“Dan Theo?!” Leher Annelies menegang.
Alih-alih menjawab, pria itu langsung menarik Annelies bersembunyi di balik dinding.
“Dan Theo, kenapa kau—”
“Sstt … dia akan mendengarnya,” sahut Dan Theo menutup mulut Annelies saat lelaki misterius tadi celingukan di lobi.
Manik Annelies kembali melebar ketika lelaki itu berjalan ke arah mereka. Dia kian cemas, dan Theo menyadari itu.
“Diam dan bersembunyilah di sini,” bisik Theo menenangkan.
Tanpa menunggu sahutan Annelies, dia langsung berbalik dan memukul wajah lelaki misterius tadi hingga terhuyung.
“Argh, brengsek!” umpat lelaki itu kesal.
Dia menyipit, tapi tak bisa melihat wajah Dan Theo dengan jelas.
“Siapa kau? Beraninya ikut campur urusanku!” sambungnya geram.
Dan Theo menghampirinya, tapi lelaki itu mengeluarkan belati dan melayangkannya ke arah Theo. Beruntung Dan Theo berhasil menghindar, lalu dengan cepat menonjok wajah lelaki tadi lebih keras.
Darah menggelenyar dari sudut mulut lelaki tersebut. Dengan geram dia menggenggam belatinya, lalu mengarahkannya pada Dan Theo yang didorongnya ke tembok. Namun, belum sampai belati itu menusuk dadanya, Theo langsung menahannya. Tatapannya tampak tajam seiring tangannya yang sengaja memutar pergelangan tangan lelaki itu sampai patah.
“Argh … tanganku! Dasar brengsek!” Lelaki tadi mengerang saat belatinya jatuh.
Dia mundur sambil memegangai sebelah tangannya yang sakit.
“Sialan, dasar bajingan gila!” makinya menatap wajah Dan Theo yang terpampang dingin.
Dirinya lari menjauh, tapi saat Dan Theo hendak mengejarnya, Annelies langsung memekik, “berhenti, Dan Theo!”
“Dia menyerang Anda, kita harus menangkapnya!”
“Tidak perlu, aku tahu siapa yang melakukannya!” sahut Annelies dengan nada gemetar.
Wanita itu mengarahkan senter ponselnya ke bawah, tampak ketakutan.
Dan Theo terpaksa meredam emosi. Dia menghampiri Annelies sambil melepas mantelnya, lalu melangkupkannya pada bahu Annelies yang hanya mengenakan blouse tipis.
“Ini sudah larut, kenapa Anda masih di sini?” tanya Dan Theo merendahkan suaranya.
Annelies mengangkat pandangan seraya membalas, “kau sendiri? Kenapa ada di sini?!”
“Bukankah Anda yang meminta saya datang?” sahut Dan Theo tanpa ekspresi.
“Ah, benar. Kontrak pernikahan.” Annelies bergumam saat mengingatnya.
Akhirnya Dan Theo menyalakan pembangkit listrik di basement yang sengaja dimatikan lelaki misterius tadi. Usai listrik menyala, Annelies membawa Dan Theo ke ruangannya.
Wanita itu meraih dokumen, lalu menyerahkannya pada Dan Theo yang duduk di sofa.
“Ini kontrak perjanjian kita. Kau, ah … Anda bisa—”
“Bicaralah senyaman Anda, Nona,” sahut Dan Theo menyeringai tipis.
Itu membuat Annelies canggung, tapi saat di lobi tadi dirinya terlanjur bicara santai pada Theo karena panik.
“Baiklah, aku sudah menuliskan poin-poin hak dan kewajiban masing-masing pihak. Pernikahan ini akan berlangsung satu tahun dengan bayaran dua miliar. Kau akan menerima satu miliar untuk uang muka, lalu sisanya setelah kontrak kita berakhir. Bagaimana?” Annelies bertanya sembari menaikkan kedua alisnya.
“Tidak masalah,” sahut Dan Theo yang lantas memeriksa beragam poin di dokumen tersebut.
“Ah, aku juga mau kau berhenti dari pekerjaanmu selama kontrak ini berlangsung.” Annelies kembali menginterupsi.
“Pekerjaan?” sambar Theo mengernyit.
“Ya, pekerjaanmu di Miracle Night. Selain itu, tolong lihat baik-baik poin nomor sembilan.”
Dan Theo seketika menyeringai saat membaca tulisan “No Sex!” dengan cetak tebal.
“Nona, ternyata kau orang yang konservatif,” tuturnya melirik Annelies.
“Terserah kau mau menyebutku apa, tapi yang pasti syarat itu sangat penting untukku. Aku ingin pernikahan ini berjalan aman, dan kau menjagaku selama satu tahun!” Annelies berkata tegas, tapi Dan Theo bisa melihat getir di matanya.
Dia jadi ingat ucapan Annelies saat pertama kali melamarnya. Jika dihubungkan dengan kejadian pria misterius di lobi tadi dan berita panas di media hari ini, Theo bisa menarik kesimpulan.
‘Rupanya wanita ini punya banyak musuh!’ batinnya dalam hati.
Saat itu, Annelies menyodorkan sebuah kartu pegawai pada Dan Theo.
“Apa ini?” tanya pria itu heran.
“Akses untuk masuk kantor ini. Melihatmu menangani lelaki tadi, sepertinya kau cukup pandai bela diri. Saat kontrak kita berjalan, aku juga ingin kau menjagaku di kantor,” balas Annelies menjelaskan.
Dan Theo melipat kedua tangan ke depan dada, lalu bersandar ke badan sofa.
“Baiklah, sesuai permintaan calon istriku,” sahutnya tanpa ekspresi.
Mendengar panggilan itu, Annelies merasa canggung. Tapi belum sempat menimpali, Dan Theo lebih dulu berujar, “aku punya pertanyaan.”
“Apa?”
“Kau bilang sudah tahu orang yang menyerangmu di lobi tadi. Siapa yang melakukannya?” Dan Theo bertanya dengan tatapan lekat.
Annelies berat untuk bicara, tapi karena dia sudah sepakat meminta Theo melindunginya, maka dia harus mengatakan semuanya.
“Orang itu pasti suruhan kakak tiriku. Semua orang di keluargaku ingin menyingkirkanku, bahkan mereka memaksaku masuk rumah sakit jiwa karena tidak terima Ayah mewariskan hartanya padaku,” balas Annelies yang seketika membuat Dan Theo mematung.
Situasi jadi kikuk, Annelies pun berdehem lalu berkata, “k-kau boleh membawa kontraknya. Jika setuju, kau bisa menandatanganinya.”
“Tidak perlu, aku akan tanda tangan sekarang!” sambar Dan Theo kemudian.
Begitu kesepakatan itu selesai, Dan Theo pun mengantar Annelies pulang ke apartemennya. Ya, wanita itu memilih pindah dari mansion Langford, karena dia tidak mau tinggal satu atap dengan para predator seperti Logan dan keluarganya.
Namun, begitu tiba di depan apartemen itu, Annelies langsung mendapukkan alisnya karena ada paper bag besar di dekat pintu.
“Punya siapa ini?” tukasnya penasaran.
“Kau tidak memesan sesuatu?” sahut Dan Theo.
Annelies menggeleng. “Tidak, aku tidak memesan apapun. Aku baru pindah kemarin, jadi tidak ada yang tahu alamatku juga.”
Dia perlahan melihat ke dalam paper bag itu. Maniknya sontak melebar dan menjerit.
Dan Theo buru-buru mengeceknya. Dia terkejut saat melihat bangkai burung berdarah di dalamnya.
‘Aish, sial! Siapa yang bermain terror konyol di jaman seperti ini?!’ batinnya menggertakkan gigi.
Dirinya berpaling pada Annelies dan berkata, “aku akan mengurus ini, kau masuklah dulu.”
Annelies yang tampak pucat hanya bisa mengangguk. Bahkan tangannya gemetar saat menekan kombinasi sandi untuk membuka kunci pintunya.
Melihat terror ini, Dan Theo menyadari bahwa situasi Annelies benar-benar serius. Dia bahkan menemui petugas keamanan untuk mengecek CCTV apartemen tersebut. Namun sialnya, kamera di sekitar unit Annelies rusak, jadi dia tidak bisa menemukan pelakunya.
‘Apa ini juga ulah Kakak tirinya?’ geming Dan Theo menerka.
Dia kembali menemui Annelies. Wanita itu tampak syok dan ketakutan.
“Kau tidak apa-apa?” tanyanya.
Annelies hanya mengangguk, lalu menjawab lemah. “Aku sudah aman, kau bisa pulang sekarang.”
“Tidak, ijinkan aku menginap malam ini!” sahut Dan Theo yang sontak membuat Annelies mengernyit.
“A-apa kau bilang?”
“Aku yang akan membawa keranjang ini untuk Bibi Cloe!” Gadis kecil itu berujar tegas. Dia berbalik, bermaksud pergi. Tapi Ditrian langsung menahan bahunya, hingga anak perempuan tadi berhenti. “Aku yang melihatnya lebih dulu. Jadi berikan padaku!” tukas Ditrian dengan tekanan di akhir katanya. Lawan bincangnya menoleh dan lantas membantah, “kau tidak dengar? Keranjang bunga untuk anak perempuan. Memang kau perempuan?!”Tangannya menepis pegangan Ditrian, lalu mengamati anak laki-laki itu sambil tersenyum miring. “Yah … karena kau merengek terus, kau memang mirip anak perempuan,” ujarnya yang lantas menyodorkan keranjang bunga itu. “Ambillah kalau kau mau!”Alih-alih meraihnya, Ditrian justru bungkam seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana. Ya, dia pernah melihat Dan Theo melakukan itu saat bicara dengan bodyguardnya.“Anak kecil, siapa namamu?” Ditrian bertanya penasaran.“Hah! Anak kecil?!” Gadis tadi menyahut sambil merapatkan alis. “Aku saja lebih tinggi darimu. Beraninya
“Hah!” Annelies bergegas mendorong Dan Theo agar menjauh darinya. Meski gerakan itu tiba-tiba, tapi Dan Theo bisa menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tak sampai terhuyung. ‘Aish!’ Pria tersebut mendesis dalam batin sambil mengusap dagunya. “Ada apa dengan wajah Mommy? Apa Mommy sakit?” Ditrian bertanya dengan polosnya saat mengamati ekspresi buncah sang ibu. Annelies seketika mengubah iras mukanya. Dia tersenyum, sambil membenarkan posisi dasi kupu-kupu kecil yang berada di kerah putranya. “Mommy tidak apa-apa, Ian,” tukas Annelies yang kini berjongkok setinggi putranya. “Oho … putra Mommy sangat tampan dengan pakaian ini!” Ya, bocah lima tahun itu memang tampak menawan. Terlebih caranya melirik dan berucap sangat mirip Dan Theo. Sungguh menggemaskan. Tangan mungil Ditrian menjulur, coba memeriksa kening Annelies di hadapannya. “Tubuh Mommy tidak panas. Mommy tidak demam,” katanya. Sial, tindakan anak laki-laki itu benar-benar di luar bayangan Dan Theo. Dia yang sejak tadi me
***San Carlo, musim semi.“Dan Theo, lihat aku. Apa gaun ini cocok untukku?” Annelies bertanya sambil menyelipkan anakan rambut ke telinga.Sang suami yang tengah menata dasi di depan cermin, lantas mengangkat pandangan. Dari pantulan kaca, jelas sekali istrinya tampak memesona. Tapi perhatian pria itu seketika terganggu, saat mengamati belahan dada Annelies yang terpampang jelas.“Ini gaun karya Fashion Designer terkenal Jenny Shu. Aku beruntung bisa mendapatkan edisi terbatas dari koleksi ‘Cinta Musim Panas’ ini!” sambung Annelies masih menantikan pendapat suaminya.Dan Theo menarik seringai tipis, lalu menimpali pelan. “Jenny Shu, ya? Sepertinya aku harus mendatangi Fashion Designer itu dan mengajarinya cara membuat pakaian dengan benar!”“Heuh? Kau bilang apa?” Annelies mengernyit karena tak mendengar kata-kata Dan Theo dengan jelas.Sang suami kini berbalik. Dia mendekati Annelies dengan raut wajah datar. Irisnya mengamati Annelies dari atas sampai bawah dengan serius.“Gaunnya
Dan Theo meraih tangan Annelies sembari berujar, “kau akan tau setelah melihatnya, istriku.”Dia pun menarik Annelies mangkir dari belakang vila Serena itu. Annelies jadi kian penasaran sebab Dan Theo membawanya keluar area vila.“Dan Theo, sebenarnya kita mau ke mana?” Annelies bertanya sambil membenarkan cardigannya yang melorot.Sang suami yang melihatnya jadi menghentikan langkah. Dia membantu wanita itu merapikan pakaiannya yang tipis. Dia menilik sampai ke kaki istrinya dan menyadari bahwa Annelies hanya mengenakan sandal rumah.Tanpa menjelaskan tempat tujuannya, Dan Theo malah berbalik lalu berjongkok di depan Annelies.“Naiklah, istriku,” katanya yang bermaksud menggendong Annelies ke punggungnya.“Aku bukan anak kecil!” sahut sang wanita tersenyum miring.Akan tetapi Dan Theo tetap mempertahankan posisi itu, hingga membuat Annelies naik ke punggungnya.“Jangan bilang aku berat!” Annelies mendecak sebelum suaminya tersebut protes.Dan Theo tersenyum miring, lalu menimpali, “si
“Istriku.” Dan Theo memanggil selaras dengan langkahnya yang kini mendekati Annelies.Tangannya merengkuh pinggang wanita itu, lalu bertanya, “kau menyukainya? Karena waktunya singkat, kami hanya menata lampu-lampu yang sudah ada.”Annelies memindai sekitar, sepasang manik hazelnya berbinar melihat beberapa lampion berbentuk panjang khas Ceko yang terpajang di beberapa pagar. Ada juga yang menggantung di dekat taman. Sungguh, tempat itu semakin memukau dan suasana pun berubah hangat.“Sangat indah, suamiku.” Annelies membalas saat menoleh pada Dan Theo.“Setiap akhir musim panas, ada festival delle Lanterne. Orang-orang Ceko akan menerbangkan lampion seperti itu di pinggir pantai.” Serena yang berada di belakang, kini buka suara.Annelies beralih menatapnya, sembari bertanya, “benarkah? Aku baru mendengarnya, Ibu.”“Ya, sebab itu Ibu selalu menyiapkan banyak lampion saat mendekati hari festival. Kalian beruntung datang sebelum akhir musim panas. Nanti kita semua bisa datang ke festiv
“Kaelus? Apa yang terjadi pada wajahnya?” Cloe berujar dengan alis bertaut. Annelies yang mengerti kecemasannya pun mundur, seraya berkata, “kalian bicaralah, kami akan masuk dulu.”Begitu lawan bincangnya mengangguk, Annelies dan yang lainnya beranjak ke dalam vila. Serena berjalan di depan sambil menggendong Ditrian.Tapi saat tiba di dekat pintu, dia lantas bicara pada anak buahnya, “tambah penjagaan di vila ini, terutama malam hari!”“Baik, Ketua!” balas anteknya sigap. Sementara di luar, Cloe menghampiri Kaelus dengan iras muka cemasnya. “Kau terluka?” katanya saat berhenti di hadapan pria tersebut.Bukannya menimpali dengan ucapan, Kaelus justru memeluk Cloe dengan hangat. Dekapannya semakin erat seakan menyalurkan seluruh rindu yang tertahan berbulan-bulan.“Kaelus, kau dengar aku? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa wajahmu jadi seperti ini?” tukas Cloe lagi.“Ehei … kita baru bertemu, tapi kau sudah mengomeliku?” sahut pria itu protes.Cloe mengembuskan napas panjang, tang
“Dan Theo ….” Annelies berpaling pada sang suami.Maniknya yang gemetar seakan meminta kepastian pria itu bahwa dirinya tidak salah lihat.“Ya, istriku. Bukankah kau merindukan beliau?” tutur Dan Theo menaikkan kedua alisnya.Annelies mengerjap. Dia nyaris tak percaya, tapi pengelihatan dan ucapan Dan Theo benar-benar nyata.“Mari kita temui Ibu mertua!” Pria itu melanjutkan katanya sambil memandu sang istri melangkah ke depan.Mereka pun berjalan mendekati Serena yang kini berada di antara antek-antek geng Ceko. Wanita itu berdiri dengan suit putih tulang dan syal elegan yang melingkari lehernya.Benar, setelah berbulan-bulan menghilang akibat insiden penembakan di dermaga De Forte, akhirnya Serena kembali. Semua orang berpikir dirinya sudah tiada, tapi anak buah Velos berhasil menemukannya. Dan selama Annelies di Sociolla, Serena telah menerima perawatan hingga berhasil pulih.Serena menarik sudut bibirnya tipis begitu Annelies dan sang suami berhenti di hadapannya.“Lama tidak bert
“Menurutlah selagi aku belum berubah pikiran, Theodore!” Anthony berujar dengan tatapan tegas.Dan Theo tahu, mustahil jika melawan. Bahkan mungkin akan membuat posisinya dan Annelies dalam bahaya karena hal ini memang perjanjian awal.Dengan rahang berubah ketat, Dan Theo pun berujar, “baiklah, aku akan pergi bersama Annelies. Tapi Ayah harus menepati janji. Jangan pernah mengganggu kami lagi!”“Apa kau pernah melihatku berkhianat?!” sambar Anthony yang lantas meraih cerutunya.Tangan Dan Theo mengepal geram, sampai kapan pun dia tak rela meninggalkan satu putranya bersama Anthony.‘Tunggu Daddy, Dylan. Suatu hari, Daddy pasti menjemputmu!’ batin pria itu penuh tekad. Dirinya lantas menunduk hormat di hadapan sang ayah. Tanpa bertukar suara lagi, Dan Theo pun mangkir dari ruangan tersebut.Sialnya, Eugen masih menunggu di luar. Rasanya Dan Theo ingin menghajarnya, tapi Annelies pasti sudah menunggu. Dia tak akan membuang waktu untuk hal yang sia-sia.Namun, bukannya membiarkan Dan T
“Mohon maaf, Tuan Theodore. Tuan Eugen sudah membawa pergi bayi pertama Anda!” tukas sang Perawat menunduk.Dan Theo yang mendengarnya pun mengernyit geram. Belum juga Annelies dan dirinya menggendong bayi itu, tapi sang ayah sudah buru-buru mengambilnya. Bukankah bayi itu butuh Annelies untuk menyusu?‘Sial! Kenapa Ayah sampai bertindak seperti ini? Anak itu masih bayi dan butuh ibunya!’ batin Dan Theo meradang dalam dada.Dirinya tak sanggup menyampaikan perkara ini pada sang istri. Terlebih kondisi Annelies masih lemas. Dia tak mau wanita itu cemas, bahkan kesehatannya menurun jika memikirkan bayi pertamanya.‘Sebaiknya aku tidak membahas bayi dulu,’ geming Dan Theo dengan alis berkedut.Dia akhirnya kembali mendekati Annelies dan berupaya mengalihkan perhatian.“Istriku, para Perawat akan memandikan bayi-bayi kita dulu. Kau tenang saja, bayi-bayi kita sangat tampan dan memiliki mata yang indah sepertimu,” tutur Dan Theo merengkuh tangan Annelies.Sang wanita tersenyum binar, semba