Nur, dia pun terkadang suka bicara asal. Tanpa sadar terkadang menyakiti hati Zea. Apalagi saat Zea memperkenalkan Gio padanya. Namun, temannya itu sangat baik karena dari dirinya Zea suka meminjam uang.
"Maaf, ya. Eh, kamu sudah melamar ke gedung besar itu belum?" tanya Nur mengalihkan pembicaraan. "Baru mau, nanti mau ke sana pas jam makan siang." Zea mengerutkan kening. Dia sudah malas membahas masalah suaminya. Ini dia sibuk dengan beberapa pekerjaan yang harus dia selesaikan sebelum jam makan siang karena dia akan pergi ke gedung depan untuk menaruh lamaran. Zea sudah bertekad untuk mencari pekerjaan tambahan untuk keluar dari rumah. Terkadang ia merasa sulit karena rumah itu adalah rumah kenangan bersama ibunya. "Nanti aku antar pakai motor kalau mau ke gedung depan." Zea pun gegas merapikan beberapa barang untuk display. Beberapa harga dia susun rapi juga beberapa vitamin obat mahal dia geser. Bekerja di sebuah apotek yang berada di mall sungguh menguras tenaga. Selain mengatur barang dia pun harus menjaga agar barang itu tidak hilang. Perusahaan sangat pelit dan seringkali memotong gaji jika banyak barang yang hilang. "Simpan yang benar Zea kalau kamu tidak mau di potong gajinya." Pria yang menggunakan jas putih itu terus melihat ke arah Zea yang sedang membersihkan beberapa barang. Zea hanya mengangguk, dia tak mau banyak bicara dan malas bertegur sapa karena pria itu sangat menyebalkan. "Heh Zea, kamu punya mulut enggak sih. Kalau saya tanya jawab!" Sentak pria itu tak terima saat Zea hanya mengangguk tanpa menjawab. "Loh, Mas Irgi emang bertanya apa? Kan cuma bilang suruh rapikan yang benar. Ya sudah saya mengangguk." "Ya kamu jawab kek, kamu bisu apa?" Hinaan lagi, tidak di rumah tidak di tempat kerja Zea selalu menjadi bahan hinaan. "Wah, cocok kaya judul kalau di buat sinteron. Punya suami cacat mukanya, istrinya gagu. Si codet dan si gagu," ujar Siti terbahak. Siti, rekan kerja yang sering sekali mengadu pada Irgi jika Zea melakukan kesalahan. Siti kerap memberikan Informa palsu tentang apa yang dilakukan Zea hingga Zea sering mendapatkan panggilan. "Astaga Siti, aku salah apa sih sama kamu? Suami aku enggak cacat, dia sehat kok," ujar Zea membalas. "Itu ada tompel gede apa namanya kalau bukan cacat. Sama saja kan malu-maluin. Kasihan deh, pantas di buang sama mantan kamu. Iyalah Farhat lebih memilih Dara yang mulus." Senyum mengejek kembali terukir di bibir Siti. Siti senang membuat Zea menderita, dia teman satu sekolah Dara dulu, mereka tidak lain bukan memang sering bertemu dan sengaja membicarakan Zea. Bahkan, tahu Farhat pun dari Siti. "Sudah, Zea. Jangan dengerin si Siti. Nanti, liat aja dia dapat suami kaya apa. Bisa jadi lebih jelek dari Mas Gio." Zea pun langsung melirik ke arah Nur. Secara tidak langsung temannya itu setuju kalau memang suaminya jelek. "Bukan begitu, Masmu enggak jelek. Cuma enggak ganteng aja." Nur meralat ucapannya sembari tersenyum. *** Di sebuah ruangan besar dengan nuansa warna yang teduh. Pria dengan kemeja biru laut duduk sembari menatap sebuah kotak nasi berisi nasi kecap. Netranya tak berkedip lalu sesekali tangannya ingin menyendok nasi ke mulutnya. Tapi, dia kembali menyimpan sendok itu. "Apa orang miskin itu makannya seperti ini?" Gio, tepatnya Georgio Abraham Atmajaya bergumam sendiri sembari menatap lurus pada kotak nasi itu. Gio teringat saat Zea masuk ke kamar malam tadi dengan membawa telur di tangannya. "Kamu bawa telur buat apa? Kenapa di bawa ke kamar?" tanya Gio. "Kalau di luar malah enggak bisa aku masak buat kamu. Teh sama gula aja diumpetin. Apalagi telur, kalau kata Ibu mahal. Sekilo bisa 32.000," ujar Zea. 32.000, yah bagi Zea istrinya nominal itu sangat mahal. Namun, bagi Gio adalah hal lucu. Gio bahkan akan mengeluarkan uang berpuluh juta setiap hari. Bahkan, makan pun bisa menghabiskan satu juta hanya untuk beberapa orang. Gio tersenyum saat melihat Zea yang begitu polos. Gio tersadar dari lamunannya saat sebuah pesan masuk berbunyi dari ponselnya. "Pak, bagian resepsionis memang sedang membuka lowongan. Hari ini pun sudah ada beberapa yang datang melamar. Tapi, sepertinya kualifikasi lulusan D3." Gio mengernyitkan kening, teringat antusias Zea mengatakan ingin bekerja. Namun, jika kualifikasi seperti ini mana mungkin dia masuk. Gio mengetik sebuah pesan. "Ganti kualifikasi, lulusan SMA dan sudah berpengalaman bekerja." Gio menyenderkan tubuh di sofa dan membayangkan istrinya kini sedang berandai-andai bekerja di gedung ini. "Pak Gior, permisi. Ada meeting di gedung A," ucap Aleta, sekertaris Gio. "Oke." Di kantor, pria itu di panggil dengan sebutan Gior bukan Gio si miskin dan bertompel yang sering di hina keluarga Zea. ***"Maksud kamu apa?" Bu Layla panik dengan ucapan Gior. Kekhawatiran mulai terlihat jelas di wajahnya.Tanpa berkata apa pun lagi, Gior mulai membuka kedoknya. Dia dengan tenang melepaskan tompel yang menempel di pipinya, kemudian membenarkan rambutnya, dan membersihkan wajahnya dari semua penyamaran. Dalam sekejap, sosok yang selama ini dianggap sebagai "si miskin" berubah menjadi pria elegan dengan aura otoritas.Semua yang ada di ruangan itu terdiam, mata mereka terpaku pada Gior. Mereka terkejut melihat perubahan drastis dari pria yang selama ini mereka remehkan."Ti-tidak mungkin si miskin itu adalah Pak Gior," ucap Sella dengan suara gemetar. Gadis itu merasa tubuhnya memanas dan dingin bersamaan, terutama setelah mengetahui bahwa dia baru saja mencoba menghancurkan Zea, istri seorang CEO.Dara, yang berdiri di sampingnya, tampak lebih terkejut. "Ma, ini enggak mungkin, kan?" tanya Dara dengan suara lemah pada Bu Layla, yang juga sama bingungnya.Pak Abdullah dan Farhat, yang sela
Pak Abdullah, dengan wajah penuh ketidakpercayaan, menghampiri Pak Wicaksono. "Pak, tidak salah dengar?" tanyanya, masih terkejut bahwa Pak Mansyur, yang dianggapnya hanya seorang pengusaha kecil, mendapatkan kontrak saham dengan perusahaan besar yang sebelumnya membatalkan kontrak mereka.Pak Wicaksono, dengan tenang, menatap Pak Abdullah. "Tidak, memang benar. Ada apa memangnya?" tanya Pak Wicaksono dengan nada datar, seolah tak terpengaruh oleh kekhawatiran Pak Abdullah.Pak Abdullah tak mau menyerah begitu saja. "Perusahaan Pak Mansyur itu masih kecil, Pak. Kemungkinan besar tidak akan memberikan benefit tinggi. Lebih baik batalkan saja dan bekerja sama dengan perusahaan saya, yang jelas-jelas sudah besar dan mapan," katanya, mencoba meyakinkan Pak Wicaksono sambil meremehkan kualitas perusahaan Pak Mansyur.Saat itu, Gior, yang mendengar percakapan mereka, menghampiri kakeknya. Dengan senyum kecil di bibirnya, ia tertawa pelan, lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "P
Farhat menepis tangan Gior dengan kasar, lalu menepuk-nepuk kemejanya seolah jijik setelah disentuh oleh Gior. "Orang miskin tidak pantas di sini," katanya dengan nada penuh kebencian. "Satpam, usir mereka!" titahnya, seperti merasa dirinya pemilik acara dan berkuasa penuh atas tempat itu.Suasana semakin panas ketika Sella, yang sepertinya sengaja ingin memicu keributan, muncul dengan sebuah rencana liciknya. Dengan sengaja, dia menunjukkan foto-foto yang memfitnah Zea dan Pak Gior sedang bersama, mencoba menciptakan kesan bahwa mereka berselingkuh."Ini dia buktinya!" seru Sella dengan penuh semangat, memamerkan foto-foto itu kepada orang-orang di sekelilingnya. "Wanita ini munafik! Sudah punya suami, tapi malah berselingkuh. Dasar murahan!"Kerumunan mulai bergemuruh, desas-desus dan tatapan merendahkan mengarah kepada Zea. Namun, sebelum tudingan Sella semakin menggila, tiba-tiba Pak Mansyur, ayah Zea, muncul dari kerumunan. Dengan wajah penuh kemarahan, dia berdiri di depan Zea u
Setelah suasana mulai mencair, Pak Wicaksono keluar dari ruangan Gior dengan ekspresi yang sulit ditebak. Di luar, tampak Aleta, salah satu karyawan, berdiri menunggu dengan gelisah. Desas-desus tentang hubungan terlarang antara Zea dan Gior telah beredar dengan cepat, dan Aleta, yang sudah lama mencurigai sesuatu, tak sabar ingin tahu kebenarannya.Begitu Zea keluar dari ruangan, Aleta segera menghampirinya. "Zea, jadi benar kamu dan Pak Gior selingkuh? Ih, gila kamu! Sudah punya suami, masih saja menggoda bos kamu. Dasar murahan!" tuding Aleta dengan nada penuh kebencian.Zea menghentikan langkahnya, lalu menatap Aleta tajam. "Stop mengatakan aku murahan," balas Zea dengan tenang tapi tegas. "Jaga bicara kamu, atau aku akan meminta Pak Gior memecat kamu. Sama seperti aku meminta Pak Gior memutuskan kontrak dengan Pak Abdullah." Sebuah senyum kecil terlihat di bibir Zea, penuh kepastian.Aleta terkejut dengan respons Zea. Dia tak menyangka bahwa Zea, yang biasanya tampak pendiam dan
Pak Wicaksono merasa kecewa bukan karena cucunya, Gior, sudah menikah, melainkan karena Gior tidak terbuka sejak awal. Dengan nada marah tapi tegas, Pak Wicaksono menegur Gior atas kerahasiaannya."Aku hanya takut kakek tidak merestui," ujar Gior, dengan nada rendah.Pak Wicaksono menggeleng pelan, merasa kesal dengan alasan cucunya. "Kamu ini benar-benar membuat onar, Gior. Bereskan kabar miring yang sudah tersebar di luar. Kalau kamu masih ingin mempertahankan pernikahanmu, selesaikan semuanya. Jangan lari dari tanggung jawab."Gior mengangkat dagu dengan tegas, menunjukkan bahwa dia tidak akan membiarkan Zea disalahkan. Pak Wicaksono, kakeknya, menatap Zea dengan tatapan penuh pertanyaan. Dia merasa heran dengan menantunya yang memilih bekerja di perusahaan suaminya, padahal dengan statusnya sebagai istri cucunya yang kaya raya, seharusnya Zea bisa menikmati hidup dengan lebih santai tanpa perlu terlibat dalam urusan bisnis keluarga."Katakan, permainan apa yang sedang kalian maink
Situasi itu tak di sangka membuat Gior dan Zea tertangkap basah. Apalagi ada info yang menyudutkan mereka. Kedatangan sang kakek pun tak lepas membahas masalah itu. Mereka berdua benar-benar tidak menyangka jika ternyata apa yang keduanya lakukan justru kini menjadi bumerang besar. Ia tidak tahu jika Aleta melihat hal tersebut bahkan bukan hanya aletta yang melihat tetapi kakek dari Gio juga melihat apa yang mereka berdua lakukan. Ya sudah benar-benar merasa bingung dirinya tidak bisa memikirkan alasan yang tepat apalagi orang-orang di kantor ini mengetahui jika dirinya sudah menikah dengan lelaki bertompel. Semua orang tidak mengetahui jika lelaki bertompel itu adalah Gio. Masa iya dirinya dikira selingkuh dengan suaminya sendiri? "Kalian berdua, saya tunggu di dalam!" titah sang kakek. Zea dan juga Gio hanya saling memandang, keduanya tidak banyak bicara daripada berdebat di hadapan semua orang lebih baik menurut. Gio benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan tiba. Mere