Agus kembali ke rumahnya dengan langkah yang gontai. Rasanya ia tak sanggup jika harus menyampaikan kabar kurang baik ini kepada istrinya.Akhirnya Agus memilih menghabiskan waktu di teras depan Rumah dengan ditemani sebungkus rokok.Setelah menghabiskan beberapa puntung rokok, Agus masuk ke dalam rumah. Ia berharap jika Romlah sudah tertidur. Namun, keadaan sedang tak berpihak kepadanya."Kok, baru pulang Mas?" tanya Romlah begitu melihat suaminya masuk ke dalam kamar."Iya, Dek. Mas, langsung tidur, ya. Badan rasanya capek banget." Agus membaringkan tubuhnya di samping Romlah.Melihat wajah sang suami yang lesu, membuat Romlah dapat menebak apa yang terjadi kepadanya. Romlah merasa kasihan pada suaminya, karena permintaannya membuat Agus menjadi tertekan seperti itu."Nggak diizinin ibu buat jual sawahnya, ya, Mas?" Romlah menarik tangan Agus dan menggenggamnya.Agus membuka matanya. Ia melihat sang istri tengah memandanginya. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu bangkit dan dud
Sore itu, Agus baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Kondisi bengkel yang ramai membuat badannya gerah dan sedikit pegal di beberapa bagian tubuhnya.Selesai merapikan peralatan, Agus segera bersiap pulang. Setelah mengambil tas kecil miliknya, kemudian Agus menyusuri jalan yang selalu ia lewati setiap berangkat ataupun pulang kerja.Waktu telah menunjukkan pukul 16.30. Namun, hawa panas masih saja ia rasakan, maklum namanya juga musim kemarau.Agus meraih tas kecilnya, ia buka resleting depannya. Bapak dari tiga orang anak itu meraba seluruh sudut tasnya mencari rokok. Ah ... Agus baru teringat jika rokoknya baru saja habis.Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu berbelok masuk ke dalam toko kecil yang berada di sisi jalan untuk membeli rokok. Baru saja ia akan keluar dari toko itu, ia merasakan seseorang telah menepuk pundaknya."Gus, pulang kerja?" Agus menengok ke arah pemilik suara itu."Eh, kamu, Rud. Kaget aku!" Agus tersenyum kepada tetangganya itu."Kirain abis tragedi tadi,
Selesai bekerja, biasanya Agus akan langsung menuju rumahnya. Namun, kali ini berbeda, Agus sedang duduk di pos ronda pinggir jalan. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang.Agus terlihat celingukan tengok kanan dan kiri secara bergantian. Beberapa kali juga ia berdiri kemudian duduk kembali. Untuk mengusir rasa bosannya, lelaki dengan tinggi 165 centimeter itu mengambil handphone yang ada di dalam tas kecil lalu memainkannya.Setelah menunggu cukup lama, akhirnya datang seorang lelaki yang menghampiri Agus. Sepertinya mereka cukup akrab, hingga tak tampak kecanggungan di antara mereka."Mau motor apa, Gus?" Lelaki yang akrab dipanggil Adul itu mengeluarkan beberapa lembar kertas berisi gambar dan daftar harga sepeda motor."Aku lihat-lihat dulu nggak apa-apa, kan, Dul?" Agus meraih kertas itu dan membacanya satu persatu."Boleh, dong! Aku bawa kesini emang buat dilihat, kan." Adul tertawa menanggapi ucapan Agus.Adul adalah teman sekolah Agus waktu SMP. Ia bekerja sebagai marketing d
Pagi itu, Siti yang baru saja bangun tidur, teringat kembali dengan pembicaraannya malam tadi dengan Agus. Ia masih belum yakin dengan keputusan yang dibuatnya. Ada sedikit keraguan yang mengganjal di sisi hatinya.Malam nanti, rencananya ia akan mengumpulkan Agus dan juga Yuli untuk membicarakan perihal penjualan sawah. Ia berharap Yuli akan terima dengan keputusannya itu, walaupun sebenarnya ia tahu akan sulit bagi anak sulungnya itu untuk menerima keputusannya.Siti berjalan ke depan rumahnya. Ia berdiri sejenak di depan rumahnya. Ibu dari tiga orang anak itu sedang melihat kerepotan menantu perempuannya yang sedang menyuapi Riska sembari menggendong Naura. Tak jarang Riska sengaja berlari agar sang Ibu mengejarnya.Romlah dulunya adalah gadis yang cantik. Ia juga begitu peduli terhadap keluarga. Hanya saja sang mertua tak menyukai sifat boros dan keras kepala dari wanita yang berumur tiga puluh tiga tahun itu.Siti kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk di sebuah kursi, kemudian m
Agus mulai terlihat sibuk beberapa hari ini. Ia memanfaatkan waktu sebelum dan sepulang bekerja untuk membersihkan sawah yang akan dijual itu. Rumput yang begitu rimbun memaksa lelaki berumur tiga puluh enam itu untuk memangkasnya. Tak jarang ia sampai rumah ketika azan magrib terdengar. Agus melakukan itu semua atas saran pakdenya, agar harga sawahnya naik. Kondisi sawah yang tak ditangani dengan baik juga mempengaruhi tinggi rendahnya harga sawah itu.Kini sawah terlihat lebih baik. Rumput dan ilalang tak lagi terlihat meninggi.Sepulang bekerja sore ini, Agus berencana akan memasang papan berisi info jika sawah itu akan dijual, disertai dengan keterangan luas sawah, dan juga nomor telepon Agus. Anak kedua Siti itu berharap sawah milik sang Ibu akan segera terjual dengan harga tinggi.Selain dengan memasang papan, Agus juga mengiklankan sawahnya dengan cara memasang foto sawahnya ke media sosial miliknya. Tak jarang Agus juga menawarkannya kepada sanak saudaranya .Berhari-hari me
Agus menyusul Siti yang sedang bersama dengan sang kakak. Wajah sang Ibu terlihat pucat. Orang-orang yang berada di sawah saat ini pun saling berbisik."Kenapa, Bu?" Agus mendekati Ibunya."Yuli masih ngotot gak setuju sawah ini dijual, Gus." Mata Siti memerah menahan marah dan juga malu."Mbak, jangan gitu, lah. Mbak mau bikin Ibu malu?!" Agus mulai geram dengan tingkah kakaknya itu."Aku nggak peduli, pokoknya aku nggak setuju!""Kamu jangan gitu, lah, Yul. Kemarin kita udah omongan ini baik-baik, kan? Lagian, kamu udah pernah dikasih sapi sama almarhum bapakmu waktu mau renovasi rumah. Jadi udah cukup adil kalau sekarang Ibu kasih sawah buat Agus!" Siti kesal karena Yuli tak bisa diajak bicara baik-baik."Oh, jadi Mbak Yuli yang jual sapi bapak buat renovasi rumah? Katanya pakai tabungan suamimu, Mbak?!""Ya itu, kan-" Yuli bingung mau menjawab apa."Sudah-sudah, Gus, kita ke sana aja. Malu dilihat banyak orang!" Siti menarik tangan Agus untuk menjauhi Yuli."Tapi kan, Bu! Ibu!" te
Pagi sekali, Agus telah bersiap untuk berangkat bekerja. Namun, sebelum ke bengkel, ia ingin ke rumah Yuli terlebih dahulu untuk membayar hutangnya .Jika kemarin Romlah ditolak oleh Yuli, mungkin saja kali ini Yuli akan menerima uang dari Agus itu untuk membayar hutang.Agus tahu, tak mudah untuk mengakrabkan dua wanita itu. Namun baginya, hutang tetaplah hutang, dan harus ia bayar.Setelah berpamitan kepada sang istri, Agus langsung berjalan menuju rumah Yuli."Assalamualaikum," ucap Agus ketika sampai di depan rumah Yuli.Suami Yuli yang kebetulan duduk di ruang tamu bangkit dari tempat duduknya."Waalaikumsalam, eh, Gus. Masuk sini!" Ajak suami Yuli."Mbak Yuli ada, Mas?" Agus masuk dan mengekori sang kakak ipar."Ada, aku panggilin dulu, ya." Suami Yuli itu menuju ke dapur.Agus telah menyiapkan mental dan hatinya agar ia siap ketika nanti mendapat perlakuan yang kurang baik dari sang kakak."Tumben ingat rumah ini!" Sindir Yuli yang kemudian duduk di kursi depan Agus. "Ada apa!?
Semenjak memiliki sepeda motor baru, Romlah menjadi lebih semangat dalam menjalani perannya sebagai ibu rumah tangga.Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak-anaknya.Agus pun menjadi lebih semangat dalam bekerja. Kini ia tak perlu berjalan kaki untuk menuju bengkel. Sepeda motor berwarna merah itu ia jadikan tunggangan setiap hari. Ia pun selalu menyempatkan untuk pulang ke rumah saat jam makan siang tiba. Lelaki berumur tiga puluh enam tahun itu tak ingin melewatkan makan siang bersama dengan keluarganya.Pekerjaan Agus dinilai cukup bagus oleh pemilik bengkel tempatnya bekerja. Selain kemahirannya dalam mengotak-atik mesin, rasa tanggung jawabnya pun perlu diacungi jempol.Bahkan, bapak dari tiga orang anak itu mempunyai pelanggan khusus di bengkel itu. Tak jarang mereka hanya mempercayakan sepeda motor mereka ditangani langsung oleh Agus.Melihat itu, pak Susilo tak tinggal diam. Beberapa kali sang pemilik bengkel itu memberikan uang rokok kepada Agus dan juga