Nana
Hari ini diselenggarakan gladi bersih untuk pentas drama kelasku besok. Semua orang sibuk mendekorasi aula selayaknya panggung pementasan. Lighting, audio, kostum, make up, dan sebagainya dipersiapkan dengan begitu matang. Meski ini hanya pementasan biasa yang tujuan utamanya untuk mendapat nilai dari dosen, tapi dosen pemegang mata kuliah sanggar sastra memerintahkan untuk mencetak kupon untuk selanjutnya dijual kepada mahasiswa tingkat bawah dan para orang tua yang wajib hadir. Harga tiket terjangkau, hasil penjualan tiket nanti akan digunakan untuk menambah biaya sewa perlengkapan pementasan.
Aku mengajak Rani ke kantin sebelum memulai gladi bersih. Memesan satu porsi nasi goreng dan es teh manis. Ah, nasi goreng mengingatkanku pada malam itu.
Aku membuka ponselku. Membuka WhatsApp, klik percakapanku dengan dia si Fatamorgana. Sejak kejadian di Rumah Singgah Merangkul Asa, kami tukeran nomor handphone.
NanaAku tidak pernah merasa seoptimis ini. Kemarin memang aku benar-benar jengkel, kesal, marah, sedih, bercampur aduk sampai membuatku malas bicara. Tapi semua terobati semalam. Aku tahu dia capek, aku tahu dia lelah, tapi dia masih memaksakan diri mengajakku jalan-jalan. Dia bilang untuk menghiburku. Actually, aku terhibur.Selain itu, sampai di kosan, aku langsung menelepon Ibu dan Ayah. Meminta doa restu untuk kelancaran pentas drama hari ini. Ibu memberiku kalimat-kalimat yang akhirnya memacu semangatku.Aku melengkungkan senyum di depan cermin setelah selesai di make up oleh Anjani. Harus aku akui lagi, bahwa Anjani pintar memoles wajah hingga aku tidak mengenali sosok Nana dalam bayangan yang memantul di cermin. Tubuhku dibalut kebaya tradisional khas sunda serta rambut yang disanggul kecil namun sederhana.“Nana, astaga. Cantiknya sahabat gue yang satu ini. Selfie dulu, Na.” Rani berteriak h
GalihLo sebut mantan itu pelaku sejarah? Iya, pelaku sejarah yang menjajah hati dengan sistem kerja rodi. Yang tidak tahu aturan, yang tidak memiliki batas waktu, dan tidak kenal kompromi.Gue tidak menghitung seberapa banyak mantan gue dari SMP sampai gue setua ini. Ralat, gue belum tua, hanya menuju ke arah sana. Tapi sebelum gue tua, gue mau menciptakan sesuatu yang berharga dulu. Salah satunya membahagiakan nyokap. Nyokap sudah terlalu sering melamun sejak bokap di penjara. Waktu memang berputar sangat cepat, sampai gue hampir tidak sadar kalau bokap sudah tidur selama tiga tahun di penjara.Nyokap tidak menuntut banyak dari gue. Jika waktu kuliah dulu, dia hanya minta gue menyelesaikan kuliah gue dengan serius. Maka kali ini nyokap minta gue menjalin hubungan lagi dengan wanita. Ya, gue sudah tahu endingnya bakal seperti apa kalau permintaan nyokap nyerempet ke nikah. Tapi gue coba santai dulu. Gue tidak ingin gegaba
NanaKeluar sejenak dari penatnya aktivitas kampus. Mengambil jeda sebelum kembali bertemu dengan jutaan kata yang berderet dan bermakna dalam sebuah buku. Lewati sisa hari ini dengan warna yang cerah. Bukankah pelangi pun selalu menawarkan warna yang cerah pada penikmatnya?Menikmati ciptaan-Nya adalah salah satu warna cerah yang menghiasi hariku. Aku tidak tahu kapan tepatnya mengagumi. Aku tidak tahu kapan tepatnya menaruh keinginan untuk selalu ada dia dipergantian hari. Cukup kunikmati, meski terlintas apa yang aku lakukan saat ini adalah sia-sia, sebab dengan hubungan yang tidak terikat ini dia bisa seenaknya berlalu lalang. Seperti pelangi, ia menawarkan keindahan yang hanya sebentar.Sesuatu yang berkaitan dengan hati memang sulit untuk diterka. Karena hati bukan sebuah program komputer yang bisa diatur. Dia berjalan sendiri tanpa bisa dikendalikan.“Na, Can you explain little about y
NanaSejauh ini, selama hampir tiga tahun aku tinggal di Jakarta. Monas akan menjadi tempat terindah sepertinya. Tahu alasannya? Karena sosok Fatamorgana yang berhasil membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat.Hal tergila yang tidak pernah ada dalam angan-anganku. Bahkan belum pernah aku membuat cerita yang di dalamnya memuat si tokoh cowok melamar tokoh cewek di tempat yang bersejarah bukan hanya untuknya tapi untuk negaranya.Tapi sampai saat ini, beberapa hari setelah melewati malam itu, aku belum berani membuat keputusan antara maju atau berhenti. Aku juga belum cerita ke siapa-siapa, entah itu ke Rani atau ke Ayah dan Ibu. Aku lebih memilih menyimpannya sendiri. Selepas hari itu pun dokter Galih tidak bertanya perihal jawabanku lagi.Aku butuh jeda sejenak. Sampai aku benar-benar yakin jika dia tidak akan mempermainanku. Walaupun jatuh cinta padanya mudah, tapi kami baru mengenal selama sebulan. Kami butu
NanaSatu minggu bergulir dengan cepat rupanya. Rasanya baru kemarin aku sampai di Solo. Hari ini sudah jumat lagi. Itu artinya aku hanya punya waktu satu hari lagi untuk menghabiskan waktu bersama Ayah dan Ibu sebelum kembali harus bertempur dengan banyaknya materi mata kuliah yang menanti.Satu minggu di rumah benar-benar aku manfaatkan sebaik mungkin. Setiap pagi aku membantu Ibu membuat pesanan katering. Aku sangat bersyukur karena banyak yang percaya sama katering punya Ibu, apalagi di musim hajatan seperti sekarang ini, omset bisa naik sampai 50%. Sementara Ayah sudah mulai bekerja lagi.Di sore hari, Kami bertiga biasanya menikmatinya dengan berjalan-jalan di sekitar rumah. Menyapa para tetangga. Atau sekadar ngobrol santai di rumah saja. Ah, mengapa waktu sangat cepat bergulirnya? Sabtu malam besok aku harus kembali lagi ke Jakarta.Merasa dilematis itu ketika si mantan datang untuk mengajak jalan-jalan. Tap
NanaMasih berdiri di ambang pintu dan dokter Galih yang tepat berdiri di depanku. Aku tak lantas menyuruhnya masuk, sebelum masuk rumahku lebih dulu aku harus memastikan apa yang menjadi tujuannya ke sini. Sikapnya yang sering kali bercanda membuatku ragu dengan kenekatan yang dia ambil.“Dok, serius nih, tujuan Dokter sampai datang ke rumah saya itu apa?” tuntutku.“Mau nagih uang yang sudah saya keluarin buat mentraktir kamu. Kan lumayan tuh, kalau dijumlahin jadi banyak.”Walaupun didukung dengan ekspresi yang jenaka, buatku itu belum cukup lucu. Jujur, saat ini aku cemas. Dan sedang tidak ingin bercanda.“Serius, tujuan Dokter cuma itu?” tanyaku untuk lebih meyakinkan.“Kamu percaya?” Dia malah balik bertanya, disusul dengan suara tawa pelannya.Aku menggeleng. “Nggak, sih. Dokter kan uangnya banyak. Masa berbagi sedikit sama saya aja perhitungan,” balas
NanaSelalu saja ada momen di mana aku sadar kalau di setiap keindahan itu akan ada khayalan yang selalu tinggal. Terlalu berekspektasi, padahal kenyataannya semuanya semu. Fatamorgana.Masih di malam yang beberapa saat yang lalu menjadi saksi bagaimana aku menikmatinya, dan sekarang aku justru membenci malam ini.Masih dengan aku yang terpaku, logika seolah berontak jika apa yang aku dengar tadi hanya bualan mimpi. Tapi bisikan yang mengalun lembut di telinga itu begitu nyata. Telingaku tidak mungkin salah mendengar.Lama kami terdiam. Dia terlihat resah sementara aku menahan sesak yang menghimpit. Tuhan, aku salah karena sudah mempercayainya dengan begitu mudah. Padahal jelas tidak ada manusia yang sempurna seratus persen.“Na...”“Siapa sebenarnya Raina?” Aku memotong ucapannya.Dia mengusap wajahnya, pergerakan tangannya sampai ke atas kepala. Lalu menjambak rambutnya. Matanya membidikku ya
NanaWajah-wajah lelah sangat terlihat dari semua mahasiswa yang keluar dari kelasnya Pak Aristo. Dosen pemegang mata kuliah sanggar sastra itu sepertinya lupa melihat jam. Mata kuliah seharusnya selesai dari tiga puluh menit yang lalu, tapi Pak Aristo baru keluar dari kelas sekarang.Jelas saja itu mengundang umpatan dan gerutuan dari banyak mahasiswa. Termasuk Rani. Sejak keluar dari kelas, Rani terus mencak-mencak tidak keruan.“Laper banget, Tuhan.”“Sama. Gue juga laper,” balasku ketika kami keluar dari gerbang kampus.“Gila itu dosen. Padahal udah dikasih kebebasan cuy dengan 4 sks. Tapi masih aja korupsi waktu. Mana jadwalnya sore pula. Minggu depan gue kasih alarm dah biar dia nyadar diri,” cerocosnya.Di sela-sela mulutnya yang mencerocos, Rani mengecek jam tangannya. “Jam 5?! Pantesan cacing di perut gue udah disko lagu lagi syantik!” jeritnya heboh. Terlalu