Share

Tugas Baru

"Duduklah." Ia pun lantas menurut titah sang Baginda. Menunggu beberapa saat karena bingung sendiri harus berkata apa. 

"Kau tau, sikapmu itu begitu menarik perhatianku?" Entah pernyataan atau pertanyaan, karena Baginda hanya terdengar menggumam lirih, dan itu membuat Marta tertegun heran. 

Melihat gadis itu nampak bingung, Baginda tersenyum hangat. Entah kenapa, tak hanya kecantikannya saja yang begitu menarik dari pelayan baru yang satu ini. Tapi sikapnya, keberaniannya itulah yang lebih menarik hati baginda. Karena baru kali ini menemukan gadis desa seberani dia. 

"Baru kali ini aku melihat ada pelayan perempuan yang berani sepertimu. Siapa kau sebenarnya?" Tanya Baginda dengan tatapan tak beralih dari wajah Marta, hingga gadis itu merasa risih dipandangi demikian. Sebab sejak kecil, ia hanya dekat dengan lelaki dari keluarganya sendiri. Juga kakek yang merawatnya hingga dewasa. 

"Kenapa kau tadi dengan berani berkata jujur, dan membantu kepala pelayan itu?" Tanya Baginda lagi, karena sejak tadi gadis itu masih tertunduk diam. Namun, mendengar pertanyaan kali ini, Marta mengulas senyum tipis yang sungguh memikat siapapun. Bahkan Baginda pun ikut tersenyum melihatnya. 

"Apalagi yang bisa saya lakukan, Baginda? Karena kesalahan itu memang saya yang melakukan, bukan Bibi Ratih."

"Nah, itulah yang saya suka darimu." Baginda menatap penuh kekaguman. Sementara ada hawa kekhawatiran menelusup dalam hati Amarta, apalagi maksud Baginda itu. Jangan sampai rasa simpati dari Raja itu perlahan mengikis niat Amarta hingga bisa berada di tempat megah ini. 

"Seribu satu gadis desa yang punya keberanian sepertimu. Oh, iya. Siapa namamu?"

"Saya Marta, Baginda. Tirta Amarta."

"Hm, tirta Amarta? Nama yang bagus. Dimana tempat tinggalmu? Apa aku bisa bertemu dengan orangtuamu?" Pertanyaan Baginda yang satu ini membuat Marta mendongak kaget. Ingin bertemu orang tua, katanya? 

Mendengar kata-kata itu saja mendadak membuka kembali lembaran hitam kala itu. Dadanya kembali bergolak, seiring detak jantung berpacu tak menentu. Namun ia segera menyadari. 

Menghirup udara banyak-banyak, untuk mengisi ruang dalam paru-paru. Jika ia biarkan rasa menggebu itu, sudah bisa dipastikan, rencananya terkubur sampai di sini. 

"Apa pertanyaan saya salah?"

"Oh, tidak, Baginda." Marta mendongak cepat, tak akan membiarkan sedikit saja celah penyamarannya terendus oleh siapapun di tempat ini. 

"Lalu?" Raja itu mengejar, seperti telah menaruh sedikit kecurigaan. Namun sesegera mungkin Marta mengalihkannya, ia tersenyum miris penuh rencana. 

"Saya hanya tinggal bersama kakek di pinggir hutan, Baginda. Kedua orang tua saya telah meninggal sejak saya masih kecil," Jawab Marta. 

"Kenapa orang tuamu meninggal? Sakit, atau yang lain?"

"Ada kecelakaan ketika bekerja di sawah, baginda," Jawab Marta mengarang dengan kehati-hatian. Ia mendesah lega, melihat baginda terangguk paham. 

"Kenapa kau bekerja di sini?" Entah kenapa, Raja itu masih saja bertanya. 

"Ingin mencari penghasilan, Baginda. Karena kakek saya telah memasuki usia senja," Jawabnya, dan Baginda kembali mengangguk. 

"Kau ditugaskan di dapur, ya?"

"Benar, Baginda."

"Kenapa?"

"Menurut Bibi Ratih, saya terlalu ceroboh, seperti tadi contohnya."

"Padahal saya suka sikapmu itu." Baginda tersenyum geli, karena pernyataan tadi membuat gadis itu mendongak tak percaya. Padahal tadi ia telah menyiapkan mental untuk menerima hukuman apapun. Tak disangka, setibanya di ruang ini hanya diinterogasi tentang siapa dirinya. 

"Bagaimana jika kau menjadi pelayan pribadi saya dan permaisuri?" Marta tak bisa berkata kali ini. Rencana yang menggebu dalam hati, dan harus tertunda karena aturan pelayan baru. Tak disangka dirinya akan mendapatkan perlakuan seistimewa ini dari pemilik istana. 

Selain tugas itu menghasilkan upah lebih besar, menjadi pelayan pribadi Raja adalah mimpinya. "Apa saya tidak salah dengar, baginda?" Tanya Marta dengan wajah berbinar. 

"Tentu saja, bahkan kalau mau, kau bisa bekerja mulai detik ini juga."

"Ah, jangan, Baginda."

"Kenapa?" Baginda bertanya penuh selidik. 

"Tugas ini impian setiap pelayan, saya tidak ingin dianggap berbuat curang, karena tiba-tiba  beralih tugas sebelum waktunya." Dan jawaban itu menumbuhkan senyum lebar di wajah baginda yang tak muda lagi. 

"Kau tidak perlu khawatir, aku akan katakan langsung pada Bibi Ratih."

"Terimakasih, Baginda."

"Baik. Kau boleh kembali ke kamarmu."

Marta berjalan cepat, kembali menuju kamarnya. Ia pikir orang-orang tadi telah bubar, ternyata saat ia tiba di depan kamar, suara riuh mereka masih terdengar. Mereka serentak menoleh ke arah Marta, dan Bibi Ratih yang pertama kali menyerbu kedatangannya. 

Wanita itu merangkul badan Marta, memegangi kedua tangan dan mengamatinya. Seperti memastikan bahwa gadis itu masih baik-baik saja. 

"Bagaimana, kau baik-baik saja?" Tanya bibi, mendadak sikap judes sebagai atasan pada anak barunya kemarin, kali ini sirna entah kemana. 

"Kau tadi mendapat hukuman apa?" Cecar bibi seakan tak memberi kesempatan Marta untuk berfikir. Disusul suara riuh dari teman-teman, menanyakan keadaannya. 

"Tidak apa-apa, bi. Bibi tidak perlu khawatir, saya telah menjalani hukuman dengan cepat." Marta mengedarkan tatapan pada orang-orang di sekelilingnya. "Karena malam telah larut, lebih baik kita tidur saja. Karena esok hari rutinitas harian telah menunggu kita."

Kali ini bibi menatap Marta penuh rasa kagum. Tak seperti sebelumnya, tatapan itu kini seperti seseorang kepada atasan. 

"Marta benar. Ayo kita bubar, ayo kembali ke kamar masing-masing."

"Baik, bibi." Suara serentak menggiring mereka semua pergi dari depan kamar Marta. Gadis itu tersenyum cerah, tak percaya dengan kejadian yang baru saja ia alami. 

Rupanya, kesalahan yang dibuatnya secara tak sengaja itu cukup menguntungkan. Kini, ia tak lagi menunggu keputusan bibi untuk bisa berpindah tugas menjadi pelayan raja. 

Namun, ia tak boleh gegabah. Karena di tempat ini ia seorang diri yang nekat akan membunuh raja dan permaisuri. Salah langkah sedikit saja, tamatlah riwayatnya. Apalagi ia seorang pendekar baru di dunia persilatan, yang baru keluar dari sangkar ternyaman. Ia bahkan belum pernah bertemu dengan lawan tanding selain kakek. 

Marta menutup pintu kamar yang telah sepi. Dipandanginya lantai yang telah bersih dari sisa serpihan gelas tadi, pasti bibi dan lainnya yang telah membersihkan kamar ini. Ia tersenyum penuh arti, merebahkan badan di atas tempat tidur hangat. 

Samar suara kokok ayam jantan menandakan, bahwa langit malam tak lama lagi akan bergeser. Rasanya belum lama ia dapat pejamkan mata, ketukan pintu kamar kembali membuatnya membuka mata berat. 

Belum sempat membuka pintu, Bibi Ratih telah berdiri di depannya. "Kau ini lama sekali. Katanya tugas sudah menunggu, kau malah masih tidur."

"Maaf, Bibi. Aku benar-benar ngantuk," Jawab Marta apa adanya, kedua tangan masih mengucek mata berat dan memerah. 

"Ya sudah, persiapkan dirimu. Baginda telah menunggu," Kalimat Bibi yang ini mendadak membuat Marta melebarkan mata. Rasa kantuk hilang seketika, teringat mulai hari ini tugasnya telah berganti ke ruangan Baginda dan permaisuri. 

"Iya, Bibi. Aku akan segera bersiap." Tanpa menunggu jawaban dari Bibi, Marta langsung berlari menuju tempat mandi. Cepat saja, tanpa perlu berlama-lama, Marta telah siap di depan Bibi. 

Hari yang istimewa ini, disambut Marta dengan dandanan yang lebih cantik dari sebelumnya. Bahkan membuat Bibi tercengang saat mengamati penampilannya, dari atas ke bawah. 

"Ada yang salah, Bi?" Tanya Marta heran sendiri, kemudian Bibi mengerjap sambil menggeleng pelan. "Kau hari ini terlihat lebih segar," Bibi memberikan komentar. 

"Tentu saja, bertugas di depan orang nomor satu, masa iya masih disamakan dengan bertugas di dapur, Bi? Benarkan?" Marta berlalu, meninggalkan Bibi yang masih bengong seorang diri. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status