Beranda / Romansa / Suami Pengganti Wasiat Papa / Pernikahan Tanpa Mempelai Wanita

Share

Pernikahan Tanpa Mempelai Wanita

Penulis: PutriNaysaa
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-22 13:17:44

“Bapak Bachtiar yakin meminta saya menikahi Emily?” Gallen bertanya dengan kekagetan yang tidak ia tutupi.

Pak Bachtiar mengangguk lemah, menarik nafas panjang. Terlihat jelas kepayahan untuk melanjutkan ucapannya.

“Iya, semoga kamu bisa menerima Emily. Saya percaya kamu bisa menjaganya, jika kamu menyetujui maka saya titipkan Emily sama kamu. Jangan biarkan dia bertemu lagi dengan Batara apa pun alasannya.” Kalimat panjang tersebut akhirnya dapat diselesaikan oleh pak Bachtiar.

Gallen menatap lekat-lekat wajah pucat terbaring di depannya, menarik nafas panjang Gallen mengangguk mantap. 

“Baik Pak, saya bersedia menikahi Emily putri Bapak.” Gallen menjawab dengan tegas setelah menatap lekat pak Bachtiar, tidak ada keraguan dalam jawabannya.

“Terima kasih,” ucap pak Bachtiar parau.

Setelah melewati banyak proses runding dengan keluarga Emily, baik mama maupun sang kakak, akhirnya akad nikah diselenggarakan di ruang ICU atas persetujuan pihak rumah sakit. Tanpa sosok Emily di sampingnya, Gallen mengucapkan ijab qabul dengan lancar penuh ketegasan.

Gallen mendatangkan adik perempuan satu-satunya keluarga yang ia miliki, dengan kekagetan tidak ditutupi tampak jelas dari wajah sang adik. Bahkan pertanyaan apa kakaknya menghamili seorang wanita terluncur begitu saja hingga mendapat jitak keras di kepalanya oleh sang kakak.

Gallen sendiri belum mengunjungi kamar Emily semenjak ijab qobul dilaksanakan. Mereka tentu saja beru menikah secara agama karena sangat mendadak. Gallen berjanji akan secepatnya mengurus berkas miliknya.

“Abang bisa tolong cerita ada apa sebenarnya?” tanya Giana setelah menarik paksa kakaknya dari kumpulan keluarga Eveline.

“Abang akan ceritakan lengkap nanti ya, kamu pulang sama Abang saja menginap di rumah.” Gallen mengusap kepala adiknya dengan senyuman hangat.

Giana hanya bisa mengangguk dengan wajah tampak tidak rela, sedikit banyak ia tahu cerita dibalik Gallen tiba-tiba menggantikan mempelai pria yang tidak datang untuk menikahi mempelai wanita. Sama halnya dengan pernikahan paksa untuk kakakknya.

“Sudah kamu tunggu situ, sebentar lagi kita pulang. Abang mau pamit dulu.” Gallen menunjuk sebuah kursi tunggu pasien pada Giana.

Hal tidak terduga terjadi begitu saja, Gallen menerima panggilan pukul empat sebelum Subuh bahwa pak Bachtiar meninggal dunia. Maka secepat kilat ia langsung menuju rumah sakit di mana ia baru meninggalkannya pukul sebelas malam. Berita meninggalnya pak Bachtiar menggemparkan karena pernikahan yang diwalikan langsung olehnya di dalam ruang ICU adalah satu-satunya pernikahan dalam rumah sakit itu.

Terlihat Emily yang duduk terpekur di samping jenazah sang papa yang siap dibawa ke pemakaman. Gallen adalah laki-laki satu-satunya sekarang dalam keluarga tersebut. Suami Gracia meninggal dua tahun silam dan belum kembali menikah. Maka Gallen yang mengurusi semuanya sebagai satu-satunya laki-laki, tiga wanita di sana terlalu berduka untuk mengurusinya.

“Kamu mau mencium papa kamu untuk yang terakhir kali sebelum di masukan keranda, Emily?” tanya Gallen pelan di samping Emily.

Emily tidak mengeluarkan suara satu patah katapun semenjak di bawa pulang dari rumah sakit. Ia hanya terus dipapah oleh salah satu kerabat karena mama dan kakaknya bahkan bergantian jatuh pingsan. Luar biasa sekali tanggung jawab yang langsung diemban oleh Gallen pada keluarga barunya.

“Pak Gallen kenapa di sini?” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Emily disertai tatap heran mengapa laki-laki yang bukan keluarganya justru paling repot.

“Kamu tidak mau berpamitan pada papa kamu ?” Sekali lagi Gallen menanyakan pada sosok Emily.

Emily bagai tersengat serangan listrik tegangan tinggi setelah perkataan kedua dari Gallen, mata yang sedari rumah sakit kosong kini langsung berubah basah dalam hitungan detik. Pandangannya tertuju pada jenazah sang papa yang terbujur kaku terbalut kain kafan, tangis pecah dengan isak memilukan. Tidak ada yang menyela atau melarang Emily menangis meraung-raung. Ruang tamu luas rumah Emily sunyi seketika, hanya suara isak tangis Emily yang tersengar mewarnai seisi ruangan.

“Emily.” Mama dan Gracia menegur perlahan dengan membelai bahu si bungsu.

Emily yang menunduk memeluk jenazah berkain kafan perlahan melemah tangisnya, mama menariknya setengah paksa agar air mata si bungsu tidak sampai menetes pada almarhum.

“Mari tolong angkat,” pinta Gallen pada laki-laki saudara dari keluarga papa Emily.

Pemakaman berlangsung penuh sesak air mata bagi keluarga besar Emily, musibah bertubi-tubi menerpa keluarga mereka. Bukan lagi masalah ditinggalkan menikah namun juga ditinggalkan oleh keluarga tercinta untuk selamanya adalah hal paling menyakitkan di dunia.

Setelah begitu banyak air mata yang mengantarkan kepergian pak Bachtiar, semua prosesi berjalan lancar dengan begitu banyak bantuan untuk acara tahlilan dan semacamnya. Giana bahkan turut membantu karena merasakan kesedihan mendalam saat teringat bahwa ia dan sang kakak, Gallen juga sudah tidak memiliki orang tua.

“Abang aku pulang ya, ke rumah Abang.” Giana berbisik mendekati Gallen yang masih membantu merapikan sisa acara.

“Tidur sini saja ya, besok subuh Abang antar ke kost kamu sebelum berangkat kuliah. Tadi kak Gracia sudah bilang kamu bisa menginap di kamar tamu.” Gallen menjelaskan dengan menarik tangan Gania untuk duduk di sampingnya.

“Aku tidak enak Abang, tidak mengenal satupun dari mereka,” bisik Giana.

“Giana menginap ya Nak, kami sekarang keluarga kamu juga. Ini sudah malam, oh iya terima kasih banyak sudah membantu kami semua.” Mama Eveline yang berwajah pucat duduk di samping Giana dengan membelai lengan wanita muda adik Gallen yang baru ia ketahui juga.

“Sama-sama Tante, hanya bisa bantu tenaga.” Giana menganggukkan kepala rikuh.

“Tenaga juga kami sangat bersyukur, Tante kamu bicara sama kalian berdua. Terutama pada kamu Gallen.” Mama Eveline menarik nafas panjang.

Gallen dan Giana mengangguk bersamaan.

“Tante pribadi sungguh minta maaf karena papa Emily menyeret kamu dengan semua masalah dalam keluarga kita ini tiba-tiba. Kamu sebenarnya bisa menolak permintaan suami Tante waktu itu Gallen, tapi kamu menerima semua rasa malu keluarga kita dengan menikahi Emily. Kami sangat berterima kasih akan hal itu.” Mama Emily kembali menyusut sudut mata yang kembali basah.

Gallen mengangguk kecil. “Saya menikahi Emily bukan hanya semata untuk menanggung semua rasa malu keluarga Tante dan Emily, tapi saya memenuhi wasiat seorang ayah yang mengharapkan putrinya untuk dilindungi. Memang saya sangat bisa menolak, tapi saya tidak akan melakukan itu di hadapan seseorang yang maaf sedang diambang kematian.”

“Kamu tahu papa Emily sudah akan meninggal, Gallen?” Mama Emily kaget seketika.

“Kejadiannya sama persis dengan almarhum bapak kami Bu, bapak kami juga meninggal karena serangan jantung. Saya bukan mendahului yang maha kuasa, tapi saat saya berbicara dengan pak Bachtiar ... saya melihat beliau sudah sangat kepayahan bicara dan terus kesakitan dadanya. Sekali lagi sama persis kejadiannya seperti ayah saya.”

Mama Emily belum kembali bersuara, tiba-tiba suara derap lari dari atas tangga terdengar. Mama Emily, Gallen, dan Giana menoleh serentak saat jeritan lantang Emily menggema di ruangan tempat ketiganya duduk.

“Mama! kata Kak Grace papa menikahkan aku pada laki-laki itu?” jerit lantang Emily dari dua anak tangga terbawah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Bola Mata Abu-abu  (The End)

    “Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Menunggu Dua Bidadari

    “Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kontraksi Berikutnya

    “Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kehamilan Kedua

    “Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Kencan Calon Adik Ipar

    “Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.

  • Suami Pengganti Wasiat Papa   Pelajaran

    “Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status