LC yang aku sewa ternyata istriku sendiri. Padahal setiap bulan aku kasih nafkah, kenapa dia kerja begini, kemana perginya uang yang selalu kukirim?
Lihat lebih banyak“Pak Sena.”
Deg. Suara itu. Aku seperti mengenalnya. Aku langsung berbalik dan saat itu juga merasakan dunia seolah berhenti berputar. Tubuh ini membeku dan lidah mendadak kelu. Dia juga tampak kaget dengan mata membulat sempurna. “Mas ... Aska.” Suaranya begitu lirih namun masih bisa kudengar. “Senja.” Dadaku bergemuruh saat menatapnya. Setelah lima tahun berlalu, baru kali ini aku bertemu dengannya. Dulu aku meninggalkannya setelah satu bulan menikah. Niatku memang hanya mencari kepuasan namun Senja bukan wanita yang mau disentuh tanpa ikatan. Tidak seperti wanita yang sebelumnya pernah kudekati. Maka dari itu aku menikahinya di bawah tangan, hanya sebagai syarat saja. Aku tidak akan tenang sebelum mendapatkannya. Setelah urusanku di tempat itu selesai, aku pulang tanpa beban, tidak peduli seperti apa kehidupan Senja berlanjut. Tidak menyangka sekarang dipertemukan lagi dan di tempat seperti ini. Tapi kenapa dia bekerja seperti ini? Aku tahu Senja bukan wanita yang suka berada di tempat begini. “Kenapa kamu-” “Maaf membuat Anda menunggu lama, Pak.” Dia memotong ucapanku, bisa kuliat matanya berembun dan suaranya bergetar. Apa dia sedih saat aku tinggalkan? Seharusnya tidak ‘kan, aku saja berpikir dia mau dinikahi saat itu karena permintaan ibunya yang sudah memberikan restu saat aku datang melamar. Ibunya Senja memang sosok yang baik dan lembut, persis seperti Senja. “Senja, ini benar kamu?” Aku mencengkram kedua sisi pundak wanita yang dulu kutinggalkan. Kedua sudut bibir Senja tertarik ke atas. “Bisa kita mulai sekarang, Pak? Setelah ini saya masih ada tamu.” Bukannya menjawab, Senja mengalihkan pembicaraan. Kenapa dia bicara begitu formal seolah-olah aku ini orang asing. Tidak mungkin dia lupa ingatan ‘kan? Andai saja aku tidak ke tempat ini, mungkin tidak akan bertemu Senja. Aku hanya iseng saja karena pusing dengan pekerjaan. Bahkan bukan aku yang memilih Senja tapi managernya langsung yang memilihkan untukku. “Kenapa kamu jadi begini?” Senja menghela napas namun bibirnya masih melukis senyuman. Senyuman itu yang dulu membuatku terpikat. “Kalau tidak jadi, bisa minta refund uangnya. Saya harus ke ruang sebelah.” Lagi, Senja mengalihkan pembicaraan. Dia seperti tidak mau membicarakan mengenai hal pribadi kami. Sebelum Senja berbalik menuju pintu, Aku lebih dulu mencekal pergelangan tangan wanita itu. “Jawab dulu pertanyaanku, Senja.” “Saya tidak mau membicarakan soal hal pribadi di jam kerja, Pak,” jawabnya dingin. “Oke. Kalau gitu temani aku makan di sini. Mau berapa?” “Boleh. Aku suka kalau dibayar lebih,” katanya dengan tatapan mata yang sulit kuartikan. Senyumnya pun begitu tipis hampir tak terlihat. Banyak sekali yang ingin kutanyakan, tapi daripada dia kabur lebih baik mengulur waktu saja. Dia masih secantik dulu, sekarang bahkan terlihat lebih dewasa. Aku menikahinya saat dia baru saja lulus SMA. Masih ranum dan sangat memikat. “Kamu masih ingat ‘kan makanan kesukaanku?” Sengaja aku menyinggung sambil mengulum bibir. “Bapak mau pesan apa?” Senja meraih buku menu yang ada di meja tanpa menjawab pertanyaanku. “Seperti biasa.” Senja memutar bola mata, dia sepertinya sudah sangat tidak nyaman, tapi aku tidak mau membiarkannya pergi begitu saja. “Saya tidak tahu, jadi sebutkan, Pak.” “Ya udah, terserah kamu saja.” Senja memesan chicken wings dengan level paling pedas dan hot lemon tea. Dia seperti sengaja mau mengerjaiku. Sudah tahu aku tidak suka pedas malah dia pesan makanan paling pedas. Tidak apalah, demi bisa lebih lama bersamanya. Bohong kalau aku tak merindukannya. Bahkan wajah Senja selalu berkelebat di pelupuk mata. Bayangannya seolah selalu menghantuiku, namun kutahan diri untuk tidak menemuinya lagi karena sebentar lagi aku akan menikah. “Duduk.” Kutarik tangannya sampai terhempas di sofa. Beruntung dia tidak berontak. “Bapak mau bayar saya lebih ‘kan?” Keningku berkerut. “Kenapa kamu jadi mata duitan begini, Senja?” “Loh, wajar ‘kan? Saya kerja di sini dan saya suka uang.” Dia seperti bukan Senja yang kukenal lugu dan pemalu. Dulu dia paling anti memakai baju minim ke luar rumah, hanya memakainya di depanku saja itu pun harus kupaksa dulu. Tapi sekarang tubuhnya dibalut dress ketat berwarna merah yang membuat tubuhnya tercetak dengan jelas. Mata keranjang para bajingan pasti sudah menelanjanginya jika sedang menyewa jasa Senja. Apa dia juga menerima layanan kamar? Aku ingin tahu kenapa Senja bisa bekerja di sini. Banyak sekali pertanyaan tapi tidak mungkin kucecar. “Menemani makan di luar bisa juga ‘kan?” “Bisa. 5 juta untuk sejam.” Dia seperti sengaja. Sewa LC saja tidak semahal itu. Tapi kuterima saja. “Makan siang dan malam berarti 10 juta. Selama sebulan full jadi 300 juta ya.” Mata Senja melebar mendengarku bicara. Dia pasti tidak percaya aku memiliki uang sebanyak itu. Senja tahunya aku hanya pekerja kantoran biasa yang gajinya hanya 3.5 juta. Tapi dari dulu dia tidak pernah banyak meminta, bahkan lebih sering aku yang memberikannya. Entah kenapa aku tidak bisa mengabaikan begitu saja keberadaan Senja. “Kenapa melamun?” Senja tersentak saat kutepuk pundaknya. “Ya?” “Tawaranku diterima ‘kan, Senja? Aku kirim sekarang ya, ke rekeningmu ‘kan?” Senja masih tertegun namun hanya untuk beberapa detik sebelum akhirnya buka suara. “Oke. Hanya menemani makan, tidak lebih dari itu?” “Deal.” Aku meraih tangan Senja untuk berjabatan. “Ini nomor rekening saya.” Dia mengarahkan layar ponselnya padaku. Kenapa banknya beda dari yang biasanya? Apa mungkin ini untuk uang hasil kerja ya. Tidak berpikir macam-macam. Saat itu juga aku langsung mengirimkan uang 300 juta. Bicara soal uang, aku selalu mengirimkannya setiap bulan. Apa tidak cukup semua itu? Sengaja aku kirimkan karena merasa kasihan apalagi dia dan keluarganya orang biasa. Setidaknya aku tidak merasa bersalah setelah meninggalkannya. Meski sebenarnya tidak berguna, rasa bersalah tetap ada. “Setiap bulan aku selalu kirim uang untukmu. Kenapa kamu kerja begini? Apa uang dariku nggak cukup?” Aku tidak tahan untuk tidak bertanya padanya. Rasanya terlalu lama kalau menunggu lagi. Aku selalu kirimkan dua puluh juta setiap bulan untuknya. Tanpa absen sekalipun. Bola mata Senja melebar, dia membeku beberapa saat. “Uang apa yang bapak maksud?” Senja menatapku dengan kening berkerut. “Uang yang setiap bulan aku kirimkan untukmu, Senja. Kemana perginya uang itu sampai kamu kerja begini?”Alaska memutuskan sepihak sambungan telepon.“Ibu cuman kaget pas keluar kamar lihat kamu malam-malam di situ,” jawab Sari dengan senyum yang dipaksakan.Perasaannya menjadi tidak karuan setelah mendengar nama yang disebutkan oleh sang menantu.“Maaf, Bu. Aku bikin ibu kaget, tadi aku cuman periksa sekitar soalnya denger suara-suara aneh. Tapi sekarang sudah aman, ibu tenang saja.”“Ya.” Sari berniat untuk membersihkan pecahan gelas di lantai namun Alaska menahannya.“Sudah, Bu. Biar aku yang beresin, Ibu masuk saja lagi. Atau ibu mau ambil minum? Sebentar aku ambil ke dapur.” Lelaki itu gegas ke dapur untuk mengambilkan air.“Terima kasih, Nak.” Sari menerima sebotol air mineral dari menantunya lalu kembali masuk ke dalam kamar dengan pikiran berkecamuk.Alaska juga kembali ke kamarnya.“Mas,” panggil Senja dengan suara lirih. Ketakutan dari sorot matanya tidak bisa sembunyikan.“Nggak apa-apa.” Alaska tersenyum menenangkan, lelaki itu menghampiri sang istri. Mengelus lembut puncak k
“Aku yang salah karena rebut kamu dari dia, Mas.” Senja menunduk dengan air mata menggenang.Alaska menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya yang mulai diliputi amarah. Ia meraih kedua bahu Senja, menatapnya dengan penuh kesungguhan.“Kamu nggak salah, ini memang takdir kita buat bersama. Kamu yang lebih dulu jadi istriku, kamu lebih berhak daripada Mona. Apalagi aku dan dia udah pisah.”Senja masih membisu. Alaska menarik dagu istrinya hingga mendongak dan mata mereka bertemu pandang.“Dengar aku, Sayang. Aku nggak akan biarkan Mona atau siapapun menyakiti kamu, apalagi Biru. Dia anak kita, tanggungjawab kita. Aku nggak akan kabur hanya karena ancaman seperti ini. Kalau mereka berani macam-macam, aku yang akan menghadapi mereka. Kamu percaya sama aku, kan?”Senja tidak langsung menjawab. Air matanya mengalir tanpa henti. Ketakutannya begitu besar hingga logikanya terasa kabur. Namun tatapan tegas Alaska mulai membangkitkan keyakinan yang hampir hilang. Ia mengangguk pelan.“Mas
Alaska dan Biru tidur saling berpelukan di sofa, padahal ada kamar lain di sana tapi mereka malah tidur di sofa.Senja tersenyum melihat ayah dan anak itu, kelihatan sekali Biru itu Alaska versi sachet. Semua milik Alaska turun pada Biru.“Biru pasti ngerti kalau nanti nggak tinggal sama ayahnya lagi,” gumam Senja.Ada perih di hatinya saat mengatakan itu. Keputusan yang diambil Senja berubah-ubah karena kondisi di sekelilingnya pun sekarang sudah tidak terkendali.Kembali bersama Alaska dan membangun keluarga kecil bahagia dikubur dalam-dalam oleh Senja. Ia merasa terbiasa hidup bersama Biru, maka yakin tidak akan ada masalah jika mereka kembali hidup berdua tanpa ada Alaska di tengah-tengah mereka.Sudut mata wanita itu basah, entah berapa kali ia menangis dalam satu hari itu. perasaannya sulit dijabarkan, seperti ada batu besar menghimpit dadanya saat ada di posisi ini.“Sayang, kamu kenapa?”Senja tersentak, buru-buru mengusap matanya yang basah. Ia sampai tidak menyadari kalau Al
“Kepala aku sakit,” keluh Senja, sengaja untuk tidak memperpanjang pembicaraan.“Ya sudah, kamu istirahat ya. Maaf harusnya aku nggak ajak kamu ngobrol dulu.”Senja tidak mau semuanya semakin rumit. Kehadirannya bisa membuat sebuah keluarga hancur, jadi Senja memilih untuk bungkam. Biar ia simpan sendiri kejadian yang hampir merenggut kehormatannya. Ia bersyukur Danes tidak sampai menidurinya. Kalau itu terjadi, Senja tidak akan bisa memaafkan lelaki itu.Senja bahkan tidak tahu kalau Danes seperti itu orangnya.Ibu muda itu berbaring namun matanya tidak terpejam, menatap langit-langit kamar rawatnya dengan sorot tak terbaca. Tidak berniat kembali memulai obrolan meski dengan topik yang beda.“Biru di jalan kesini,” ucap Alaska setelah melihat ponselnya.“Ya.” Senja hanya menjawab singkat, ia akan tenang kalau sudah bersama dengan anaknya.Ancaman yang dirasakan saat ini ada dari dua sisi, Danes dan Mona. Tidak masalah kalau ia yang jadi sasaran tapi kalau Biru, Senja tidak akan tingg
Lelaki itu menyambar kemeja yang tadi dilemparnya untuk menutupi bagian tubuh Senja. Tidak peduli dirinya sendiri telanjang dada.Perasaannya campur aduk, rasa bersalah menggelayut di hati. Ia merasa menyesal karena sudah dikuasai amarah sampai tidak bisa berpikir jernih.Beberapa orang yang ada di sana memandangi penuh tanya karena kondisi Senja terlihat mencurigakan. Salah satu dari mereka ada yang diam-diam merekam.“Itu kok perempuannya kayak yang mau bunuh diri ya?” celetuk wanita bertubuh gempal dengan rasa penasaran tinggi.“Iya, soalnya pergelangan tangannya berdarah.” Temannya menyahuti.“Mungkin mau dilecehkan kali.”Mereka asyik mengobrol sambil menatap mobil Danes yang kini sudah tidak terlihat.Hanya berselang beberapa menit Alaska datang, lelaki itu langsung menghampiri resepsionis dan memperlihatkan foto Senja.“Mbak, apa pernah lihat perempuan ini? Dia istri saya.”Wanita berseragam itu terbelalak. “Mbak ini yang tadi, Pak.”“Lihat dia kemana?”“Sepertinya dibawa ke ru
Alaska mengabaikan pesan itu, ia tahu Mona hanya sengaja untuk memperkeruh suasana. Alaska tidak mau sampai terpancing dan membuat segalanya semakin rumit.“Ayah.” Biru memanggil sambil berlari menghampiri sang ayah yang tampak kalut.Alaska mencoba untuk tetap tersenyum. “Halo, Jagoan.” Ia menunduk untuk mengangkat Biru.“Ayah, jadi jalan-jalan ‘kan? Ayah ndak sibuk ‘kan?” Anak itu terus saja berceloteh.“Biru mau ke mana?”“Jalan-jalan sama ayah sama ibu,” jawabnya dengan mata berbinar.Alaska tak kuasa menolak tapi ia juga harus mencari tahu keberadaan Senja, ia tidak mau sampai wanita itu terluka. Ia tidak bisa bayangkan saat Senja membongkar semuanya pada Danes dan lelaki itu tidak terima.“Kenapa juga dia tiba-tiba pulang,” gumam Alaska.Sebenarnya Alaska sudah curiga kalau semua ini ada hubungannya dengan Mona karena Danes tidak akan mungkin tiba-tiba pulang tanpa ada yang memberitahu sesuatu padanya.“Ayah.” Biru menepuk pipi ayahnya membuat lelaki itu tersadar.“Eh, iya. Kita
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen