LOGINTekanan dari seorang mertua yang egois membuat menantunya terjerat skandal. Karena selama 5 tahun menikah, Anna tak kunjung hamil. Hal itu membuat suami Anna mengambil jalan pintas yang sangat di luar logika. Jalan pintas seperti apa ya? yuk baca! :)
View More"Gemes banget sih!" Ucap seorang wanita cantik yang sedang menciumi keponakannya.
"Makanya cepet punya anak, biar gak ngunyel-ngunyel anak orang terus! Nikah udah 5 tahun kok gak hamil-hamil, si Siti aja baru nikah 2 bulan langsung isi. Kaka Iparmu juga udah punya dua anak, masa kamu kalah sih, Na!" Celetuk wanita paruh baya yang menatap sinis pada menantunya. Sontak hati Anna berdenyut nyeri mendengar ucapan mertuanya. Setiap kali ia dan suaminya berkunjung ke rumah ini, selalu kata-kata pedas yang terjun bebas dari mulut ibu kandung suaminya. "Kita kan lagi usaha, Bu. Ibu jangan ngomong gitu terus dong, yang ada Anna makin tertekan kalo terus-terusan ibu desak kayak gini. Anak itu kan anugerah dari Allah, bukan kita yang menentukan." Sela Rangga membela Anna, sembari duduk disamping istrinya. "Usaha? Usaha apa? Mau sampe kapan kamu gak punya anak, Ga? Umur kamu itu udah 30 tahun, keburu mati gak punya anak! Siapa nanti yang doain kamu di alam kubur?" Bentak Bu Rahma dengan suara menggelegar. Ia tak terima karena setiap kali membahas masalah momongan, putranya akan pasang badan untuk membela istrinya. Bayi tiga bulan yang digendong Anna seketika menangis kala mendengar suara nyaring neneknya. "Astaghfirullahal'adziim, Bu. Ibu doain Rangga mati? Istighfar, Bu. Bukan kemauan kita belum punya anak, tapi kalo Allah belum ngasih, mau gimana lagi? Selama ini Anna udah menjalani macem-macem program hamil, tapi memang belum dikasih, Bu." Timpal Rangga yang terpancing emosi. "Udah, Mas. Aku nggak apa-apa kok, udah biasa. Kita pulang aja yuk?" Bisik Anna sembari mengusap lengan suaminya lembut. Anna sedikit kewalahan karena Bian menangis ditengah perdebatan sengit antara suami dan mertuanya. Ia mencoba menenangkan Bian dan suaminya secara bersamaan. "Emang dasar istri kamu aja yang mandul! Gak bisa ngasih keturunan! Percuma kalian banyak harta tapi gak punya anak, kalo mati mau dikemanain hartanya? Jadi aset negara? Sia-sia kamu kerja keras selama ini! Punya istri kok gak bisa diandelin, bisanya cuma ke salon mulu ngabisin duit!" Bentak Bu Rahma lagi sembari melemparkan bantal sofa pada Rangga. Setelah itu Bu Rahma pun pergi memasuki kamarnya, sembari membanting pintu dengan cukup keras. Nyaris membuat engsel pintu tersebut terlepas dari tempatnya. "Astaghfirullahal'adziim. Maafin ibu ya, Sayang?" Ucap Rangga lembut sembari menatap istrinya yang sudah berkaca-kaca. Rangga merasa bersalah karena ibunya selalu mendesak sang istri untuk segera hamil. Tak jarang pula ia dan istrinya akan bertengkar setelah sampai di rumah, hanya karena ucapan menyakitkan dari ibu kandungnya. "Gak apa-apa." Lirih Anna kemudian beranjak menggendong Bian yang masih menangis. Ia berjalan menuju dapur dimana ibu dari bayi tersebut berada. "Mbak..., ini Biannya. Anna mau pulang dulu." Ucap Anna dengan lesu. Gegas ibu kandung dari balita yang digendongnya pun menggambil alih anaknya dari Anna. Sontak Bian pun langsung terdiam kala mendapat pelukan hangat dari ibunya. "Yang sabar ya, Na." Ucap Aulia pada istri dari adik iparnya. "Iya." Lirih Anna sembari memaksakan senyuman. Saat Anna dan Rangga hendak berpamitan pada kakak iparnya, tiba-tiba suara Bu Rahma kembali menggelegar bak petir yang menyambar. "AULIAAAA! KAMU PESEN PAKET APA LAGI INI? BUKANNYA BANTU SUAMI CARI DUIT MALAH HAMBUR-HAMBURIN DUIT SUAMI MULU!" Teriak Bu Rahma sembari berjalan ke dapur, menghampiri mereka bertiga. Tubuh Aulia seketika bergetar mendengar teriakan mertuanya, sudah pasti ia akan terkena amukan singa reog lagi. "Paket apa ini? Kamu itu makin hari makin jadi beban anakku aja!" Bentak Bu Rahma meleparkan sebuah paket sebesar kardus mie instan, pada wajah menantu pertamanya, nyaris terkena kepala bayi tiga bulan yang digendongnya. "Ini popok Bian, Bu. Lumayan lagi diskon, makanya beli dua sekalian, biar buat setok, jadi lebih irit." Cicit Aulia memungut paket tersebut. "Astaghfirullah, Bu. Hati-hati dong, kalo kena kepala Bian gimana?" Protes anak bungsunya mengusap kepala keponakannya. "Gak usah kamu belain kakak ipar kamu yang pembawa sial itu! Semenjak nikah sama dia, kakakmu jadi kere tau gak!" Bentak Bu Rahma sembari bertolak pinggang. Belum sempat Rangga menjawab, sang kakak yang baru saja pulang bekerja langsung menghampiri mereka. "Ada apa sih, Bu? Sore-sore gini teriak-teriak? Itu tetangga di depan lagi pada ngumpul loh. Malu, Bu." Keluh Raka dengan wajah lesu. "Ini istrimu belanja mulu! Bukannya bantuin cari duit, malah ngabisin duit mulu! Malu sama Rangga yang tiap bulan bayarin listrik sama beliin sembako buat kita!" Bentak Bu Rahma pada putra sulungnya. Raka hanya bisa menghela napas lemah, ia sudah khatam dengan tabiat ibunya yang selalu pedas bila berbicara. "Itu popok Bian, Bu. Itu Raka yang beli. Kebetulan lagi promo, lumayan bisa menghemat pengeluaran bulan ini." Balas Raka dengan lemah. Bu Rahma hanya bisa menatap sengit pada kedua anak dan kedua menantunya. Ia memiliki ambisi yang kuat pada anak dan menantunya. Ia ingin memiliki anak-anak yang sukses dalam hal ekonomi, dan juga sukses dalam memiliki momongan. Namun kedua anaknya seolah bertolak belakang. Raka si putra sulung, memiliki keterbatasan dalam hal finansial. Penghasilannya yang hanya buruh pabrik biasa, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Namun dibalik keterbatasan Raka, ia sudah dikaruniai dua orang anak laki-laki. Sedangkan Rangga si bungsu, memiliki penghasilan yang sangat besar. Namun hingga saat ini, ia belum memiliki momongan. "Ibu tuh stres tau gak mikirin kalian! Yang satu miskin, yang satunya gak punya-punya anak! Kapan sih kalian bisa bikin ibu bangga?" Ucap Bu Rahma sedikit menurunkan intonasi bicaranya. "Rezeki, anak dan maut, itu udah takdir Allah, Bu. Kita nggak bisa melawannya, yang penting kita tetap berusaha." Ucap Raka mengusap lengan ibunya. Watak kedua anaknya memang penyabar, menurun dari almarhum sang ayah, sangat berbeda dengan ibunya. "Pokoknya ibu gak mau tau, dalam waktu tiga bulan, kalian harus memenuhi kemauan ibu. Kamu Aul, kamu harus punya penghasilan sendiri biar bisa bantu ekonomi suamimu. Dan kamu Anna, kamu harus hamil gimanapun caranya! Kalo dalam waktu tiga bulan gak ada perubahan, kalian berdua ceraikan istri kalian! Titik!" Ancam Bu Rahma menunjuk anak menantunya satu persatu. Bu Rahma yakin bahwa anaknya pasti akan mengikuti perintahnya. "Inget ya, tiga bulan! Ibu gak main-main kali ini, ibu malu punya menantu pada gak becus bikin mertua bangga!" Lanjut Bu Rahma sembari menatap tajam ke arah mereka berempat. Setelah mengatakan hal tersebut, wanita lima puluh lima tahun itu pun memasuki kamarnya sembari membanting pintu dengan cukup keras. . . . To be continue ~Waktu berjalan tanpa suara, menghapus sedikit demi sedikit bekas luka yang dulu terasa mustahil sembuh. Rumah bercat putih gading di pinggir kota itu kini tampak hangat. Di halamannya, suara tawa anak-anak berpadu dengan aroma kopi dan roti pandan yang keluar dari dapur kecil di teras. Papan kayu bertuliskan “Kopi Kybi – Homemade & Family Taste” bergoyang lembut tertiup angin sore. Itulah tempat baru yang dibangun Raka dan Aulia. Sebuah usaha kecil yang menjadi simbol rekonsiliasi — bukan hanya antara suami dan istri, tapi juga antara mereka dan masa lalu. Aulia menata toples-toples berisi kue kering buatan tangannya. Pipi dan tubuhnya kini berisi, matanya lembut, jauh dari pandangan dingin dan kelelahan dulu. Ia tersenyum ketika Raka datang membawa sekeranjang bahan belanjaan dari pasar. “Capek, Mas?” tanyanya sambil membantu menurunkan barang. “Lumayan,” jawab Raka sambil tertawa kecil. “Tapi seneng lihat kamu semangat terus. Kopinya laku keras ya hari ini?” “Alhamdulillah.”
Matahari sore menembus tirai ruang tamu rumah kecil itu, menebar cahaya keemasan yang lembut. Suara tawa anak-anak terdengar dari halaman depan — Iki sedang mengejar adiknya yang baru belajar jalan, sementara Bu Rahma duduk di kursi rotan, menonton sambil tersenyum.Sudah hampir setahun sejak malam kelam itu. Luka di tubuh Aulia sudah lama sembuh, tapi luka di hatinya baru benar-benar reda beberapa bulan terakhir. Kini, ia bisa tertawa lagi, meski kadang masih ada gurat getir di ujung matanya. Namun senyum yang ia miliki sekarang bukan senyum palsu — itu senyum seseorang yang telah berdamai dengan masa lalunya.Raka keluar dari dapur sambil membawa dua gelas jus jambu. Ia duduk di sebelah istrinya. “Capek?” tanyanya lembut.Aulia menggeleng, “Nggak. Aku suka lihat mereka main kayak gitu. Rasanya… damai.”Raka ikut tersenyum. “Aku juga.”Sejenak keduanya terdiam, menikmati pemandangan sederhana yang dulu tak mereka hargai. Dulu rumah ini terasa sempit, pengap oleh amarah dan saling cur
Sisa Luka dan Awal yang Baru.Hari-hari setelah kejadian di hotel itu berjalan pelan, seperti waktu sengaja memperlambat langkahnya agar semua luka punya kesempatan untuk bernapas. Rumah Bu Rahma yang dulu dipenuhi teriakan dan amarah kini lebih sering sunyi. Hanya suara tangis Bian di malam hari, atau tawa kecil Iki saat menonton kartun di ruang tamu, yang memecah kesunyian itu.Aulia masih dalam masa pemulihan. Tubuhnya penuh memar, jiwanya lebih parah lagi. Ia jarang bicara. Setiap kali seseorang menyentuh pundaknya dari belakang, tubuhnya langsung menegang, matanya memejam seolah masih berada di kamar hotel itu. Raka melihat semua itu dengan hati remuk, merasa bersalah, merasa gagal. Tapi kali ini ia tidak menyerah seperti dulu. Ia memilih tetap di sisi Aulia, meski kadang hanya dalam diam.Bu Rahma setiap hari selalu membantu. Ia menyiapkan makanan, mencuci pakaian, menemani cucunya bermain. Kadang ia duduk di ruang tamu bersama Raka, keduanya berbicara pelan agar Aulia yang sed
Hari-hari setelah kepergian Anna berjalan dengan lambat dan dingin. Rumah yang dulu riuh oleh suara Fikri dan tawa kecil Bian kini terasa seperti ruang kosong.Raka duduk di meja makan setiap pagi hanya menatap piringnya tanpa selera. Aulia sibuk mengurus anak-anak, tapi wajahnya selalu tanpa ekspresi.“Mas nggak berangkat kerja?” tanya Aulia satu pagi.Raka mengangguk pelan. “Berangkat, sebentar lagi.”Aulia mendengus. “Kalau masih kepikiran perempuan itu, mending terus terang aja. Aku capek pura-pura nggak lihat.”Raka menatap istrinya lelah. “Aku cuma capek, Bun.”“Capek? Aku juga capek, Mas. Tapi bedanya, aku nggak pernah mikirin orang lain waktu capek,” balas Aulia tajam sebelum masuk kamar dan menutup pintu.Raka memijat pelipisnya. Sejak Anna pergi, hidupnya seperti kehilangan arah. Ia pernah mencoba mengirim pesan — tapi pesannya tak pernah terkirim. Nomornya diblokir. Ia bahkan memberanikan diri datang ke rumah Anna seminggu kemudian, hanya untuk mendapati papan ‘DIJUAL’ sud
Keputusan yang Mengikat LukaTiga hari sudah berlalu sejak kejadian di rumah sakit, tapi bayangan Aulia yang menatapnya dingin di lorong itu masih terus mengganggu pikiran Anna. Tatapan tanpa sapa, tanpa pengakuan, seolah ia hanyalah angin lalu yang tak berarti.Malam itu, setelah menidurkan bayinya, Anna duduk di teras rumah dengan selimut tipis menutupi bahunya. Angin lembut membawa aroma tanah basah. Di meja kecil di sampingnya, secangkir teh sudah dingin. Ia menatapnya kosong, sebelum akhirnya menekan nama Raka di layar ponselnya.Panggilan berdering cukup lama sebelum suara itu muncul di seberang sana.“Halo, Na?” suara Raka terdengar pelan, lelah.Anna menelan ludah. “Mas Raka, aku mau tanya sesuatu… soal Mbak Aul.”Raka terdiam sejenak. “Kenapa?”“Aku ketemu dia di rumah sakit, waktu aku mau pulang. Dia sama laki-laki. Aku coba sapa, tapi dia malah marah dan buang muka.” Nada suara Anna bergetar. “Aku jadi makin ngerasa bersalah, Mas. Waktu lihat Mbak Aul kayak gitu, rasanya s
Raka duduk di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak lambat. Sudah hampir pukul dua belas malam, tapi Aulia belum juga kembali.Anak-anaknya sudah menangis berbarengan sejak tadi, sementara Bu Rahma mondar-mandir di ruang tengah sambil menggendong Bian yang terus rewel mencari ibunya.“Raka… coba telpon lagi, Nak. Mungkin kali ini diangkat,” suara Bu Rahma serak, matanya sembab karena tangis yang tak berhenti sejak pertengkaran anak dan menantunya.Raka mengusap wajahnya kasar. “Udah, Bu. Udah sepuluh kali. Tapi nomornya nggak aktif.”Nada suaranya berat, campuran antara marah dan khawatir. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.Fikri, anak sulungnya tiba-tiba menatap ayahnya dengan mata penuh air.“Itu salah Ayah! Bunda pergi gara-gara Ayah! Kenapa Ayah marahin Bunda? Kenapa Ayah biarin Bunda keluar sendiri!” Teriak Fikri sembari menangis.Ucapan polos itu menghantam dada Raka seperti batu besar. Ia terdiam, tidak bisa membalas.Bu Rahma memeluk Fikri, berusaha menenangkannya. “Jan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments