjalanan ke perkampungan untuk mencari sang gadis. Dia menemukan gadis kecil menangis di pojok jalanan karena kehilangan orang tuanya. Aigul saat itu masih berumur sepuluh tahun. Deriya mengulurkan tangannya, mengajak Aigul menuju ist
Bibir itu semakin menyatu liar. Bahkan sang Pangeran menikmatinya. Pelukan semakin erat, bersamaan sentuhan yang mulai meraba semakin dalam.“Mustafa, kau … milikku.”Mustafa mendorong sosok yang menciumnya. Tubuh mereka bergerak, menempel pohon yang berada hanya beberapa langka di depan mereka. Kaki mulus mulai terangkat satu, mengerat di pinggang Mustafa. Miliknya siap untuk dinikmati Pangeran yang sudah mulai membuka tali yang mengikat rok kuning berhias bunga.Aslan menghilang, berlari kencang menuju Zivana yang berada di atas kuda untuk menuju kerajaan Zengini setelah mendengar kabar jika Mustafa berhasil menaklukkannya.“Aslan!” teriak Zivana sontak menarik tali kemudi. Kudanya melompat tinggi setelah Aslan tiba-tiba hadir di hadapannya.Auman sangat keras, membuat semua kuda ikut melompat. “Tenanglah, Aslan!” teriak Zivana masih berusaha menenangkan kudanya. Dia segera menuruni kudanya, melangkah me
“Apa kalian akan mengalahkan Mustafa sialan itu?” Asmat menegang melihat salah satu dari sosok berjubah hitam mengarahkan tangannya kepada Deriya. Kedua mata yang semula hitam, memerah. Tangannya terus mengarah ke tubuh Deriya yang membaik seketika dan membuatnya bisa menegak.“Hah!” Napas Deriya terhempas saat sesuatu sudah merasuk ke dalam tubuhnya. Rambutnya menghitam, kulitnya yang mengkerut menghilang. Asmat tidak percaya melihatnya, begitu juga dengan lainnya.Sosok jubah hitam tersenyum melihat Asmat menuruni kudanya disusul Deriya dan yang lainnya.“Kami akan menunduk,” ucap Asmat tegas.Deriya berjalan mendekati tiga sosok itu yang masih tersenyum. “Aku akan melayani, Raja.”***Akasma bersama semua putri telah sampai di istana. Senyuman mengembang di wajahnya. Dia memejamkan kedua matanya, mengingat saat dia bersama Sri Sultan Ali ketika masih tinggal di dalam istana. “Akhirnya