Share

Bab 8

Nana

Aku berselancar ke i*******m. Mencari akun owner dari Raighin Caffe. Setelah menemukan akun instagramnya aku mulai melihat-lihat postingannya. Postingannya tidak banyak, kebanyakan tentang menu-menu makanan. Aku scroll sampai bawah. Satu foto anak kecil mengusik perhatianku. Aku mengklik foto tersebut, sepertinya aku pernah melihat anak ini? Ah, iya, anak yang kupikir adalah anaknya dokter Galih.

“Eh, ini kan anak yang sama dokter Galih waktu di taman.”

Ucapanku membuat Rani mendongak. Ia menatapku bingung. “Anak yang mana?”

“Ini, Ran. Anaknya owner Kafe ini.” Aku menunjukan foto anak itu pada Rani. Kami mengobrol sambil berbisik-bisik karena masih berada di Kafe.

“Ah, lo salah kali, Na. Masa iya itu anaknya dokter Galih? Mbak Raina tuh udah punya suami, Na,” balas Rani pelan. Matanya celingak-celinguk. Mungkin takut tiba-tiba Mbak Raina muncul.

Astaga! Aku lupa belum memberitahu tentang kesalahpahamanku mengenai status dokter Galih.

“Sebenernya gue lupa cerita, kalau itu bukan anaknya dokter Galih tapi keponakannya. Dokter Galih belum nikah.”

Reaksi Rani cukup terkejut. Hampir sama seperti ketika aku baru mengetahui status dokter Galih. “Wow, serius?”

“Iya, serius.”

Wong dia sendiri yang bilang, padahal aku tidak memintanya menjelaskan status. Too much information banget pokoknya.

“Usianya berapa?”

“Dia bilang tiga puluh tahun.”

What?” Rani memekik disertai matanya yang melotot sempurna. “Kok belum nikah ya? Usia udah matang, ganteng, mapan, pokoknya kalau nikah sama dia hidup kita pasti terjamin. Apa jangan-jangan dia gay?”

Kupukul lengan Rani karena sudah berbicara sembarangan padahal kami masih di tempat umum. Bukan di dalam kamar kos yang biasa dijadikan tempat untuk ajang curhat kami berdua.

“Hush, sembarangan lo. Masa iya gay. Mungkin dia sibuk ngejar gelar spesialis bedah digestif, Ran. Jangan ngaco, deh. Kalau orangnya denger bisa disuntik mati lo.”

“Ya semoga aja nggak gay,” cicit Rani. “Ah, Na, kenapa nggak lo coba deketin? Katanya pengin punya suami dokter. Sama dokter Galih aja. Siapa tahu dia jelemaan dokter Nando yang di cerpen lo?”

Kali ini giliran aku yang dibuat melotot olehnya. “Ngaco! Dari umur aja udah jauh banget bedanya. Sembilan tahun cuy.”

Rani tergelak lantas bertopang dagu. “Na, tua itu pasti, tapi dewasa itu pilihan. Kalau emang pikiran lo dewasa, meskipun umur lo masih muda, lo pasti bisa ngimbangin orang yang usianya lebih tua dari lo.”

“Ya nggak sama dokter Galih juga, Ran,” tolakku.

“Gimana kalau Tuhan beneran jodohin lo berdua? Nggak ada pertemuan tanpa alasan. Nggak baik kalau nolak jodoh, Na. Katanya lo pengin dapet jodoh dokter, kesempatan ada di depan mata lo sekarang. Lo juga udah terlanjur nazar, harus ditepatin dong,” cerocos Rani.

Tidak! Sifat dan sikap Dokter Galih tidak seperti Dokter Nando dalam cerpenku.

“Ran, tapi dokter Galih nggak masuk kriteria yang gue inginkan. Dia galak.”

“Dia nggak galak, Na. Dia tegas. Tapi tegasnya agak horor aja. Kayaknya laki-laki macam dia nggak boleh dipancing emosinya,” kata Rani lagi. Dia seperti sedang meng-endorse dokter Galih.

Aku berdecak. Lantas mengembungkan pipi, ngambek. “Ah, gue nggak mau sama dokter Galih. Udah parno duluan, Ran. Lagian masih banyak mahasiswa kedokteran.”

Yups targetku adalah dokter muda.

Lagi-lagi Rani merespons dengan gelak tawa. Matanya sampai menyipit. “Memangnya ngedeketin mahasiswa kedokteran itu segampang lo nyabut upil? Boro-boro ngedeketin, kadang kenalan aja susah.”

Dan itu realita. Mahasiswa kedokteran itu seakaan sibuk dengan buku-buku tebal.

Baik, sepertinya pembahasan soal jodoh dokter harus dihentikan sampai sini, daripada Rani semakin menggebu-gebu nantinya.

“Udah sih. Kok jadi bahas dokter Galih? Mending ke Gramed yuk, nanti sekalian nonton.”

“Eh, gue mau jalan sama Beni nanti malem.”

“Yah, emang nyokapnya udah balik dari rumah sakit?”

“Udah. Kini waktunya gue quality time sama Beni.” Rani tersenyum lebar. Aku yakin hatinya sudah berbunga-bunga. Karena dua hari sebelumnya, ia galau karena Beni sibuk mengurus ibunya di rumah sakit dan bergantian dengan kakaknya. Dulu Rani pernah cerita, ayahnya Beni jarang sekali pulang karena pekerjaannya sebagai abdi negara yaitu Perwira Mayor TNI Angkatan Laut yang bertugas di Armada Timur, Tanjung Perak, Surabaya.

“Najis! Ya udah gue nonton sendiri.”

Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama kamu asyik sendiri. Lama tak ada yang menemani.”

Rani malah meyindirku dengan menyanyikan lagu Terlalu Lama Sendiri milik Kunto Aji. Iya, memang, status jombloku sudah berjamur dan kadaluarsa. Aku jomblo bukan berarti gagal move on. Aku sudah melupakan Mas Bayu, meskipun pada awalnya sulit. Tapi toh tidak ada untungnya selalu mengingat mantan. Aku jomlo karena memang tidak ada niat untuk pacaran dulu dan ada rasa takut dalam diriku untuk memulai sebuah hubungan.

“Na, hati lo apa kabar? Bertahun-tahun jomblo, apa hati lo gak nelangsa?” Pertanyaan paling pahit yang keluar dari mulut sahabatku.

“Gue jomlo karena ingin memelihara hati gue dan menjauhkannya dari pengkhianatan cowok.”

“Gaya lo! Udah mending lo usaha buat dapetin dokter Galih, siapa tahu doi masih single.”

Nah, lagi-lagi dokter Galih.

“Rani, stop!” Rasanya ingin menyumpal Rani dengan french fries yang sayangnya sudah masuk semua ke dalam kerongkonganku.

“Yuk cabut!” ajaknya sembari menutup laptop.

Aku mengangguk. Sebelum pergi pastinya membayar pesanan sesuai harga.

Tujuan kami berikutnya adalah Gramedia, mencari buku-buku mengenai sejarah sastra yang akan kami jadikan pedoman untuk membuat laporan tugas. Tidak perlu berlama-lama di Gramedia, setelah menemukan apa yang kami butuhkan, kami langsung keluar.

Setelah dari Gramedia, tujuanku dan Rani berbeda. Aku nonton ke bioskop dan Rani pergi bersama Beni yang sudah menjemputnya.

Memilih menonton film action daripada film romantis. Film Mile 22 yang kupilih. Film luar negeri, tapi dalam daftar pemainnya ada aktor laga Indonesia yang sudah go international yaitu Iko Uwais. Aku memilih show ketiga, pukul 19.00 WIB. Berarti tinggal duapuluh menit lagi. Duduk di kursi yang sudah disediakan di dalam bioskop, aku memainkan ponsel agar tidak terlalu jenuh.

“Kamu Nana, kan?”

Kepalaku yang sejak tadi menunduk tanpa memperhatikan keadaan sekitar akhirnya mendongak ketika mendengar suara orang yang menegurku.

Astaga! Dokter Galih? Bibirku membulat sempurna. Okay, santai, Na.

“Wah, dokter Galih. Nonton juga, Dok?” tanyaku basa-basi.

Tanpa kuduga, dokter Galih duduk di sebelahku. “Iya. Ngelepas penat dulu setelah seharian kerja. Nonton film apa kamu?”

“Mile 22.” Aku memperlihatkan tiket nontonku padanya.

“Saya juga Mile 22.” Jawaban dokter Galih sukses membuatku melongo.

Kok sama sih?

“Kamu sendirian?” tanya dia lagi.

“Iya. Dokter?”

“Sama, saya sendiri.”

Ciri-ciri cowok single, nonton film sendirian.

 “Cewek suka film action. Keren juga. Biasanya cewek muda kayak kamu ini lebih ingin menonton film romantis,” tebaknya.

“Sebenarnya banyak genre yang saya tonton. Berhubung sekarang nonton sendiri, dan penasaran juga sama aktingnya Iko Uwais jadi pilih nonton Mile 22 aja. Takutnya kalau nonton film romantis nanti bapernya sendiri, dan envy lihat orang lain rangkulan. Apalagi kalau nontonnya sendiri, yang ada ngenes, Dok.”

Astaga kenapa aku curhat?

“Jujur banget kamu.” Ini pertama kali aku melihat dia terkekeh pelan. Selama empat kali kesempatan kami bertemu, dia kurang membuat kesan baik padaku. Pertama di Taman, sumpah itu paling menyebalkan. Kedua saat dia marah-marah pada salah satu koas, itu juga menyebalkan. Ketiga, saat aku melihat dokter Galih menemani pasiennya di taman. Itu keren menurutku. Dan yang keempat adalah saat aku mewawancainya. Rautnya saat itu masih terkesan serius.

“Ayah selalu bilang, kalau jujur masih menjadi sifat terpuji kenapa harus ditinggalkan?”

Kulihat dokter Galih mengangguk tanda setuju dengan ucapanku.

Mohon perhatian Anda. Pintu teater dua telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis dipersilakan untuk memasuki ruangan teater dua.”

Aku berdiri lebih dulu, disusul dokter Galih.

“Kamu duduk di kursi berapa?” tanyanya.

“E4,” jawabku setelah membaca tiket nonton. “Dokter berapa?”

“F1.”

“Wah di pojok ya?”

“Iya, biar seru,” jawabnya. “Ayo, sambil jalan!”

Aku mengangguk, lantas berjalan dengan hati-hati dan sedikit di belakangnya. Malu jika harus berjalan beriringan. Kami tidak sepadan.

“Kamu pulang naik apa?” Dia kembali melontarkan pertanyaan saat kami berjalan menuju teater dua.

“Transjakarta.”

“Nanti sama saya pulangnya.”

Jantungku bereaksi berlebihan. Ditambah rasa hangat yang muncul di hati. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba dokter Galih berbicara dengan nada santainya mengajakku pulang bareng. Apa tidak salah?

“Hah?”

Aku tidak tahu seperti apa ekspresiku kali ini. Mungkin sudah cengo tak terkira. Hal itu sontak membuat dokter Galih tertawa lagi.

“Kenapa kaget? Saya nggak akan menculik kamu. Kamu bisa pegang KTP saya sebagai jaminan,” ucapnya terdengar mantap. Memangnya gaya laki-laki dewasa setiap melakukan sesuatu itu harus ada jaminan?

“Nggak usah, Dok. Ngerepotin. Saya udah biasa naik TJ kok,” tolakku merasa tidak enak.

“Kamu itu perempuan. Nggak baik pulang malam menggunakan kendaraan umum.”

Yups, kalimatnya persis seperti wejangan Ibu yang kerap kali khawatir jika aku pulang malam apalagi menggunakan kendaraan umum.

“Nanti kamu tunggu di pintu keluar bioskop ya,” ujarnya lagi yang semakin membuatku tidak berkutik.

Apa benar yang dikatakan Rani. Kalau dokter Galih adalah jelmaan Dokter Nando di dunia nyata?

“Na?”

“Ah, iya, Dok?”

Sial. Kenapa aku gugup?

“Saya antar kamu pulang nanti habis nonton.” Seolah meyakinkan bahwa dia tidak sedang bercanda untuk mengantarkanku pulang.

Seperti orang linglung, aku hanya menganggukkan kepala seraya menyeret langkahku lebih dekat ke pintu teater. Menyerahkan karcis pada pramuniaga, sebelum diizinkan masuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status