Home / Urban / Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa / Bab 4 Menikahi Kuli Panggul

Share

Bab 4 Menikahi Kuli Panggul

Author: S.Z.Lestari
last update Last Updated: 2024-08-26 14:41:47

“Ayah.”

Akhirnya aku memilih untuk menurut. Aku tidak jadi kabur. Aku menunduk memerhatikan gaun pinjaman milik Ibu yang sedikit kebesaran di tubuhku. Aku menghela napas pelan. Aku seperti orang-orangan sawah dengan gaun merah menyala dan warna lipstick yang juga menyala. 

Aku berjongkok meletakkan tiga cangkir teh manis hangat dan biskuit sebagai pendamping minum teh. 

“Duduk, Ayu.” Ayah memerintah dan itu multak harus dituruti.

“Ya, Ayah.” Kujawab pelan ucapan beliau. Ibuku sudah duduk di samping Ayah. 

Kuletakkan nampan di meja. Masih menunduk aku duduk berseberangan dengan pria yang belum kutahu siapa namanya dan bagaimana rupanya.

“Ayu, angkat kepalamu. Di depanmu itu calon suamimu.” Ibu mulai angkat bicara. Nada bicaranya seperti biasa. Tidak mau dibantah. Dia tidak menjaga wibawanya seperti ketika dia berhadapan dengan Alex.

“Ayu?” Ibu berkata lagi.

Aku bergeming. Aku tidak mau melakukannya. Aku harap Ayah mengerti. Aku harap Ayah menurutiku kali ini.

“Ayu. Angkat kepalamu. Sigit mau melihat wajahmu. Besok kamu akan menikah.” Ibu berkata lagi.

Aku terhenyak. Besok? Aku besok menikah? tidak adakah diskusi denganku dahulu? Semaunya membuatku menikah dengan orang yang tidak kucintai dan sekarang secara sepihak lagi menetapkan tanggal pernikahan untukku? 

“Ayu, kamu nggak dengar omongan Ibumu? Angkat kepalamu.” Ayah kembali berbicara. 

Kukepalkan tanganku erat. Nyatanya aku tidak bisa pergi dari sini. Bisa saja aku kabur melalui pintu belakang tetapi aku tidak bisa. Aku berat dengan rumah ini. Ini adalah rumah milik mendiang Ibu kandungku. 

Aku tidak bisa pergi begitu saja dari rumah ini. Rumah ini memiliki kenangan apalagi kamar yang kutempati. Kamar itu adalah kamar milik Ibu kandungku ketika beliau masih hidup. Ada begitu banyak drama yang terjadi sebelum Ibu kandungku meninggal dunia. 

Oke, aku menurut. Kuangkat kepalaku dan menatap pria yang akan menjadi calon suamiku. 

“Halo, Ayu.” Pria itu menangguk padaku seraya tersenyum. 

Mataku berkedip memerhatikan pria yang duduk di hadapanku. Kursi yang menurut kami cukup muat malah membuat dirinya seolah kesempitan dengan lutut yang menyentuh ujung meja. 

“Ayu, beri salam.” Suara Ibu membuatku berkedip. Aku menoleh pada Ibuku.  “Salam!” Ibu berkata lagi sedikit keras lalu menggeleng berulang kali. 

Aku menurut. Aku berdiri dari dudukku lalu mengulurkan tanganku pada pria yang ada di hadapanku.

“Sigit.” Dia menyalamiku dengan sedikit meremas tanganku. Tangannya kasar khas pekerja keras pada umumnya.

“Ayu.” Aku menjawab enggan dan segera menarik tanganku. 

“Sepakat besok menikah.” Ayah berkata lagi. Dia menatap Sigit.

Sigit mengangguk tanpa bersuara.

Ayah menoleh pada jam di dinding. “Ayah masuk ke dalam dulu. Silakan kalau mau ngobrol.” Kemudian Ayah beranjak diikuti Ibu.

“Tetapi cuma sampe jam delapan saja. Paham?” Ibu menimpali. Matanya menatap Sigit lalu padaku.

Aku hanya diam. Tidak sampai pukul delapan malam pun aku akan mengusir Sigit sebentar lagi. Kuperhatikan jam dinding yang tergantung. Pukul tujuh malam. 

“Besok pagi bisa siap-siap ke KUA?” Sigit membuka percakapan.

“Pagi? Jam berapa?” kupikir akan menikah di rumah dengan mengundang penghulu.

“Jam tujuh pagi.”

“Apa?” aku terkejut. “Pagi banget. Memangnya KUA sudah buka?”

Sigit mengangguk. 

“Yakin banget kamu.” Aku sangsi. Mana ada KUA pagi-pagi sudah buka.

“Saya sudah ke sana tadi sebelum datang ke sini. Orangnya setuju.”

“Ngapain sih pagi-pagi nikahnya?!” tidak ada yang membuatku memilih. 

“Saya harus kerja.” Sigit menjawab santun. “Lagipula, kamu nggak usah dandan.”

Aku berdecak. “Terserah.” 

***

Aku menguap lebar. Nyatanya aku dibangunkan Ibu pukul empat pagi. Utami dengan wajah tidak suka, mendandaniku tadi. Aku ingat ucapannya tadi ketika merias wajahku. “Aku tuh dimintai tolong Ibu. Kalau bukan Ibu yang nyuruh, mendingan aku tidur.” 

Aku duduk di kamarku, jam di dinding menunjukkan pukul sembilan pagi dan aku masih mengantuk karena kurang tidur. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang ada di genggaman tanganku. Suka tidak suka, aku mesti mengakui kalau riasan tangan Utami bagus. Sebelum berangkat kerja Utami pun menyempatkan diri ikut ke KUA bersama Alex tentunya. Wajah Alex kali ini sumringah melihatku menikah. 

“Saya mau ke pasar dulu, Ayu.”

Suara Sigit membuyarkan lamunanku. Aku meliriknya yang sudah berganti pakaian dengan kaus oblong lusuh dan celana pendek di bawah lutut. Aku dan dia mendapatkan pinjaman pakaian pengantin dari KUA. Kini pakaian pengantin itu dibawa Ibu secara sukarela ke tempat pencucian pakaian dan akan dialamatkan langsung ke KUA setelah selesai dicuci.  

“Ya.” Aku menjawab sekedarnya.

Sigit menoleh padaku di depan pintu. “Ada yang mau dibeli? Sekalian nanti kubelikan.”

Aku menggeleng.

“Serius?” Sigit kembali bertanya.

Aku berdecak. Timbul niatku untuk membuatnya susah. “Kalau begitu belikan aku martabak premium Mas Anto itu. Kamu pasti tahu.”

Sigit mengangguk. “Tahu,” jawabnya yakin. “Mau yang mana?”

Kugaruk daguku yang tidak gatal kemudian aku menghela napas pelan. Tidak sampai hati aku menyusahkannya yang pastinya berpenghasilan sangat kecil. Martabak premium harganya lima puluh ribuan keatas. Tidak ada yang murah. Uang seorang kuli panggul yang kutahu dibawah harga martabak premium. 

“Nggak jadi.” Aku menjawab kemudian. 

Alisnya terangkat. “Kenapa?” dia bertanya heran. “Kamu takut bersamaku nggak bisa makan enak? Iya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 40 Curiga

    “Tetapi aku enggak mau kamu Kembali ke rumah Ibu.” Sigit berkata lagi. “Tunggu di sini. Aku tebus obat dulu.” Kemudian dia mendudukkan aku di kursi tunggu. Dia berjalan ke bagian penebusan obat.Aku memerhatikannya. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi pagi. Melihatnya berpakaian membuatku teringat kalau aku ingin bertanya pakaian yang dia pakai sebelumnya. Aku ingat betul dia tidak membawa pakaian ketika berangkat dari rumah malam kemarin.Aku memang orang miskin akan tetapi aku tahu merek pakaian mahal. Seperti yang dia gunakan sekarang ini. Ada logo di bagian dada kanannya. Walau kecil logonya tetapi jelas sekali itu merek pakaian ternama dunia. Mahal. Harga termurahnya bisa satu juta rupiah. Aku menghembuskan napas. Kugigit bibirku. Bagaimana caranya aku bisa bertanya padanya?‘Apakah dia menginap di rumah Perempuan? Apakah dia bertemu lagi dengan Dinda?’ pikiran itu muncul begitu saja.“Ayo.” Suara Sigit membuatku mendongak. Aku mengangguk pelan lalu berdiri.“Kapan kita ketem

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 39 Mama

    “Ma?”Aku memanggilnya lagi. Namun, Mama hanya tersenyum. Walau begitu, aku tetap senang. Setidaknya Mama tersenyum padaku. Tidak mengapa asal aku bisa bertemu beliau.“Mama.” Aku ingin menangis ketika melihat Mama hanya berdiri seraya masih tersenyum. “Ma, aku kangen.” Aku berkata lagi.Tiba-tiba, Mama sudah mendekapku. Dekapannya begitu erat sekali. Tubuhku berguncang-guncang. Aku merasakan seperti diangkat ke atas. “Ayudisha,” Ucapan itu terdnegar di telingaku tetapi bukan Mama. Itu suara orang lain.“Ayu, buka matamu.” Suara itu terdengar lagi. Dekapan itu mengendur. Pelukan Mama perlahan menghilang.“Ma,” aku berbisik.“Ayudisha?” kini, aku mengenali suara itu. Itu suara Sigit.Perlahan aku membuka mata. Kulihat Sigit menatapku lalu memelukku erat. Suara sirine terdengar begitu dekat sekali. Aku mengedarkan pandangan. Aku berada dalam sebuah mobil. Bersama satu orang lainnya.“Aku takut kamu pergi.” Sigit berbisik lalu merebahkan tubuhku lagi.Aku bernapas perlahan dengan alat ba

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 38 Serangan Panik

    “Sigit?” aku menatapnya dari atas sampai bawah tatkala membuka pintu rumah. Pagi betul dia sampai rumah. Kupandangi lagi dia. Mataku kemudian berkedip. “Sigit?” aku memanggil lagi. Takut penglihatanku salah.Pria di hadapanku mengangguk. Benar, dia Sigit. Aku menunjuknya. “Kamu pakai baju siapa?” aku menatapnya.“Ayu!” teriakan heboh Ibu membuatku terlonjak. “Siapa tamunya?!”Aku tergagap. “Sigit, Bu.” akhirnya aku bisa menjawab juga. Kutarik napasku perlahan. Kembali aku menatapnya. “Kamu pakai baju siapa?”Sigit menunduk. “Oh, ini.” Dia lalu tersenyum. “Nanti aku cerita. Boleh aku masuk?”Aku berdehem pelan lalu menyingkir dari ambang pintu.“Siapa katamu? Sigit?!” suara Ibu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Aku menoleh lalu mengangguk.Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebentar lagi pasti Ibu mencecar Sigit.“Kamu baru pulang?” Ibu bertanya pada Sigit. Tangan berkacak pinggang. “Pukul berapa ini?! apa enggak lihat jam?!”“Saya kerja, Bu.” Sigit menjawab ringan.

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 37 Siapa Itu?

    “Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 36

    "Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 35 Mobil Baru

    “Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status