“Mas yang namanya Mas Gallen?” tanya Gracia, kakak Emily.
Gallen menghentikan kegiatannya merapikan meja kursi bersama tim lainnya yang sedang membongkar tempat pernikahan gagal Emily dan Batara. “Iya benar, ada yang bisa dibantu Bu Gracia?” Gallen mengenali jika wanita di hadapannya adalah kakak sang mempelai yang menyewa jasa WO miliknya. “Bisa kita bicara sebentar, maaf sebelumnya saya mengganggu kerjanya. Tapi saja mendapat amanah dari papa untuk disampaikan ke Mas Gallen.” Gracia terlihat sangat pucat dan bingung menyampaikannya.“Bisa mari silakan duduk dulu Bu.” Gallen mengangguk memberikan kursi untuk Gracia duduk.Setelah mereka duduk berhadapan, Gallen memberikan kode pada timnya untuk memberi mereka ruang berbicara. Seketika banyak dari timnya mulai menyingkir satu persatu.“Begini Mas Gallen, saya mau tanya apakah Emily sudah melunasi semua pembayaran pada Gayana Organizer? Jika masih ada yang belum lunas maka akan saya lunasi sekarang juga.” Gracia membukanya dengan pertanyaan mengenai pembayaran semua yang berhubungan dengan pernikahan adiknya.Gallen terdiam sesaat, tapi sebagai pebisnis apa pun kondisinya ia akan profesional. Mengangguk kecil Gallen membenarkan pertanyaan Gracia.“Iya masih ada lima persen yang belum dilunasi, awalnya beliau berdua saat deal dengan saya ingin melunasi seratus persen tapi saya pribadi menolak. Karena memang perjanjiannya 75% bayar di awal dan sisanya setelah acara selesai. Beliau berdua menolak juga dan hanya ingin menyisakan lima persen sisa pembayaran. Kira-kira masih sekitar 20 juta kurangnya.” Gallen menjelaskan dengan rinci.“Baiklah boleh minta nomor rekening Mas Gallen atau perusahaannya mau saya bayar lunas.” Gracia mengeluarkan ponselnya untuk melakukan proses sisa pembayaran.“Mohon maaf sebelumnya, boleh saya tahu bagaimana kondisi pak Bachtiar dan nona Emily?” Gallen tidak langsung menyebutkan nomor rekening miliknya.Gracia menghela nafas panjang, tergambar jelas lelah dan kesedihan bercampur aduk dalam dirinya.“Papa masih di ICU, Emily sendiri masih di ruang perawatan. Tidak ada masalah serius sama Emily hanya saja dia sama sekali menolak apa pun makanan dan minuman yang kami berikan. Jadi kondisinya sebenarnya sangat memprihatinkan. Tidak menangis atau meraung-raung, bahkan jika itu dia lakukan akan jauh lebih baik dari pada diam seribu bahasa. Dia terlalu lemah untuk di bawa pulang tanpa asupan makanan.” Gracia menyusut sudut matanya yang tiba-tiba sudah basah.“Bagaimana dengan bapak Batara sendiri apa belum ditemukan juga, mohon maaf saya banyak tanya. Tapi terus terang saja pernikahan mereka ada tanggung jawab besar dari kami juga, saya pribadi akan membantu cari jika diizinkan.” Gallen mengutarakan niatnya membantu mencari mempelai yang tidak datang tersebut.“Om dan beberapa orang keluarga kami sudah langsung ke kediaman Batara, memang kenyataannya Batara tidak pernah sampai ke rumah orang tuanya. Keluarga juga sudah mencari ke mana-mana tapi tidak ketemu. Ibu dan bapaknya bahkan bersumpah mereka sama sekali tidak tahu jika Batara sampai tega sekali melakukan itu. Entah mana yang jujur mana yang bohong, kata om saya mereka bahkan sudah berhias dengan segala macam barang serah-serahan. Saya tidak lagi memikirkan Batara ada di mana, saya dan mama hanya memikirkan Emily dan papa yang semakin lemah kondisinya.” Gracia menerima uluran kotak tisu dari Gallen yang di sambar dari meja seberang yang belum dirapikan.“Lima persennya tidak perlu dilunasi Bu, kami akan mengembalikan dana 45 persen karena acara belum di gelar. Lima puluh persennya adalah DP yang tidak bisa diminta kembali.” Gallen tidak lagi membahas Batara di depan sang kakak mempelai wanita.“Jangan-jangan ... itu hak kalian, selesai atau tidak selesai. Lancar atau berantakannya bukan tanggung jawab kalian, karena kalian sudah bekerja dari jauh-jauh bulan untuk mewujudkan ini semua. Impian kecil Emily .... “Gracia tidak dapat melanjutkan ucapannya karena kembali terisak pelan mengingat bagaimana perjalanan panjang Emily untuk mewujudkan pernikahan impiannya sedari kecil. Pernikahan dengan nuansa gold, putih dan pink bersatu dalam rangkaian indah cantik jelita.“Ya Tuhan Emily,” gumam Gracia parau mengingat sang adik semata wayang.Gallen memberikan waktu Gracia mengendalikan semua emosinya, tanpa menyela sdikitpun. Bukan karena kasihan tapi ia sangat tahu hal berat yang dialami keluarga kliennya kali ini tidak mudah diterima akal sehat.“Maaf saya jadi menangis terus,” lirih Gracia.“Tidak apa-apa Bu,” jawab Gallen.“Kami akan tetap melunasinya, tolong berikan nomor rekening ya Mas Gallen,” pinta Gracia sekali lagi.“Baiklah jika itu kemauan keluarga Ibu, saya kan kirimkan nanti nomornya. Maaf tadi katanya ada yang mau disampaikan dari pak Bachtiar.” Gallen mengulur waktu memberikan nomor rekening perusahaannya.“Oh iya, maaf saya mau tanya apa Mas Gallen sudah berkeluarga?” Gracia bertanya dengan melirik sekilas tangan kanan Gallen di bagian jari manisnya yang kosong.“Belum, saja masih sendiri Bu. Apa hubungannya maaf?” Gallen kembali bertanya belum paham.“Pesan papa jika pertanyaan saya tadi jawabannya adalah single maka bisa Mas menemui papa di ICU sekarang?” pinta Gracia.“Saya masih belum paham,” tutur Gallen.“Saya hanya diminta tanya itu Mas Gallen, dan membawa Mas Gallen ke rumah sakit hari ini.” Gracia berbicara serius pada Gallen dengan menatapnya lekat.Gallen terdiam sejenak, memikirkan segala kemungkinan apa yang akan dibicarakan orang tua kliennya yang sedang dirawat intensif. Maka Gallen menyetujui dan mengikuti Gracia ke rumah sakit, sebelumnya ia memberikan instruksi pada timnya untuk melanjutkan membongkar semua dengan baik tanpa dirinya terlebih dahulu. Panggung megah resepsi yang belum tersentuh harus dibongkar total karena masa sewa di gedung hotel hanya dua hari setelah resepsi.Sesampainya di ruangan ICU, atas izin keluarga Emily dan perawat, Gallen menghampiri pak Bachtiar yang tampak sangat lemah. Gallen menyapa pelan yang dijawab kedipan mata pelan.“Kamu belum berumah tangga?” tanya pak Bachtiar lemah.Gallen mengangguk membenarkan, tidak mengatakan apa-apa terlebih dahulu.“Sudah punya calon pengantin?” pertanya berikutnya dari pak Bachtiar.“Belum Pak Bachtiar, saya belum memiliki calon istri,” jawab Gallen jujur.“Boleh Bapak minta tolong Nak Gallen?” Nafas pak Bachtiar tampak sangat berat.“Boleh Pak, jika saya mampu akan saya tolong. Apa itu Pak kalau boleh tahu?” Gallen menunduk untuk mendengarkan lebih jelas perkataan pelan pak Bachtiar.Pak Bachtiar diam begitu lama menatap sosok Gallen di sampingnya, pemuda yang baru ia kenal enam bulan lalu saat putrinya Emily membawanya dan sang mama ke tempat sebuah perusahaan Gayana Organizer untuk menunjukkan design pernikahannya dengan Batara.Secara pribadi tentu tidak mengenal dengan baik, namun ia tahu jika laki-laki bernama Gallen adalah orang baik menurut pandangannya sebagai sesama laki-laki dan sebagai orang tua.“Kamu bisa menikahi Emily, Gallen?” Pertanyaan tersebut keluar dari laki-laki tidak berdaya dengan banyaknya alat kesehatan di tubuhnya.“Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse
“Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan
“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.
“Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu