Share

Menemani Permaisuri

"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. 

"Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. 

"Marta, tunggu! Kau mau kemana?" Teriak Bibi menyusul pegawai barunya. Ia khawatir gadis muda itu masuk begitu saja ke kamar sang raja tanpa ucapan yang jelas.

Beruntung ia masih menemukan Marta cukup jauh dari kamar sang raja. Langkah gadis itu terhentak cepat, menandakan ia tak sabar lagi ingin segera bertemu dengan baginda dan permaisuri di kamarnya. 

"Marta, tunggu dulu!" Bibi menangkap lengan Marta yang lantas berbalik cepat. Reflek ingin menangkis tangan penyusul, dan membuat bibi tercengang. Tercipta rasa takut seketika. 

"Oh, Bibi? Maaf, saya kira tadi siapa," Ucap gadis itu menata nafasnya. Sementara ia khawatir melihat raut wajah Bibi yang masih risau dengan sikapnya barusan. 

"Apa kau tidak seperti kami, pelayan dengan latar belakang orang desa pada umumnya?" Tanya Bibi penasaran, wanita itu memindai penampilan Marta dari bawah ke atas. Dan berhenti kembali segaris pada tatapan netranya. 

"Maksud Bibi bagaimana?" Marta ikut bertanya, menutupi kebenaran yang mungkin saja membuat Bibi mulai curiga. 

"Ah, maksudku, apa kau punya ilmu bela diri? Seperti para pendekar di dunia persilatan itu?" Tatapan Bibi kembali menyelidik, Marta terkekeh geli sambil menepuk-nepuk pundak kepala pelayannya. 

"Bibi ini aneh sekali. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa saya terlihat seperti pendekar? Kalau memang saya ini seorang pendekar, untuk apa juga bermanis-manis menjadi pelayan istana, bukankah lebih baik berkelana di alam bebas?"  Marta menjelaskan, Bibi terangguk membenarkan. 

"Tapi, keberanian dan sikapmu yang selalu reflek itu .... "

"Yang seperti pendekar, maksud Bibi? Memangnya hanya mereka saja yang boleh berani? Memangnya gadis desa seperti kami tidak boleh berani?" Tak lagi menjawab, Bibi tertegun mendengar kalimat demi kalimat yang meluncur tanpa beban dari bibir merah muda alami itu. 

"Jadi, kenapa tadi Bibi menyusul saya?" Tanya Marta setelah keduanya terdiam beberapa detik. 

"Ah, itu. Ayo, aku akan antarkan kau ke kamar baginda." Bibi berlalu, melangkah lebih dulu. Marta mengedikkan bahu, ikut melangkah menyusul Bibi. 

Biar bagaimanapun, ia masih pegawai baru yang kemanapun perlu diberikan contoh oleh atasan. Maka ia menurut saja ketika Bibi mengantarkan hingga ke depan kamar sang raja. Berbicara santun penuh tata krama pada kedua penjaga di depan pintu. 

Di sini Marta baru menyadari, bahwa aturan tatakrama di istana ini sangatlah kental. Ia tadi mungkin tak akan menggunakan aturan itu ketika datang sendiri tanpa diantarkan Bibi. Ia tersenyum tipis, saat melihat salah satu penjaga kembali dari dalam dan membukakan pintu untuk mereka. 

"Silahkan masuk, Baginda telah menunggu kalian."

"Terimakasih."  Bibi menggandeng tangan Marta, membawanya masuk. Keduanya membungkukkan badan saat tiba tak jauh dari pemilik kamar yang sedang bersiap untuk makan pagi. 

"Oh, Marta. Kau sudah di sini rupanya?" Baginda memberi jalan untuk pelayannya masuk. 

" Oh, Bibi? Kemarilah," Ucap permaisuri dengan suaranya yang lemah lembut keibuan. Kontras sekali dengan suaminya yang berambisi jadi orang nomor satu selamanya. 

Bibi mengajak Marta mendekat, berdiri di belakang permaisuri dengan wajah menunduk. 

"Dia yang akan bertugas di sini sekarang?" Tanya permaisuri lagi, mungkin telah diberitahu oleh suaminya. 

"Benar, permaisuri. Dia pegawai baru," Jawab Bibi yang sejak tadi tak pernah berani mengangkat wajah, membuat Marta mengikuti dengan hati penuh tanya. 

Ia yang menyimpan hasrat dendam, bisakah setiap saat menunduk patuh pada dua orang itu? Sementara dalam hatinya telah tersusun rencana rapi, yang tinggal menunggu waktu tepat untuk melancarkan. 

"Cantik," Ucap permaisuri memandangi pegawai baru di depannya. Senyum hangatnya terpancar Indah pagi ini. 

"Sepertinya saya telah melihatnya?" 

"Benar, permaisuri. Marta tadi malam melayani baginda di meja makan," Terang Bibi Ratih, membuat sang permaisuri terangguk, masih dengan senyuman tak hilang menghias wajah cantiknya. 

"Siapa namamu, gadis cantik?" Permaisuri mendekat, menatap Marta dengan seksama. Ternyata, tak hanya Baginda yang tertarik padanya, sang permaisuri pun lebih dari itu. 

"Saya Marta, permaisuri."

"Oh, nama yang cantik. Secantik orangnya. Ibumu pasti juga wanita cantik sepertimu," Ucap permaisuri. Tak perlu menjawab, Marta hanya mengangguk takzim. 

"Baiklah." Suara baginda mengambil alih, mendekat dengan tangan merengkuh pundak sang istri. "Sudah cukup kenalannya? Mulai sekarang, tempat kerjamu di sini. Dari pagi hingga menjelang permaisuri tidur."

"Baik, Baginda."

"Bibi, kau boleh keluar dan menata barang milik Marta untuk dipindahkan."

"Baik, Baginda."

Marta membelalak tak mengerti. Namun, saat ia belum sempat bertanya, Baginda dan permaisuri telah keluar dengan disusul Bibi di belakang. Yang membuat Marta bertanya-tanya adalah, kenapa kata baginda tadi barang miliknya harus dipindah? Memang mau dipindahkan kemana? Sementara ia telah cocok dengan kamar paling belakang itu. 

Di kamar luas nan mewah ini, Marta duduk tertegun, tanpa tau harus berbuat apa. Telah beberapa menit ia ditinggal di sini seorang diri, dan mungkin harus menunggu hingga mereka kembali ke sini. Sementara dirinya belum sempat makan pagi. 

Bibi Ratih pun tadi diam saja, tak mengajaknya makan terlebih dahulu. Jika seperti ini, ia hanya bisa mondar-mandir menunggu permaisuri kembali dari tempat makan. 

Satu jam berlalu, akhirnya yang ditunggu muncul juga. Permaisuri datang dengan sang raja, yang tak lama pria itu berpamitan lagi. 

"Marta,"  Panggil wanita cantik itu pada pelayan barunya yang terlihat masih bingung di sini. 

"Bagaimana, kau betah tinggal di sini?" Tanya permaisuri, Marta heran saja, sedekat itukah ia dengan pelayan pribadinya? 

"Mudah-mudahan betah, permaisuri."

"Semoga betah, dan supaya makin betah, ayo temani saya jalan-jalan keluar," Ajak wanita cantik itu, Marta yang menganggap ini keberuntungan, tak akan menyia-nyiakannya. 

Tentu saja ia bersedia dengan suka hati. Baru sehari semalam berada di dalam istana ini, rasanya seperti berbulan-bulan terkurung dalam rumah. Ia tak ubahnya seperti gadis pingitan yang tak pernah tau keadaan di luar istana. 

Ia saat ini mengikuti langkah permaisuri di halaman samping yang tak kalah luas dari yang ia lihat di belakang kamar. Di sana terdapat puluhan prajurit sedang berlatih.Terlihat diantara mereka ada seorang panglima sedang mengawasi proses latihan itu, dengan sesekali memberikan pengarahan tegas. 

Sementara permaisuri sibuk memetik bunga bermekaran di sana, Marta malah lebih tertarik pada proses latihan di ujung halaman. Jiwa pendekarnya memang tak lebih suka dengan kehidupan seperti putri istana. 

Saat menyadari panglima tadi menatap kearahnya, dengan tersenyum yang entah apa artinya, ia segera memalingkan wajah. Orang dengan kehidupan penuh olah tubuh itu pasti mampu merasakan, mana yang berjiwa tangguh dan mana yang tidak. 

Demi menghilangkan kesan tangguh itu, Marta segera menyusul sang permaisuri memetik bunga. Ia tak menyadari panglima tadi masih menatap aneh ke arahnya. 

"Apa yang kau lihat di sana?" Tanya sang teman dari panglima tadi, saat mengikuti arah matanya, yang bertanya itu lantas tersenyum geli. "Kau melihat pelayan cantik yang sedang bersama permaisuri?"

"Yah, dan bukan hanya cantiknya yang membuat menarik."

"Lalu?"

"Dia tadi mengamati tempat ini, seperti tertarik dengan proses latihan para prajurit."

"Memangnya kenapa kalau dia tertarik?"

"Memangnya kenapa? Siapa tau saja memang dia bukan pelayan biasa."

"Maksudmu?"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status