Yang susah dalam hidup itu melupakanššš setuju gak sih? Tapi Alhamdulillah aku tipe gampang bet move on dari mantanš¤£š¤£š¤£ dah 4bab aku up, selamat membaca dan sehat selalu, jangan lupa bahagia.
Diam bukan berarti tenang. Bianca terus menyeret Renata, keluar dari kamar rawat inapnya Doni. Karena ia merasa telah jenuh dan kesal melihat tingkah laku Doni yang seperti anak kecil. Padahal sudah diterangkan bahwa di rumah, baby Annisa butuh Asi dan tak bisa tidur tanpa Ibunya. Tapi dengan wajah yang terus mengiba, Doni dengan segala upaya mencoba menahan Renata. "Rasanya ingin sekali menonjok, muka dia!" rutuk Bianca dalam hatinya. Dia sudah sangat dongkol sekali dengan keduanya, yang satu dengan segala menimang perasaannya hingga membuatnya terlihat lemah, dan yang satunya, laki-laki yang nggak tau malu, dengan memanfaatkan keadaan. "Mungkin aku harus membawa Renata ruqyah, agar setan-setan dalam tubuhnya sirna," sungutnya lagi. Bianca begitu yakin kalau kediaman Renata gak wajar sekali. "Tapi masa iya, di tahun 2021 masih ada begituan," lir
Doni pulang. "Akhirnya, bisa pulang juga," guman Ibu sambil membereskan beberapa baju dari nakas rumah sakit." Aku yang sudah siap sejak pagi, ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Semenjak waktu itu, Entah kenapa Renata tak ada kembali lagi ke rumah sakit, tega sekali dia. Bahkan sekedar menelpon atau chat aja tidak dilakukannya. Padahal surga istri itu ada pada suaminya, aku yakin Renata tahu dan paham akan hal itu. Bianca selalu membawa pengaruh buruk untuk istriku. Dulu dia sangat penurut ketika aku jauhkan dari teman bar-barnya itu. Tapi sekarang mereka akrab lagi, dan lihatnya, sikap Renata sudah tak elok lagi padaku. "Jangan ngelamun aja, pamali," ucap ibu membuyarkan semua yang aku pikirkan. "Iya, Bu!" sahutku dengan lirih. Sambil kuperhatikan setiap gerakan wanita yang telah melahirkanku itu. Hanya Ibu dan keluargaku yang selalu mendam
"Mas Doni, Ibu?!" teriak Renata, ia kaget sekali, seolah-olah menemukan tikus besar atau semacam binatang buas yang membuatnya terperanjat. Jantungnya berdegup kencang melihat kehadiran suami dan mertuanya. Disaat situasi butik tengah ramai pengunjung. Wajah Renata memucat seolah tak berdarah lagi, bukan dia takut dengan kedatangan Doni dan Bu Tuti. Tapi dia tak habis pikir, dengan kelakuan suaminya yang tak merasa bersalah sedikitpun. "Ren, panggilnya untuk kedua kalinya. Renata menatap tajam kearah lelaki berkaos polo itu. Tatapannya mengunci, ada amarah yang jelas dipancarkan dari sorot matanya pada calon mantan suaminya. Doni tersenyum dengan manisnya, melihat wajah terkejut dari sang istri, dirinya merasa berhasil membuat kejutan untuk Renata. Bu Tuti pun, tersenyum simpul pada menantunya. Lain hal dengan wanita satu
Penyesalan Doni langkah awal bagi Bara. "Ayo! Pulang,"ajak Bu Tuti dengan lirih. Sedewasa apapun Doni dimata dunia, baginya, Doni hanyalah anak yang masih perlu dibimbing dan diingatkan. Masih butuh petuah darinya yang melahirkannya. "Sudahlah, nanti kita pikirkan bagaimana selanjutnya, sekarang kita pulang!" ajaknya lagi. Ketika matanya tak menemukan reaksi apapun pada Doni. Doni masih menatap kosong ke sembarang tempat. Dengan airmata yang terus terjun bebas tanpa hambatan. "Aku mau pulang ke istriku, Bu!" lirihnya. "Iya, nanti kita kesana! Tapi sekarang, ayo! Kita pulang dulu, Bapak dan Dina menunggu kita," sahut ibunya sambil mengelus-elus pundak anak laki-laki satu-satunya. Hatinya perih tiada terkira, melihat anak sulungnya seperti itu. Namun kesalahannya memang tidak termaafkan. Jangankan Renata menantuny
Rencana yang gagal. "Mau gak, kamu balikan sama aku?" tanya Bara dengan tatapan penuh harapan kata iya, dari perempuan cantik di hadapannya. Renata seketika memelototkan matanya, pada Bara yang menatapnya seakan mengintimidasinya. "Aku serius!" terangnya, sorot matanya terasa menghujam jantung wanita itu. "Em-emh, apaan sih!" jawab Renata ketus sambil menyelipkan rambutnya di kuping kanannya. Rasanya panas dingin, dan gemetar tubuhnya, saat mendengar apa yang diucapkan oleh laki-laki di depannya. Apalagi saat mata mereka beradu tepat pada manik hitamnya. "Ren, Mas Bian telepon, Ayah jatuh di kamar mandi," ucap Bianca yang tiba-tiba muncul dengan mencangklong tas kecilnya. "APA?!" Jantung Renata terasa mencelos dari tempatnya, saat mendengar kabar Pak Harun,
Bara mendesah kecewa, saat situasinya malah seakan melawan keinginannya, untuk bisa bercerita lebih banyak lagi dengan wanita pujaannya, sebagai langkah awal baginya mengakrabkan diri kembali. Namun dengan respon welcome dari Renata sebenarnya sudah cukup membuatnya bahagia, ditambah dengan statusnya saat ini. Allah seakan-akan memberinya nasib baik terus-terusan kepadanya. Renata menggeliat dalam tidurnya, membuat Bara meliriknya dengan ujung matanya. "Ya ā¦ Tuhan, sungguh sempurna, wanita di sebelahku ini!" gumamnya dengan pelan. "Aku janji, Ren, aku akan membahagiakanmu, jika kesempatan ini memang untukku!" tegasnya dalam hati dengan seulas senyum tenang yang menggambarkan kebahagiaan. Sepanjang perjalanan Renata tertidur pulas, dan Bara menyetir dengan penuh harapan dan khayalan yang indah bersama wanita di sebelahnya, yang tengah bermimpi indah pula. Karena dalam tidurnya ada senyum yang membingk
Kebingungan Ela. "Mama pergi dulu ya, Nak," pamitnya pada baby Annisa. Pemandangan yang indah bagi Bara melihat interaksi antara anak dan Ibu itu. Renata menyerahkan anaknya pada Eka, dan berjalan keluar, tapi dia berhenti saat Bara berbalik dan melambaikan tangan pada anaknya. "Papa pergi ya, Nak, bye-bye," teriaknya sambil memberi kiss bye ke arah bayi itu dan disambut dengan senyuman Eka. "Ish kamu!" tegur Renata menepuk tangan Bara dengan keras, sambil mendelikkan matanya, ia merasa malu oleh Eka dengan kekonyolan Bara. "Tapi kamu suka-kan?" tanya Bara yang tersenyum dan menaik turunkan alisnya. "Ish!" ketus Renata lalu dia meninggalkan Bara yang sedang menggodanya dengan memasang wajah kesal. Bara mengejarnya lalu dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Renata. Dan wanita itu masih saja cemberut.
Tamu di kantor Bara. "Errrgh!" kesalnya sambil mengepalkan tangannya penuh emosi. Adik iparnya ini memang kalau sudah ada kemauan tak pernah bisa dihentikan atau ditolak. Kini Ela tak punya pilihan lain selain memberikan apa yang dipinta oleh Bianca. Dia meraih kotak perhiasan miliknya dari meja riasnya, yang langsung disambar oleh Bianca. "HEI, APA-APAAN INI?!" teriak Ela yang kaget dengan kelancangan Bianca. Bianca langsung membuka kotak perhiasannya dan mata langsung menangkap cincin motif bunga bermata hitam. Ela sudah tak mampu berkata-kata lagi saat ia melihat tangan Adik iparnya memegang cincin bermata hitam itu. Bianca menelisik cincin itu dan di lingkaran bagian dalamnya tertera nama Renata dengan jelasnya. Seketika tatapan nya nyalang ke arah Kakak iparnya. Ada amarah yang sengaja di tahan oleh Bianca, walau bagaimanapun,