Sejak istri Frank meninggal, Grace hanya tinggal berdua dengan pria itu.Gadis kecil itu secara perlahan mengambil alih peran sang ibu—mencuci pakaian, menyiapkan makanan, dan menanggung kekerasan Frank setiap hari.Ia menarik rambut Grace, menendangnya, bahkan tak jarang memukulnya dengan sabuk. Hari-hari terasa begitu berat dan menyesakkan saat itu.Seiring waktu berlalu, Grace tumbuh menjadi gadis yang semakin cantik. Di lingkungan pedesaan tempat ia tinggal, kecantikannya justru memancing bencana yang lebih mengerikan.Tatapan Frank makin lama makin jahat. Ia mulai memaksa Grace duduk di pangkuannya, mencium wajah gadis itu dengan napas yang bau alkohol dan keringat. Setiap malam saat mandi, Grace selalu mengunci pintu kamar mandi rapat-rapat. Tapi tetap saja, saat menoleh, ia melihat sepasang mata liar mengintip dari celah pintu—penuh nafsu dan tawa menjijikkan.Itu adalah mimpi buruk yang terus menghantuinya sejak kecil.Pernah suatu malam, Frank membawa dua temannya pulang. Mer
"Berapa yang kau mau?" tanya William, nada suaranya agak sinis.Frank diam sejenak sebelum menjawab, "Pak Donovan, terserah. Berapapun yang menurut Anda pantas."William menatapnya sebentar. "Lima puluh ribu dolar, cukup?"Lima puluh ribu?Mata Frank langsung berbinar. Ia tak menyangka William akan mengajukan angka sebesar itu begitu mudah."Cukup," jawabnya singkat.William mengeluarkan buku cek, menandatanganinya, lalu menyerahkannya.Saat menghitung nolnya, Frank memastikan jumlah itu benar-benar lima puluh ribu. "Terima kasih, Pak Donovan. Saya permisi."Ia melangkah keluar dengan senyum lebar, menggenggam cek itu erat-erat seolah takut hilang.Begitu pintu tertutup di belakang Frank, ruangan kembali sunyi. William menarik napas panjang, lalu berjalan ke kamar, dan Grace sudah menunggunya di sana.Tatapan Grace tajam. “Frank tadi bilang apa ke kamu?”William mengangkat satu tangan, membuka kancing teratas kemeja hitamnya, memperlihatkan lehernya yang kokoh. Ia tersenyum tipis. “Me
Karena Barbara menelepon, Grace mau tidak mau harus kembali ke Donovan Hall. Namun, begitu melangkahkan kaki ke ruang tamu, pandangannya langsung terpaku pada satu sosok yang mustahil ia lupakan. Frank.Dulu, Melanie mengirimnya ke desa, ke rumah Frank, yang kemudian menjadi ayah angkatnya.Sekarang, di sofa mewah itu, Barbara duduk manis sambil tertawa renyah bersama Frank. "Grace itu dibesarkan di desa. Berkat kamu, dia bisa dididik dengan baik. Sekarang, dia sudah menjadi nyonya muda keluarga Donovan dan aku sayang banget sama dia."Frank, yang mata kirinya buta, bertubuh tegap dan besar tertawa dengan bangga. Dulu ia adalah pemabuk yang kerap memukuli istrinya. Namun kini, di sofa yang empuk, mata satunya mengamati setiap sudut Donovan Hall. Kemewahan dekorasi dan deretan karya seni antik di ruangan itu membuatnya terlihat bersemangat, namun juga penuh dengan ketamakan.Di hadapan Barbara, ia berlagak sebagai pria baik-baik. "Ah, Barbara, kamu terlalu memuji. Grace nggak pernah bi
Grace meraih tangan Clara. “Clara, kita pergi.”Keduanya mulai melangkah menuju pintu keluar, tapi William mengulurkan tangan dan menangkap pergelangan tangan Grace. Jari-jarinya menggenggam erat tangan halus itu, dan sentuhan kulit mereka memicu aliran listrik kecil yang menyambar. Seketika keduanya terseret ke dalam kenangan malam itu di Whitestone Hill, saat William menekannya ke dinding…Grace cepat-cepat menarik tangannya.William menatap wajah lembut itu dengan sorot mata sedingin es, lalu berbicara dengan tenang. “Grace, hal kayak gini nggak akan kejadian lagi.”“Bagus. Dan cepat cari cara buat jelasin hubungan kita ke nenek, biar kita bisa langsung cerai. Posisi Mrs. Donovan ini bakal aku balikin ke Camila.”Setelah mengatakan itu, Grace menarik Clara dan pergi, dan William menatap punggungnya yang semakin menjauh, alisnya yang terlukis sempurna sedikit berkerut.Saat itu, Riley berseru, “Kenapa sih kamu gak tanda tangan aja surat cerainya, supaya urusan kalian cepat selesai?!
"Grace..." William melihat sekeliling, tapi kamar itu kosong. Sosok Grace sudah menghilang.Apakah dia pergi? Bukankah sudah dibilang dia tidak boleh pergi?William mengeluarkan ponselnya dan langsung menekan nomor Grace.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara itu akhirnya menjawab.“Di mana kamu?” nada William terdengar kesal.“Taksi,” jawab Grace singkat.“Mau ke mana?”“Bukan urusanmu, Will.” Nada Grace sengaja dibuat menyebalkan.“Kamu mau ketemu Theo, kan? Aku ini masih suamimu, Grace. Jangan bikin gosip murahan dan jatuhin nama baikku dengan pergi sama pria lain.”Dari seberang, Grace terkekeh pelan. “Lebih baik kamu cari cermin, terus bilang itu ke bayanganmu sendiri. Gak banyak orang yang tahu siapa istri Donovan yang sebenarnya. Yang mereka tahu, jelas bukan Camila. Jadi kalaupun ada gosip murahan, itu datang dari perselingkuhan kalian.”William terdiam sesaat. Ketika ia bicara lagi, nadanya lebih lembut. “Bukannya sudah kubilang kamu harus tetap di kamar?”Grace
Kabar kedatangan Camila membuat William sontak membeku. Akal sehatnya yang sempat hilang tiba-tiba kembali. Ia menunduk, menyembunyikan tatapan yang kini diliputi keputusasaan. Apa yang baru saja ia lakukan? Ia menahan Grace dan memaksa menyentuhnya? Saat itu, Grace merasakan cengkeraman William mengendur. Lelaki itu sudah melepaskannya. “Kamu tetap di sini, jangan keluar!" kata William dengan tegas. Setelah mengatakan itu, ia melangkah pergi dengan langkah cepat. Ia pasti menemui Camila. Pria yang beberapa saat lalu masih dikuasai hasrat, bisa meninggalkannya tanpa ragu begitu mendengar nama Camila. Wajah Grace yang merah membara perlahan mereda. Ia menampilkan senyum getir. Mengapa ia merasa, meskipun masih berstatus istri sah, dirinya justru seperti seorang selingkuhan? Seolah ia yang berhubungan diam-diam dengan William, sedangkan Camila adalah istri yang sebenarnya. Betapa ironisnya. Apa yang akan William lakukan bersama Camila? Tentu saja hal-hal yang belum sempat mer