***"Ah, sakit!"Danendra meringis ketika kapas yang sudah dibasahi alkohol itu mendarat dengan sempurna pada luka di lututnya yang maru saja selesai dibersihkan. Beruntung hanya lutut kiri saja yang terluka, karena jika keduanya mungkin Danendra akan kesakitan saat berjalan, karena nyatanya luka di lutut biasanya akan lebih sulit sembuh dibanding luka pada bagian tubuh lain."Kekencengan ya? Maaf, aku enggak sengaja."Adara yang menempelkan kapas tersebut seketika langsung mendongak—menatap Danendra yang duduk di sofa dengan tatapan khawatir.Danendra kembali ke apartemen dengan lutut yang berdarah tentu saja membuat Adara khawatir. Mengabaikan roll rambut yang masih menempel di kepalanya, Adara langsung bergegas mencari kotak P3K lalu segera mengobati luka di lutut suaminya itu.Karena secara tak langsung semua yang terjadi pada Danendra gara-gara Adara."Enggak kok cuman emang perih aja kayanya," kata Danendra."Maaf ya," ucap Adara pelan."Untuk?""Untuk yang terjadi pagi ini," uc
***"Kita sampai."Adara mengukir senyum tipis ketika porsche yang dikendarai Danendra berhenti persis di depan lobi kantor. Masih memakai celana pendek juga kaos hitam yang dia pakai kembali setelah sempat dilepas, dengan senang hati Danendra mengantar istrinya ke kantor."Makasih, Dan," kata Adara. Sampai di kantor pukul tujuh pagi tepat, Adara langsung melepas safetybeltnya lalu mengambil tas yang dia simpan di atas dashboard. "Berkat kamu, aku enggak jadi terlambat.""Sama-sama, Ra. Semangat ya kerjanya, jangan sedih terus," kata Danendra. "Iya, Dan," kata Adara. "Aku turun ya.""Iya."Adara membuka pintu bagian kiri mobil. Mengulurkan tangannya, dia mencium punggung tangan Danendra lalu melangkahkan kakinya memasuki lobi perusahaan dan tentu saja sapaan ramah langsung dia dapat dari rekan kerja lainnya."Pagi Bu Dara.""Pagi," sapa Adara ramah. Ruangan kerjanya berada di lantai tiga, Adara melenggangkan kakinya masuk ke dalam lift dan tentu saja di dalam sana—ketika Adara hanya
***[Danendra : Aku tunggu di lobi.]Adara mengukir senyum tipis ketika pesan tersebut muncul di layar ponselnya. Memandang kembali komputer di depannya, dia segera mengakhiri pekerjaan untuk menghampiri Danendra yang siang ini mengajaknya makan bersama.Sebenarnya—setelah depat pagi tadi bersama Ginanjar dan kejadian penamparan yang dilakukan sang Papa, Adara sangat malas pergi ke mana-mana.Dia ingin menyibukkan diri untuk melupakan sakit hatinya pada sang Papa yang tega membuang semua barang-barang Rafly lalu tega menamparnya. Namun, ketika Danendra mengajaknya makan siang,Adara sungkan menolak.Danendra sudah melakukan banyak hal—termasuk mengorbankan hubungannya dengan Felicya. Tak etis sekali jika Adara menolak permintaan suaminya itu yang hanya ingin menghabiskan makan siang bersama."Semoga Danendra enggak sadar sama pipi aku," gumam Adara sambil menyentuh pipinya yang kini terlihat sedikit biru.Selalu seperti itu. Setiap Ginanjar murka, perlakuan kasar pasti selalu dilakuka
***"Makasih buat makan siangnya, Dan. Aku masuk dulu ya.""Aku antar sampai ke ruangan kamu."Selesai makan siang, Danendra tentu saja mengantar kembali Adara ke kantor sekaligus mengambil mobil yang dia parkirkan di sana. Sampai di lobi, alih-alih pergi, Danendra justru menawarkan diri untuk mengantar Adara ke ruangannya karena memang setelah itu ada sesuatu yang harus dia selesaikan."Kenapa?" tanya Adara yang tentu saja heran ketika Danendra tiba-tiba saja ingin mengantarnya ke ruangan. Padahal dia pun dalam keadaan baik-baik saja dan tak perlu kawalan. "Apanya yang kenapa?""Kamu, kenapa pengen antar aku sampai ke ruangan kerja?" tanya Adara. Memandang Danendra yang menatapnya sambil mengukir senyum, Adara tiba-tiba saja mengubah raut wajahnya ketika sebuah kemungkinan tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. "Dan kamu ... ""Kamu apa?""Kamu enggak ada niatan buat nemuin Papa aku, kan?" tanya Adara, karena memang di restoran tadi Danendra terlihat tak suka setelah Adara mengatak
***"Ini rumah sakitnya."Berhenti di parkiran sebuah rumah sakit besar di kota Jakarta, Danendra bergegas turun. Melepas jas hitam yang semula dia pakai karena rasa gerah melanda, Danendra bergegas menuju meja resepsionis untuk menanyakan keberadaan ruangan Felicya karena memang setelah mendengar kabar Felicya kecelakaan dari sang mama, Danendra langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa sempat menanyakan ruangan rawat gadis itu.Informasi yang didapat Danendra dari Teresa juga sangat minim. Hanya tempat kecelakaan, penyebab, hingga yang terjadi.Dan tentu saja rasa bersalah kembali merasuki Danendra karena ternyata Felicya mengalami kecelakaan tadi pagi dan Danendra yakin jika semuanya terjadi tepat setelah Felicya pergi dari apartemennya.Kehilangan fokus dalam berkendara, Felicya hampir menabrak pengendara lain. Namun, dia berhasil membanting setir dan pada akhirnya mobil yang dikendarai Felicya menabrak pohon sampai membuat bagian depan mobil rusak parah."VIP 101
***"Akhirnya selesai tepat waktu."Adara mengukir senyuman setelah dokumen yang sejak tadi dia kerjakan akhirnya selesai. Menyiman file tersebut, Adara langsung mematikan laptop lalu melipatnya kembali.Tak ada kerjaan yang harus dia bawa, hari ini laptop tersebut akan Adara tinggal saja di kantor."Danendra," gumam Adara. "Dia udah datang belum ya?"Memundurkan kursi kerja yang sejak tadi dia duduki, Adara mengambil ponsel yang sejak tadi disimpan di dalam laci dan tentu saja seulas senyum terukir di bibirnya saat dia melihat walpaper lama yang sampai detik ini belum diganti.Masih fotonya dengan Rafly ketika liburan beberapa lalu."Raf, perlahan aku mau belajar mencintai Danendra. Semoga kamu enggak kecewa ya," gumam Adara sambil mengusap layar ponselnya lalu setelah itu dia mencari kontak Danendra karena sampai saat ini tak ada pesan maupun panggilan dari suaminya itu."Enggak diangkat," gumam Adara setelah panggilan pertamanya diabaikan Danendra. Penasaran, Adara kembali menghubu
***"Sudah, habis ini kamu bisa beristirahat dengan tenang. Adara kayanya enggak akan ganggu lagi.""Makasih, Tante."Felicya mengukir senyum tipis pada seorang perempuan paruh baya yang baru saja menolongnya dari Adara yang selalu mengganggu dengan menelepon Danendra.Sejak kedatangannya ke rumah sakit siang tadi, Danendra memang tak kembali ke kantor—lebih tepatnya tak diperbolehkan kembali oleh Teresa yang memintanya untuk menjaga Felicya karena siang tadi Teresa harus menghadiri acara salah satu temannya.Dan sekarang, tepat pukul enam sore Teresa baru datang untuk menggantikan Danendra yang sudah tertidur sejak tiga jam lalu di sofa ruang rawat Felicya, sementara ponselnya ada di atas meja nakas untuk dicharge setelah kehabisan baterai."Sama-sama cantik," kata Teresa. Menoleh ke arah Danendra yang masih terlelap dengan posisi terlentang, perempuan itu menarik kursi lalu duduk di samping ranjang Felicya. "Gimana keadaan kamu, sudah lebih baik?""Lumayan, Tante. Cuman wajah aku ma
***"Dan."Adara yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mengedarkan pandangannya ketika dia tak mendapati Danendra di kamar.Masih memakai bathrobes lengkap dengan handuk yang menggulung rambut di atas kepala, Adara melangkahkan kakinya menjauh dari kamar mandi lalu berjalan menuju meja untuk mengecek ponsel—barangkali ada notifikasi pesan masuk.Namun, tak ada. Lagipula siapa yang akan mengiriminya pesan malam-malam begini, kecuali Rafly. Ah, lagi-lagi Adara kembali merindukan sosok lelaki itu."Ayolah, Dar. Lupain," gumam Adara pelan. Menyimpan kembali ponselnya di atas meja, Adara memfokuskan lagi tujuannya mencari Danendra.Tak ada di kamar, Adara membuka pintu lalu melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Namun, di sana pun Danendra tak ada, hingga suara dari dapur membuat perhatiannya beralih.Mengukir senyum tipis, Adara melangkahkan kakinya menuju dapur dan di sanalah Danendra berada.Berdiri di depan meja makan, Danendra yang sudah seksi dengan celana pendek juga kaos put