Juna langsung membawa Namira memasuki kamar. Perempuan itu pasti syok diperlakukan seperti itu oleh laki-laki jahat yang nyatanya adalah mantan kekasih Namira. Juna tidak tau kronologi jelasnya perihal yang dilakukan Sky pada Namira. Ia hanya melihat, Namira di tarik dengan begitu kasar menuju parkiran. Juna cukup bersyukur karena ada yang menolong Namira. Jika tidak ada, mungkin Juna tidak akan tau bagaimana nasib perempuan itu selanjutnya."Kamu nggak papa?" tanya Juna pada Namira yang berada di sebelahnya. Sejak tadi, Namira tak mau bersuara."Gue baik-baik aja," ketus perempuan itu, tidak mau menatap Juna. Ia tidak marah pada laki-laki itu tapi takut jantungnya kembali berdetak tidak normal jika matanya dan mata Juna kembali beradu. Cukup di sepanjang perjalanan pulang Namira kesulitan mengatur detak jantungnya sendiri.Juna tersenyum tipis. "Maaf karena saya membiarkan kamu pergi sendiri.""Bukan salah Lo. Biasanya juga kalau mau kemana-mana kan gue sendiri," ujar Namira."Ya, un
Kening Namira berkerut dengan dahi yang ikut bertaut setelah membaca sebuah pesan yang dikirim oleh Sky. Pesan berisi beberapa foto Juna bersama seorang perempuan di sebuah cafe. Ketika Juna tersenyum menatap perempuan itu, dilanjut dengan wajah salah tingkah perempuan asing itu dan terakhir foto Juna yang menyentuh kepala perempuan itu yang tampaknya dilakukan tanpa paksaan.Lalu? Apa gunanya Sky mengirim foto aneh ini padanya? Berharap Namira cemburu dan berterima kasih pada Sky karena telah memberitahukan keburukan suaminya yang pergi bersama perempuan lain? Kemudian Namira marah pada Juna dan rumah tangga mereka berantakan? Cih! Namira bukan perempuan mudah baper yang sedikit-sedikit langsung sedih, menangis dan marah. Dia mah santai saja. Mau Juna tidur dengan perempuan lain sampai punya anak dia juga tidak peduli. Malahan akan lebih baik biar mereka cepat berpisah."Saya pulang."Pintu kamar terbuka, memperlihatkan Juna yang datang sembari menenteng plastik berisi makanan pesana
Tidak ada rutinitas keren yang mereka lakukan malam ini selain menyaksikan sebuah drama yang di sarankan oleh Namira. Beruntungnya mereka akur. Tidak saling adu mulut dan cukup rukun. Buktinya Juna dan Namira duduk anteng di sofa di depan televisi. Duduk bersebelahan dengan posisi Namira yang duduk cukup dekat dengan laki-laki itu. Di masing-masing pangkuan terdapat cemilan. Di pangkuan Namira ada mangkuk berisi popcorn, Snack kentang dan teh botol. Sedangkan di pangkuan Juna ada permen rasa kopi, dua bungkus makaroni dan air mineral satu liter. Juna tidak memakan ataupun meminumnya. Apa yang ia pangku bak anak sendiri itu adalah kepunyaan Namira. "Ganteng kan dia?" tanya Namira pada Juna sembari menunjuk tokoh pria yang muncul di layar kaca.Juna menatap pemeran pria yang dimaksud, lalu menatap Namira yang tampak antusias dan senang. Dahinya berkerut, bingung dimana letak gantengnya manusia di tv. Jelas Juna lebih ganteng dan tentu lebih nyata."Gantengan saya," jawab Juna akhirnya
Pagi ini, Juna dan Namira menyisihkan waktu untuk sarapan bersama. Tumben, karena biasanya Namira ogah berdekatan dengan Juna atau berhadapan terlalu lama. Tapi entah kerasukan setan apa, pagi ini Namira lain cerita. Ia bangun lebih dulu, memasak sarapan berupa nasi goreng, lalu membangunkan Juna yang masih terlelap. Sewaktu Juna mandi, Namira juga mempersiapkan pakaian yang akan ia kenakan hari ini. Kemeja, jas, celana dan dasi. juna tentu heran dengan perubahan sikap Namira. Dia tidak seperti Namira yang Juna kenal. Ingin rasanya Juna meledek perempuan itu, tapi tak jadi karena sejak tadi, Namira tampak melamun. "Kamu tuh beneran kesurupan ya?" tanya Juna pada akhirnya. Makanan di piring sama sekali tak Namira makan, melainkan ia main-mainkan menggunakan sendok. Kalau begini, Juna jadi risau. Takut Namira betulan kesurupan.Tidak ada sahutan dari perempuan itu. Tatapannya tetap kosong. Lebih seramnya, mata Namira tak berkedip. Juna jadi takut."Namira,"Masih bergeming."WOI!"Nami
Juna tersenyum-senyum sendiri mengingat kelucuan Namira tadi pagi. Perempuan yang amat susah untuk ditaklukan itu akhirnya luluh dengan sendiri. Masih terdengar dengan jelas di telinga Juna panggilan 'Mas' keluar dari mulut Namira. Aku-kamu yang lembut. Ah, Juna jadi ingin cepat pulang. Bertemu dengan Namira dan membuat perempuan itu salah tingkah. Ia sudah menyiapkan beberapa gombalan untuk Namira. "Permisi, Pak."Hari ini Zahira kembali datang. Untuk chek up sekaligus cuci darah. Namun ketika memasuki ruangan Juna, ia malah mendapati pria itu tersenyum tanpa alasan yang jelas. Kasian, mana Juna dokter, masih muda lagi."Pak dokter!""Eh, iya. Ada yang bisa saya bantu?" Spontan Juna menatap Zahira yang duduk di hadapannya.Gadis itu tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Melamun sambil tersenyum? Ada-ada saja."Lagi mikirin apa pak dokter? Kayaknya lagi seneng," ujar Zahira. Ia menarik kursi kosong di hadapan Juna dan duduk di sana.Juna tersenyum salah tingkah. "Hehe. Iya, saya lag
Suasana di meja mendadak canggung. Padahal mereka bisa bersikap seolah tidak saling mengenal. Tapi entah mengapa, adanya Juna di sana membuat Namira tidak bisa berekspresi dengan bebas. Terlebih lagi ada gadis lain yang bersama Juna. Ah, dia sebetulnya tidak terlalu memikirkan mengapa Juna bisa ada di cafe ini dan berduaan dengan gadis lain tanpa sepengetahuannya. Tapi tanpa alasan yang jelas, Namira merasa tidak tenang. Ia seperti memergoki suaminya selingkuh, padahal ia sendiri juga bersama laki-laki lain.Sebagaimana yang dirasakan Namira, Juna juga merasakan hal yang sama. Ia merasa tidak tenang kala ketahuan makan berduaan dengan perempuan lain. Ia juga merasa sedikit tidak terima kala tau Namira juga tidak sendirian. Mereka seperti saling memergoki. Juna seolah selingkuh dan Namira juga begitu. Namun kenyataannya, mereka dan rekannya tidak memiliki hubungan spesial. Ini hanya sebuah kebetulan.Ditengah-tengah rasa canggung, Juna melanjutkan aktivitas makannya. Kali ini ia tidak
Juna segera membawa pasiennya kembali ke rumah sakit setelah menghabiskan waktu untuk makan siang di cafe. Ia juga tidak punya banyak waktu untuk berkeliaran karena terdesak ingin pulang cepat ke rumah. Namira berjanji akan pulang cepat. Karena hal itu, Juna tidak bisa berlama-lama di rumah sakit. Pasien yang ia tangani untuk hari ini hanya satu, yaitu Zahira. Setelah meresepi obat, Zahira sudah diperbolehkan pulang."Pak Dokter," panggil Zahira sembari mencolek pinggang Juna. Kini mereka berdiri di pos satpam. Tujuannya tidak jelas. Zahira hanya mengekori Juna.Pria yang awalnya asik ngobrol dengan satpam menoleh, menatap Zahira dengan dua alis dinaikkan. "Ya?""Boleh pinjam ponselnya nggak? Mau nelvon mama. Ponsel aku mati," ujar Zahira menunjukkan ponselnya yang memang sudah mati kehabisan baterai."Biar saya yang nganter kamu pulang," ucap Juna. "Kebetulan saya juga mau pulang ke rumah.""Tapi kan kita beda arah.""Nggak masalah." Juna tersenyum. Ia mengakhiri pembicaraannya denga
Aroma masakan menyambut kepulangan Juna. Baru di depan pintu utama, tapi aroma rempah yang tampaknya sedang berbaur dengan ayam goreng itu sudah berhasil menggugah selera. Ia segera berlari menuju dapur setelah melepas sepatu dan kaos kaki. Ia penasaran, apa yang tengah di masak Bi Arum di belakang sana."Masak apa bi?" tanya Juna ketika menginjakkan kaki di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Ia belum sepenuhnya melihat siapa yang sedang berkutat di depan kompor. Tapi agaknya memang Bi Arum. Mana mungkin Namira memakai daster. Dan tidak mungkin juga Namira memasak."Bi Arum sekarang kurusan ya?" tanya Juna diakhiri kekehan. Baru sadar dengan postur tubuh Bi Arum yang terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Akhir-akhir ini ia memang jarang memperhatikan Bi Arum. Perempuan itu berbalik, menatap Juna galak. Sutil yang digunakan untuk membolak balik ayam goreng di wajan kini sudah berada tepat di depan mata Juna. Satu dorongan lagi, mata Juna sukses kecolok."Bi, bi, bi, babi! Ini gue!