Ide Gila Bapak!

Ide Gila Bapak!

By:  Fitriyani  Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
35Chapters
481views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Perceraianku yang keempat kalinya, ternyata membawa duka yang teramat besar bagi Bapak. Hingga rencana gilanya, seakan membuatku sesak napas! Benarkah, Bapak akan sanggup melanjutkan ide gilanya tersebut?! Lalu, bagaimana dengan tanggapan masyarakat?

View More
Ide Gila Bapak! Novels Online Free PDF Download

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments
No Comments
35 Chapters
Kita Menikah Saja
"Astagfirullah! Ya Allah! Bapak pastilah sudah gila! Mana mungkin kita bisa menikah?!" jeritku, histeris. Luka di hati belum kering, dan Bapak seakan menambahkannya lagi!"Itu ... hanya semacam saran, Dwi." Kugelengkan kepala sekeras mungkin, "Empat kali kamu gagal dalam mempertahankan rumah tangga, orang tua mana yang tidak resah?""Ughhh, huhuhuu ...." Aku berharap, menemukan ketidakseriusan dalam ungkapan Bapak. Namun, nihil. Pria yang sudah menduda lama itu, begitu nekat ingin menikahi aku sebagai putri kandungnya!Bagaimana pernikahan kami di mata Agama? Masyarakat? Ini jelas terlarang!"Atau paling tidak, kamu anggaplah Bapak sebagai suami, Nak. Biar hidupmu aman, tidak perlu lagi menikah dan dikecewakan seperti sekarang. Bapak, jadi tidak percaya terhadap semua lelaki di luaran sana." Aku menggigit bibir, kembali menggeleng sekeras mungkin. Dengan air mata terus berjatuhan, ini pasti hanya lelucon beliau saja!Almarhumah Ibu di atas sana, pasti ikut murka! Aku tahu, aku ini jand
Read more
Lamaran Pak Lurah
"Bhahahahaaaaaa ... yakin Pak Syamsul mau nolak tawaran mulia ini gitu aja? Nggak akan nyesel sampeyan?" Aku bergidik ngeri, demi melihat Pak Lurah dengan didampingi keempat istrinya baik di samping kanan mau pun kiri. Aku lebih baik di sini dulu saja dengan, Bapak. Risma bilang, Bapak itu rajin ibadah. Sering bolak-balik ke Mesjid, mana mungkin beliau segila itu. Astagfirullah!Kelakuan Pak Lurah ini, tak patut dicontoh! Jauh sekali dengan poligami ala Rasulullah, keempat istrinya pake baju kurang bahan. Kecentilan pula lagi, melihat Bapakku yang seharusnya tak lagi menarik minat mereka."In Syaa Allah, keputusan saya ini sudah bulat, Pak Lurah. Kasihan Dwi, sudah empat kali gagal. Saat ini ... biarlah dia istirahat, menenangkan diri terlebih dulu." Seeeeer, kata-kata Bapak barusan begitu menyentuh hati. Tak Bapak katakan, tentang rencana gilanya kemarin itu.Lagi pula, mana sudi aku jadi istri kelima Pak Lurah! Astagfirullah, giliran ada yang melamar. Kenapa modelnya yang begini, p
Read more
Lelaki Dari Masa Lalu
"Apa nggak salah kamu, Mir? Ngasih anak Bapak buku? Buat apa?" Aku meneguk ludah, tak berani menatap netra Bapak yang mungkin saja tak menyukai pemberian pria lain sekarang."Ah, itu ... a-nu, Dwi kan suka banget baca buku. Di sana juga banyak ilmu yang bisa Dwi serap," sahut Emir, yang tampak gugup."Anak pintar." Aku mendadak pusing, mendengar pujian Bapak pada Emir. Beliau lantas berlalu, seakan tak mempermasalahkan. Apa mungkin karena kami berteman? Tumpukan buku di tanganku, membuat rasa ingin membaca kembali membuncah. Bisa sedikitlah membuatku lupa dari masalah hidup, juga rencana Bapak tempo lalu. Yang masih meningggalkan degup jantung tak beraturan."Bener kata Bapakmu, Wi. Si Emir pinter juga ngasih oleh-oleh, kamu 'kan emang suka baca dari dulu. Nah aku, ini ... dia ngasih banyak cemilan. yang tinggal digoreng. Aduh Emiirrr, baik banget sih kamu." Aku mencebik, tadi saja dia nampak tak peduli dengan kehadiran Emir. Memang Risma tuh, kalau soal makan-memakan juara deh!Keda
Read more
Aku Saja Yang Melamarmu
***"Astagfirullahaladzim ... ba-bangkai tikus, Pak. Hiiiiy." Aku bergidik ngeri, memeluk Bapak seerat mungkin. Melupakan rencana gila beliau, bagiku pemandangan di depan sana jauh lebih mengerikan.Satu kotak berisi bangkai tikus, seakan mengocok seluruh isi perutku. Aku mual, kepala terasa pusing. "Tenang, tenanglah, Nduk!" Dilepasnya pelukanku, dengan penuh keberanian Bapak mendekat menatap kado berisi bangkai yang entah kiriman siapa.Harusnya aku sudah merasa tenang, tinggal di kampung. Kenapa harus ada yang begini? Isengkah dia? Tapi, untuk apa?Bapak, membawa kado itu menjauh. Membuat napasku kembali normal, aku terduduk dengan rasa yang lemah.Ini semua salahmu, Mas Rifal! Kamu terlalu mudah tergoda dengan janda kembang, yang kupikir tak ada seujung kuku pun bila disandingkan dengan aku!Kamu bahkan, harus membiayai anaknya! Yang bukan darah dagingmu, rela melepas aku yang sudah sedari nol mendampingi.Andai kita masih bersama, tak perlu aku pulang kampung. Mematahkan hati Ba
Read more
Cinta Pertama Emir
"Masuklah, Dwi! Lelaki pecundang itu tak akan pernah datang. Barangkali, dia sadar. Kamu hanyalah janda hina!" Napasku tercekat, demi mendengar ucapan Bapak. Yang terasa menusuk kalbu, benarkah Emir menilaiku sedemikian rupa?Hal itukah yang membuatnya urung datang? Emir, aku bahkan sudah masak banyak. Demi menyambut kedatanganmu, kenapa, kenapa kamu menorehkan luka sebelum rasa itu berkembang lebih lama juga dalam?"Kenapa Bapak menyebutku janda hina? Gerangan apa yang kulakukan? Hingga Bapak tega," tanyaku, menatap kedua manik matanya. Kutatap rumah Emir di seberang sana, gelap. Seperti tak ada kehidupan, kau ke mana, Emir? Aku serius menganggap lamaranmu tadi siang, tapi, kenapa kau tega dengan tak datang tanpa memberi kabar?"Bapak rasa, yang namanya janda memang hina. Sebab, mereka tak bisa mempertahankan rumah tangganya." Pedas, ucapan Bapak terasa menohok. Aku berdiri, tak lagi mengenali sosok Bapak yang lembut."Begitu, aku hanya tak ingin dimadu. Aku tak sanggup berbagi! Apa
Read more
Ide Gila Risma
"Kamu bilang cinta, tapi, tak menepati janji! Kita bukan lagi abg, Emir ...." Sesak napasku, bila mengingat janjinya tempo lalu.Di sinilah kami, di antara Risma. Dengan napas tersengal, amarah sekaligus rindu bercampur menjadi satu. Aku heran, kenapa hati ini begitu mudah terjatuh pada makhluk ciptaan-Mu Ya Rabb?Salahku, yang terlalu berharap. Mana mungkin Emir mencintai janda sepertiku? Terlebih dengan aturan yang ketat dari Bapak, itu jelas akan menambah segala ketidakmungkinan antara aku dengannya!"Maaf." Aku mendengkus kasar, menatap lelaki manis yang tengah mengatupkan kedua tangan di dada. "Apa dengan kata maaf, semua akan selesai? Aku ini janda, Emir ...." Setitik air mata jatuh, aku hanya tak menyangka kenapa diri ini begitu mudah rapuh."Aku tak datang, bukan berarti sengaja tak menepati janji, Dwi. Ada satu hal dan yang lainnya, percayalah ... aku akan berjuang. Kita berjuang bersama," ucapnya, yang membuat dadaku semakin nyeri.Bila tak ingat iman, ingin aku berlari mem
Read more
Kedatangan Mantan
“Maa Syaa Allah, Bibi ….” Kupeluk erat adik kandung Almarhumah Ibu, sudah lama kami tak berjumpa. Tangisku pecah, berada dalam pelukannya mengingatkanku pada mendiang Ibu. Andai beliau ada di sini, tak meski Bapak seakan menjadi musuhku sendiri di rumah. Bukan nyaman yang kurasa, melainkan ketakutan yang tak pernah berujung.“Kamu ini, Dwi! Pamanmu meninggal, sampai hati kamu tidak datang. Ugh … huhuhu.”Degh!Apa paman meninggal? Tapi … kapan? Aku sama sekali tak diberi tahu.“Inalilahi wainalilahi rojiun, Paman meninggal, Bi? Kapan? Dwi, sama sekali nggak diberi tahu.” Aku menghela napas panjang, mempersilakan Bibi untuk masuk. Bapak sedang ke kebun, itu merupakan kegiatannya sehari-hari.Tega betul, Bapak. Hanya demi menjaga aku, sampai hati tak memberi tahu tentang kepergian Paman. Pastilah aku tak dianggap lagi peduli, padahal Bibi jelas keluarga satu-satunya yang dimiliki. “Kenapa, Dwi? Kenapa kamu nggak datang?” Lagi, Bibi menanyakan hal yang sama.“Demi Allah, Bi. Dwi nggak t
Read more
Kemarahan Bapak
***"Rifal! Kaukah itu?!" Jantungku seakan berlompatan tak menentu, demi melihat gelagat Bapak. Yang seakan ingin menerkam Mas Rifal, beliau dari dulu ... memang ingin melampiaskan segala amarah pada semua mantanku tapi, tak pernah kesampaian.Bugh!Bugh!Bugh!Aku menjerit, demi melihat aksi Bapak. Kalap, beliau membabi buta. Bahkan Bibi, sempat terpental karena ingin menghalangi."Bibi, sebaiknya menjauh." Emir, menolong Bibi dengan sigap. "Iya, Nak. Tolong ya, Syamsul itu ... tidak pernah tenang jiwanya." Aku masih bisa mendengar ucapan Bibi, memang jiwa Bapak kenapa?"In Syaa Allah, Bi. Bibi, mundurlah." Perintah Emir, dituruti oleh Bibi yang kini mendekat ke arahku. Aku mengumpat pada Mas Rifal, yang tampak bodoh. Seakan menyerahkan diri, dengan datang ke mari!"Ini untuk Dwi! Kamu laki-laki biadab!" Gerakan Bapak, tertahan karena Emir melerai."Lepaskan, Emir! Dia itu lelaki yang sudah membuang anakku Dwi!" teriak, Bapak. Mencoba melepaskan diri, dari cengkeraman Emir yang jela
Read more
Restu Ibu Emir
"Hiiiiiy ...." Bibi bergidik ngeri, usai mendengar semua tentang keanehan Bapak. "Kamu serius, Dwi? Nggak sedang bercanda, masa sih Syamsul segitunya bangeeeet."Aku mengangguk keras, biar Bibi tambah yakin. Hal ini baru kuceritakan pada beliau dan Risma saja, bahkan Emir belum tahu. Tapi, entahlah kalau si Risma nggak ember.Bisa-bisa ilfeel kalau Emir tahu. Huh, aku susah membayangkannya."Barangkali karena sakit hati melihatmu terus-terusan gagal, Dwi. Orang tua mana yang nggak risau," ucap Bibi, yang mungkin mencoba untuk berpikir positif."Entahlah, Bi. Itu alasannya aku kepengen nikah aja sama Emir," kataku, mengulum senyum. Meraba dada, merasakan rindu yang kian menghujam."Halah, itu sih emang kamunya aja yang kebelet nikah. Heran, bener kata Bapakmu Dwi. Kamu itu mesti hati-hati, jangan asal nikah." Aku manyun, mendengar Bibi yang dirasa tak lagi mendukung.Aku kalau udah nikah, kepengen buru-buru keluar dari rumah ini. Bukan ingin menjauh, tapi, dirasa aku Bapak kok, emang
Read more
Jiwa Yang Sakit
"Sungguh ... Bibi, mau menikah dengan Bapak? Nggak akan menyesal dikemudian hari?" Netraku berbinar, jujur aku telah memupuk harapan yang begitu banyak padanya.Mungkin saja dengan menikah lagi, pikiran Bapak kembali fresh. Mau melepas aku dengan Emir, "In Syaa Allah, Dwi. Anggaplah Bibi, berkorban demi kamu."Kupeluk wanita yang sudah membuat perasaanku lega, curhat padanya selalu mendapat petuah-petuah yang berarti.Sekarang, aku tinggal mengatur strategi bagaimana supaya Bapak jatuh hati pada Bibi.Semoga bukan hal yang sulit, toh mendiang Ibu tak jauh berbeda dengan adiknya."Kalau begitu fix ya? Bibi, mau ikut caraku." Aku terkikik, membayangkan hari-hari yang mungkin saja akan lebih berat. Bapak, tipe lelaki yang tidak mudah jatuh cinta. Berbanding terbalik denganku, hihi.Bibi, nampak kaget. "Jangan aneh-aneh kamu, Dwi. Ingat kami ini para orangtua, Bibi, juga nggak mau melanggar norma-norma.""Ya ampun, Bibi, ini mikir apa sih? Demi deh aku nggak bakal aneh-aneh." Aku mengulum
Read more
DMCA.com Protection Status