🍀 Happy Reading 🍀
Plaakk!
"Nyonya!" teriak Ero kaget saat istrinya ditampar hingga jatuh terduduk di lantai.
"Diam kau gembel tidak berguna!" maki Kasturi meneriaki pria kumuh yang baru saja menikah dengan cucu sulungnya. "Sellandra, kau ini benar-benar j*lang murahan. Aku sudah memperingatkanmu untuk tidak menikahi gembel ini, tapi kenapa kau tidak mau mendengarkan aku? Kehadiran Ibumu saja sudah mencoreng darah ningrat di keluarga Latief, kenapa kau juga ikut-ikutan melakukan hal bodoh seperti Ayahmu hah? Dasar tidak tahu diri. Anak dan Ibu sama-sama tidak ada yang mempunyai rasa malu. Cihh!"
Nadia menangis tertahan. Meskipun sudah berulang kali direndahkan oleh ibu mertuanya, dia tetap saja merasa sakit. Apalagi sekarang dia harus menyaksikan putrinya mendapat perlakuan kasar hanya karena menikah dengan pria yang telah diwasiatkan oleh almarhum ayah mertuanya. Semakin sakitlah hati Nadia.
"Pria itu bukan gembel, Nek. Dia suamiku," sahut Sellandra sembari terisak lirih. "Ero suamiku, sekarang dia adalah bagian dari keluarga ini."
Mata Kasturi mendelik seperti orang kesetanan. Tak terima dengan ucapan cucunya, dia segera mengambil payung yang tersimpan di dekat lemari sepatu. Sudah saatnya Kasturi memberikan pelajaran pada cucunya yang kurang ajar ini. Jika dulu selalu ada suaminya yang membela, maka sekarang Kasturi bebas untuk memberinya hukuman. Tanpa memandang keberadaan Ero, Kasturi langsung mengayunkan gagang payung ke arah punggung Sellandra.
Mata Sellandra terpejam erat ketika sang nenek ingin memukulnya dengan gagang payung. Namun aneh, dia bisa mendengar suara pukulan itu tapi tidak merasakan apapun. Sellandra kemudian membuka mata untuk melihat apa yang terjadi. Dia terbelalak, kaget begitu melihat Ero tengah menghadang pukulan tersebut dengan punggungnya.
"E-Ero, kau....
"Sell, kau tidak apa-apa kan?" sela Ero sambil meringis menahan perih. "Jangan takut, ada aku yang akan melindungimu."
Bukannya berhenti, Kasturi malah semakin menggila saat Ero berani menghadang hukuman yang ingin dia berikan pada cucunya. Dia terus memukuli punggungnya hingga gagang payung tersebut rusak.
"Ero....
"Tidak apa-apa. Jangan di lihat."
"Punggungmu..." lirih Sellandra sambil menangis tatkala melihat darah mengalir membasahi pakaian suaminya. "Darah, punggungmu berdarah."
Ero tersenyum.
"Tidak apa-apa, jangan di lihat."
Nadia jatuh terduduk di lantai. Dia kemudian merangkak ke arah kaki ibu mertuanya untuk memohon. Meskipun Nadia tak terlalu menyukai Ero, dia tetap tidak bisa membiarkan ibu mertuanya terus memukulinya. Ini tidak benar.
"Ibu, tolong berhenti memukuli Ero. Dia tidak bersalah, Bu. Aku mohon berhentilah memukulinya."
"Diam kau menantu sialan!" sentak Kasturi kemudian menendang menantunya hingga jatuh terjerembab ke belakang.
"Ibu!" teriak Sellandra dan Ero berbarengan.
Geram, Ero segera merebut gagang payung yang ingin diayunkan ke arah ibu mertuanya. Dia yang tadinya terlihat lemah tiba-tiba saja mengeluarkan aura yang sangat mengerikan. Sellandra yang melihat ada celah untuk menolong sang ibu segera berlari mendekat lalu membawanya menjauh.
"Nyonya Kasturi, aku tahu kau tidak menyukaiku. Akan tetapi bukan berarti kau akan kubiarkan menyakiti istri dan juga Ibu mertuaku. Kalau kau marah dan ingin memukul, lakukan itu hanya padaku saja. Almarhum Kakek Latief memintaku untuk menjaga Sellandra dan juga Ibu Nadia dari kalian semua, jadi kau jangan coba-coba untuk menyentuh mereka meskipun hanya seujung kuku!" gertak Ero penuh penekanan.
"Berani kau mengancamku, hah!" amuk Kasturi.
"Maaf Nyonya Kasturi, aku tidak bermaksud untuk mengancammu. Namun ini harus aku lakukan untuk melindungi istri dan juga Ibu mertuaku. Kau harusnya malu, sebagai keluarga ningrat tak sepatutnya kau bersikap brutal terhadap cucu dan menantumu sendiri. Apa kata orang lain jika mereka sampai melihat semua ini," sahut Ero kemudian membuang gagang payung ke belakang pintu.
Ucapan Ero rupanya mengena di hati Kasturi. Dia segera menatap tajam kebarah Sellandra dan Nadia yang sedang menangis sambil berpelukan. Setelah itu dia kembali menatap Ero, sedikit kaget saat melihat tatapan mengerikan di mata pria gembel ini.
"K-kau, sekalipun dunia ini kiamat aku tidak akan pernah membiarkanmu tinggal di rumah ini. Kalau kau nekad melakukannya, maka jangan salahkan aku kalau Sellandra dan ibu mertuamu yang akan menerima akibatnya," gertak Kasturi sambil menelan ludah.
Ero diam tak menyahut. Dia hanya menatap dingin ke arah wanita tua berhati iblis ini. Sungguh, ini pertama kalinya Ero melihat wanita sekejam Nyonya Kasturi. Pantas saja Kakek Latief sampai memohon padanya untuk melindungi Sellandra dan ibunya. Rupanya karena hal ini.
"Ibu, abaikan saja mereka. Ayo kita pergi," ajak Ziko yang sejak tadi menonton kejadian itu sambil menikmati teh bersama istri kesayangannya.
"Iya Bu. Tidak ada gunanya juga Ibu berbicara dengan orang rendahan seperti mereka. Buang-buang waktu saja," imbuh Feli ikut menimpali.
Sebelum pergi, Kasturi menatap lekat ke arah Ero. Dia kembali dibuat kaget begitu melihat perubahan emosinya yang terjadi dengan sangat cepat.
"Apa gembel ini bunglon? Kenapa ekpresinya cepat sekali berubah? Tadi dia terlihat sangat mengerikan, tapi kenapa sekarang terlihat lemah? Ah, tidak mungkin. Pasti tadi mataku yang salah lihat. Lagipula gembel sepertinya mana mungkin berani melawanku. Cihh, gembel tetap saja gembel. Menjijikkan!" batin Kasturi.
Setelah nenek beserta paman dan bibinya pergi, Sellandra bergegas menghampiri Ero. Dia menatap ngeri ke arah punggung suaminya yang berdarah-darah. Pakaiannya pun koyak akibat pukulan gagang payung yang dilakukan oleh neneknya tadi.
"Aku bilang jangan di lihat," ucap Ero. "Jangan di lihat, aku tidak apa-apa."
"Tidak apa-apa bagaimana. Kulit punggungmu terkelupas, bahkan bajumu di penuhi darah," sahut Sellandra dengan suara tercekat. "Dasar bodoh. Kau seharusnya tidak melakukan hal itu."
"Lalu apa aku harus diam saja ketika istriku ingin dipukuli?" tanya Ero hati-hati. "Aku tidak keberatan terluka seperti ini asal kalian selamat."
Nadia dan Sellandra tertegun mendengar kata singkat yang diucapkan oleh Ero.
"Aku bilang jangan dilihat Sellandra," ucap Ero lagi sambil memiringkan badan.
"Ini mataku, aku bebas melihat apapun yang aku mau."
Tak tega, Sellandra akhirnya membawa Ero pergi ke ruang tengah. Dia segera berlari mengambil kotak obat, meninggalkan Ero yang kinisedang duduk bersama ibunya.
"Terima kasih sudah menyelamatkan putriku," ucap Nadia lirih.
Ero mengangguk.
"Maafkan aku belum menyapamu, Nyonya."
"Ibu. Kau sekarang menantuku."
"Apa boleh?"
Meskipun enggan Nadia tetap menganggukkan kepala. Ero sepertinya tidak seburuk seperti yang dia bayangkan.
"Terima kasih Ibu," ucap Ero senang kemudian berniat mencium tangan ibu mertuanya.
"Aawwww,"
"Astaga Ero, hati-hati. Kau sedang terluka," kaget Nadia.
Di saat yang bersamaan Sellandra datang membawakan air minum dan juga kotak obat. Nadia segera membantu dengan memberikan minum pada menantunya yang sedang meringis menahan sakit.
"Minumlah,"
"Terima kasih, Bu."
Dengan hati-hati Sellandra menggunting kemeja lusuh yang dipakai oleh Ero. Dia menelan ludah melihat parahnya luka di punggung suaminya. Dengan tangan gemetaran Sellandra membersihkannya noda darah yang memenuhi punggung Ero kemudian menyekanya dengan air hangat.
"Ssshhhh, pelan-pelan," desis Ero kesakitan.
"Maaf, aku akan lebih pelan-pelan lagi," sahut Sellandra sambil menahan tangis.
Tak tega melihat keadaan menantunya, Nadia memilih untuk pergi ke kamar. Dia menangis tertahan saat memilihkan baju ganti milik suaminya untuk dia berikan pada Ero. Entahlah, Nadia tidak bisa membayangkan seperti apa sakitnya luka-luka itu. Hanya melihatnya saja sudah membuat tubuh Nadia merinding hebat. Sungguh, Ero benar-benar menjadi penyelamat baginya dan juga Sellandra. Nadia sangat berhutang budi untuk apa yang sudah dia lakukan hari ini.
"Riandi, apa yang harus aku lakukan terhadap Ero? Dia begitu baik, bahkan rela mengorbankan diri demi melindungi aku dan putri kita. Akan tetapi Sellandra tidak mencintainya, di hatinya sudah ada Davis. Ero dan Davis, pada siapa aku harus berberat hati? Seandainya saja kau masih hidup, aku dan Sellandra pasti tidak akan sesedih ini, " ratap Nadia sebelum pergi keluar menghampiri Sellandra dan Ero di ruang tengah.
🍀 Happy Reading 🍀 "Sell, kau mau pergi kemana?" tanya Nadia seraya memperhatikan penampilan putrinya yang sudah terlihat rapi. Lesu, itu yang terlihat di wajah Sellandra. Jika biasanya dia akan merasa begitu bersemangat setiap kali akan bertemu dengan Davis, kali ini dia tidak merasakan hal itu. Langkahnya terasa berat, tapi dia harus tetap pergi untuk menjelaskan apa yang sudah terjadi dengan hubungan mereka. Awalnya Sellandra enggan untuk menemui kekasihnya itu, tapi setelah melihat Ero yang sedang terlelap di sofa dengan punggung terluka parah membuat Sellandra berubah pikiran. Ya, sekarang dia sudah menjadi seorang istri. Akan sangat tidak pantas jika Sellandra masih memiliki hubungan dengan pria yang bukan suaminya. Meski tak siap, Sellandra harus rela untuk melepaskan Davis, pria yang sudah lima tahun menjalin hubungan dengannya. "Davis sedang menungguku, Bu." Nadia menghela nafas. Dia tahu hal ini sangatlah sulit untuk putrinya. Karenanya dia segera memberi pelukan hanga
🍀 Happy Reading 🍀 Davis diam termenung di dalam mobil. Sungguh, dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar di dalam cafe tadi. Sellandra, gadis yang lima tahun ini menjalin hubungan dengannya tiba-tiba berkata kalau dia sudah menikah. Kenyataan ini terlalu sulit dicerna dengan akal fikiran Davis. Dia hanya pergi selama dua bulan untuk menyelesaikan urusan pekerjaan di negara lain dan konsekuensi yang harus dia terima adalah kehilangan cintanya dalam sekejap. Benarkah ini nyata? "Tidak, aku yakin Sellandra mengatakan itu semua hanya untuk memberiku kejutan saja. Dia dan aku saling mencintai, mana mungkin Sellandra mau menikah dengan pria lain," ucap Davis bermonolog sendiri. "Iya, ini pasti hanya akal-akalannya saja. Sellandra tidak mungkin mengkhianati aku, dia mencintaiku. Ya, begini baru benar. Lebih baik sekarang aku kembali lagi ke dalam, aku harus segera memberi gadis nakal itu sebuah hukuman. Beraninya dia membuat aku hampir mati jantungan," ucap Davis sambil terkekeh luc
🍀 Happy Reading 🍀 "Bu...Ibu, kau dimana?" teriak Kintan dengan penuh semangat. Kasturi yang sedang duduk sambil membaca majalah bisnis menoleh. Keningnya mengerut melihat cucunya berjalan dengan terburu-buru. "Kintan, ada apa? Kenapa kau berteriak seperti itu di dalam rumah?" tegur Kasturi. Langkah Kintan terhenti. "Oh, Nenek. Dimana Ibuku Nek? Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan padanya," "Ibumu sedang di dalam kamar mengurus Ayahmu," jawab Kasturi kemudian kembali membaca majalah. "Memangnya apa yang ingin kau sampaikan padanya?" Kintan segera duduk di sebelah neneknya untuk memberitahukan kabar penting yang baru saja dia terima. "Nenek tahu kan kalau Sellandra itu sudah lama menjalin hubungan dengan Davis?" tanya Kintan sambil mengotak-atik ponselnya. "Si pria miskin itu?" Kintan mengangguk. Tangannya masih asik mencari sesuatu di dalam galeri ponsel. Yang mana hal itu membuat sang nenek menjadi kesal. "Kalau sedang bicara dengan orangtua itu yang sopan, Kintan.
🍀 Happy Reading 🍀 Mungkin untuk ukuran orang dewasa seperti Sellandra akan sangat memalukan jika menyebut kata patah hati. Akan tetapi, keadaan yang sedang dialaminya membuat Sellandra terpaksa harus mengurung diri di dalam kamar untuk menjernihkan pikiran. Hati siapa yang tidak hancur saat harus mengucapkan kata perpisahan tepat ketika akan dilamar oleh pria yang kita cintai. Sebenarnya di sini bukan hanya Davis saja yang terluka, tetapi Sellandra jauh lebih terluka lagi. Pria yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya itu pasti merasa sangat hancur, Davis pasti beranggapan kalau Sellandra telah mengkhianatinya. Namun, semua ini di luar kehendak Sellandra. Perjodohan dan pernikahan ini bukan dia yang menginginkan. "Davis, maafkan aku. Aku tahu ini salah, tetapi aku tidak bisa menolak keinginan Kakek. Aku sama terlukanya sepertimu. Hatiku hancur," Sebutir cairan bening meluncur cepat dari sudut mata Sellandra. Wajahnya yang sayu terlihat semakin menyedihkan saat isakan kecil mulai
🍀 Happy Reading 🍀 Meski hatinya sedang terluka, Sellandra memutuskan untuk tetap pergi ke perusahaan. Tugasnya sebagai direktur keuangan di Group Latief mengharuskan Sellandra untuk selalu bersikap profesional dengan tidak membawa masalah pribadi ke dalam pekerjaannya. Sebelum pergi, tak lupa Sellandra membawa serta bekal sarapan sederhana yang dibuatkan oleh suaminya. Di bibirnya ada senyum, tetapi itu adalah senyum getir dimana dia harus memaksakan hati untuk menerima kehadiran Ero. "Sayang, kau mau ke kantor?" tanya Nadia lembut sembari memperhatikan penampilan putrinya yang sudah rapi dengan setelan formal. Sambil menutup pintu kamar, Sellandra menjawab pertanyaan sang ibu. "Iya Bu. Setumpuk pekerjaan sudah menantiku di sana," "Apa kau baik-baik saja?" Nadia begitu mengkhawatirkan kondisi putrinya sejak semalam. Dia begitu takut kalau-kalau Sellandra nekat melakukan hal buruk tanpa sepengetahuannya. "Jangan khawatir, Bu. Aku pasti bisa melewati semua ini dengan tabah.
🍀 Happy Reading 🍀 Malam menjelang, saat Sellandra tengah melamun di atas ranjangnya tiba-tiba saja kaca jendela kembali diketuk dari luar. Dia menoleh, tapi enggan untuk bergerak. Sellandra tahu kalau itu pasti Ero. Sellandra tidak ingin suaminya tahu kalau saat ini dia tengah meratapi kisah cintanya yang kandas begitu saja. Karena bagaimanapun Sellandra harus tetap menghargai perasaan Ero meski di antara mereka tidak ada rasa apapun. Tok, tok, tok "Sell, aku tahu kau ada di dalam. Tolong buka jendelanya ya. Aku ingin bicara," Ketukan kembali terdengar. Dan kali ini di barengi dengan suara Ero yang terus memintanya untuk membuka jendela. Dengan berat hati Sellandra akhirnya memutuskan untuk menemui Ero. Akan tetapi dia sudah lebih dulu mencuci wajahnya agar tidak terlihat kusam saat bertemu dengan suaminya. Klik Jendela terbuka. Ero terdiam ketika melihat luka memar di pipi istrinya. Berpura-pura untuk tidak tahu, Ero mengacungkan sebuah bungkusan plastik berisi bakpao hangat
🍀 Happy Reading 🍀 Pagi harinya, di kediaman Latief tengah terjadi perdebatan sengit antara Ziko dengan putranya, Bima. Kedua ayah dan anak itu bertengkar hebat karena Bima yang ketahuan ingin melakukan tindak kecurangan pada anak cabang yang sekarang di pimpinnya. "Hentikan kegilaanmu ini, Bima. Kau tahu tidak resiko seperti apa yang akan terjadi pada kita semua jika Nenekmu sampai mengetahui perbuatanmu ini hah!" bentak Ziko sambil memelototkan mata. Bima berdecih. "Ayah tidak usah berlagak sok suci di hadapanku. Apa Ayah pikir aku tidak tahu kalau selama ini Ayah diam-diam menyogok dewan direksi agar mereka mau menunjuk Ayah sebagai Direktur Utama di Group Latief? Kita itu sama Ayah, sama-sama ingin menduduki jabatan yang tinggi di sana. Jadi sebaiknya Ayah jangan memojokkan aku seolah aku ini adalah orang yang bisa menghancurkan segalanya." "Tutup mulutmu, Bima. Beraninya kau bicara seperti itu pada Ayahmu sendiri!" hardik Ziko semakin emosi. "Ya, Ayah akui apa yang kau kata
🍀 Happy Reading 🍀 Sellandra tengah bersiap di dalam kamar ketika kaca jendelanya kembali diketuk. Dia yang tahu siapa pelakunya pun bergegas membukanya. "Selamat pagi tuan putri," sapa Ero melucu. Seulas senyum muncul di bibir Sellandra saat dirinya mendapat sapaan yang cukup menggelitik hati. "Pagi, Ero. Apa tidurmu semalam nyenyak?" tanya Sellandra. "Kau tidak demam kan?" Kening Ero mengerut. "Kenapa kau selalu bertanya apa aku ini demam atau tidak sih? Cobalah tanyakan hal yang lain saja, Sell. Pertanyaanmu itu seolah menganggapku seorang pria lemah yang sakit-sakitan," protes Ero. Sellandra tergelak melihat suaminya merajuk. Entah kenapa raut wajah suaminya bisa terlihat begitu natural saat melakukan protes terhadap pertanyaan yang dia lontarkan. Sungguh sesuatu yang sangat lucu. "Aku bertanya seperti itu karena aku khawatir, Ero. Punggungmu terluka, sementara kita sendiri tidak tinggal bersama. Sebagai seorang istri wajar bukan jika aku bertanya seperti itu pada su