“Apa kabar?” Alexander menatapku dengan senyum yang masih memesona. Pemikiran itu membuatku memalingkan wajah darinya.
“Baik.” Aku menjawab sekedarnya. Tidak mau aku larut dalam kesedihan tatkala melihatnya. Kami berpacaran selama lima tahun dan berakhir begitu saja hanya karena ketidakcocokan. Kembali aku berkutat dengan pakaian yang belum aku rapikan. Untuk apa Alex datang kemari ketika hari masih terang seperti ini? biasanya dia datang ketika hari sudah mulai gelap. Oh aku hampir lupa. Dia pacarnya Utami. Terdengar suara Utami di dalam kamar berbicara dengan Ibu. Entah apa. aku tidak mau ambil pusing. Tumben pula Utami sudah ada di rumah. Biasanya dia sibuk bekerja dan pulang nanti malam diantar Alex. “Eh Ayu, udah kembali ke dunia nyata?” suara Utami menyapa pendengaranku. “Bengong aja daritadi.” Lalu dia tertawa. Namun, tertawa yang ditahan. Tawanya saja terkesan anggun. Apalah dayaku tertawa saja seperti babi yang mengik. “Emangnya enggak boleh?” aku menimpali tetapi dengan suara pelan. Lagi, Utami tertawa pelan. “Cari pacar sana. Supaya ada kegiatan.” Ternyata dia mendengar gumamanku. “Utami.” Alex berkata dengan nada memeringatkan. Aku menahan diri untuk tidak memutar mata pada ucapan Alex. Aku tidak perlu untuk dibela seperti itu. “Loh aku benar, Sayang. Dia mesti cari pacar.” Utami berdecak. Aku mendongak memerhatikan Utami yang sudah berganti pakaian rapi dengan tas tangan kerlap-kerlip berwarna merah muda, senada dengan warna gaunnya yang selutut. “Kan kalau punya pacar …,” Utami kembali berkata. “Bisa dibawa ke kondangan.” Alisku berkerut mendengar ucapan Utami. Ke pernikahan membawa pacar menjadi tolak ukur? Yang benar saja. “Ayu mau nikah bentar lagi, Nak.” Timpalan suara Ibu membuatku menoleh. “Bu!” aku berseru. “Apa?!” mata Ibu menatapku tajam. Jika tidak ada Alex, sudah pasti suara Ibu menggelegar dengan mata melotot hampir keluar dari tempatnya. Kini Ibu menjaga dirinya agar lebih wibawa di depan Alex. “Wah!” Utami berseru. Dia mengibaskan rambutnya. Seruannya terkesan tidak peduli. “Baguslah. Cepat nikah supaya aku dan Alex nikah juga. Nungguin kamu tuh lama banget. Mau dilangkahi tapi nggak boleh. Repot.” Aku diam. Tidak ingin menimpali. Dialah yang memulai keinginanku untuk tidak menikah. Aku pun sudah memberikan dia keleluasaan untuk menikah dahulu tetapi malah dia menolak dengan alasan yang tidak jelas. “Kapan, Bu?” Alex bertanya penuh minat. “Lamarannya kalau jadi nanti sore. Nikahnya ya secepatnya.” Ibu menjawab dengan yakin. “Bu, aku kan sudah bilang—” “Ayu,” ucap Ibu pelan padaku tetapi matanya menatapku penuh kekesalan. “Yang penting ada yang mau sama kamu. Kapan lagi kamu mau sendirian?” Aku menahan air mataku. “Tapi—” “Nah,” sela Utami. “Ibu benar, Ayu. Sama siapa, Bu?” “Tukang panggul di pasar Tarrim.” Ibu menjawab dengan senyum mengembang. Utami mengembangkan senyumnya dan aku yakin dia menahan tawanya. “Bagus. Sesuai.” Lalu dia berbalik. “Ayo, Alex, kita pergi. Sudah terlambat ini.” “Nak,” panggil Ibu pada Utami. “Nggak mau jdi saksi lamaran Ayu? Nanti kan mau lamaran.” Utami mengibaskan tangannya ke udara. “Nggak. Acara ini lebih penting.” Alex berdiri dari duduknya. Dia mengulurkan tangannya pada Ibu dan mencium tangannya takzim. “Maaf, Bu. Kali ini saya dan Utami nggak bisa jadi saksi,” ucapnya. “Di kantor ada syukuran kenaikan jabatan saya.” “Oh!” Ibu tertawa senang. “Kalau begitu pergilah. Acara Ayu memang nggak begitu penting diikuti sih.” Lalu Ibu mengantarkan Alex dan Utami hingga depan gerbang. Aku menghela napas. Aku mengangkat pakaian yang sudah kulipat dan meletakkannya di atas meja. Biar Ibu yang membawa ke dalam kamarnya saja. Aku akan membawa pakaianku saja. Kemudian aku menguap. Kupikir, tidur sebentar tidaklah buruk. *** “Heh, bangun! Jam berapa ini?” suara Ibu lalu kurasakan tanganku sakit sekali. Ibu mencubit lenganku. Pasti akan lebam nantinya. “Bangun!” “Aw!” aku mengaduh lalu membuka mata. “Apa, Bu?” tanyaku enggan. “Tidur melulu kerjamu!” Ibu meraih tanganku lalu menarikku hingga duduk. Aku meringis lagi merasakan tamparannya di lenganku. “Bangun! Buatin minum sama cemilan!” Aku melihat jam di dinding. Pukul lima sore. “Iya, Bu. Tapi aku mandi dulu.” Aku gerah dan ingin mandi. Di dalam kamarku tidak ada kipas angin karena rusak. Belum aku ambil dari tukang servis di pasar. “Nggak perlu!” Ibu menarikku berdiri. “Bangun! Calon suamimu sudah datang itu.” Mataku melotot seketika. “Apa, Bu?” “Bangun makanya. Ayahmu lagi nentuin tanggal nikahannya kapan.” Ibu tersenyum senang. “Akhirnya ada yang mau sama kamu walau tukang panggul pasar.” “Bu! Aku nggak mau.” Aku mulai membantah. Gila saja aku nikah dengan tukang panggul. Aku Sarjana. Mana bisa aku nikah dengan orang yang tidak berpendidikan begitu. “Nggak bisa dibantah.” Ibu berkata setengah berbisik. Dia menatapku. “Kamu dan Tukang panggul itu nggak ada pilihan.” Lalu dia tertawa pelan kemudian pergi dari kamarku. “Ayu!” Ayah berteriak memanggil. “Kemari. Calon suamimu mau lihat mukamu.” Aku menarik rambutku frustrasi. “Aku kabur saja kalau gitu.”“Dan kamu, Ayudisha!” Ibu menunjukku dengan jarinya yang bercat kuku merah. Nada suaranya tinggi. “Kamu jangan pikir bisa terus-terusan belain dia dan seolah kamu yang paling benar di rumah ini!”Aku tidak menyangka, Ibu akan mengatakan itu padaku. Aku memang benar di rumah ini.“Aku cuma membela suamiku, Bu. Dia baru aja pulang dari pemeriksaan dan—”“Persis!” potong Ibu cepat. Mata itu masih melotot menatapku dan nada suaranya tidak bisa rendah sama sekali. “Baru pulang dari kantor polisi! Kamu enggak malu suaminya dicurigai sebagai penyebab kebakaran?! Nama baik keluarga hancur gara-gara kamu!”Aku mengepalkan tangan. Nafasku naik-turun. Aku hanya berdoa tidak terkena serangan panik saat seperti ini. jika itu terjadi, betapa kasihannya Sigit.“Saya enggak minta Ibu percaya,” kataku akhirnya setelah napasku teratur. “Tapi saya tahu siap
Sigit menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Banyak tanya. Kronologi, posisi, siapa yang terakhir matiin lampu semua ditanya. Aku jawab jujur,” jawabnya lalu memejamkan mata.“Dan?”“Belum ada kesimpulan,” balasnya mengangkat bahu. “Tapi katanya ada saksi lain yang melihat kabel dari kios sebelah meledak duluan.”Aku menghela napas dalam. Ucapannya itu seuatu angin segar bagiku. “Jadi kamu bersih?” tanyaku antusias.“Masih saksi,” ucapnya lalu membuka mata. “Tapi setidaknya mereka mulai buka kemungkinan lain.”Ibu Maharani muncul dari ruang belakang. “Udah pulang?” tanyanya dengan nada setengah sinis.“Iya, Bu.” Sigit lalu duduk tegak.“Selamat ya. Tapi saya belum percaya kamu benar-benar enggak bersalah,” katanya seraya
Mentari belum naik sepenuhnya saat aku membuka jendela kamar. Pikiranku masih tertinggal di malam kemarin. Di sisi ranjang, selimut Sigit belum kusentuh. Aku hanya tidur satu jam lalu terjaga hingga fajar. Sesekali aku menatap layar ponsel seolah bisa mempercepat waktu.“Apakah dia baik-baik aja?” bisikku seraya melirik ponselku yang tidak ada muncul notifikasi sama sekali.Hanya satu yang Sigit kirim tadi malam, memintaku beristirahat. Tapi bagaimana aku bisa tidur saat suamiku sedang diperiksa karena sesuatu yang tidak pernah dia rencanakan?Kupaksakan diriku turun dari tempat tidur. Aku tidak mau dikatakan anak durhaka oleh Ibu Maharani. Aku ke dapur.Aroma kopi dari termos yang tadi malam sempat kubuat sudah hilang. Aku diam sejenak lalu menuang sedikit ke gelas. Tanganku gemetar. Perutku kosong, tapi yang terasa hanya nyeri di ulu hati.“Pagi-pagi udah keluyuran, Ayu?” Suara Utami menyentakku dari ruang te
“Ya enggak usah sok nggak tahu.” Mata Ibu melotot. “Lelaki yang kerjaannya cuma ngangkut barang, enggak jelas asal-usulnya, tiba-tiba muncul dan jadi suamimu. Kamu pikir saya enggak punya pertimbangan?”"Ibu yang paksa dia nikah sama aku," jawabku nyaris berbisik. Tapi aku tahu mereka mendengar.Ibu tiriku ini aneh. Dia yang memaksaku menikah dengan Sigit yang dia bilang ‘setara’ denganku. Malah dia yang menyesal telah menikahkanku dengan Sigit. Aneh jalan pikirannya.“Mungkin kamu memang cocoknya sama orang kayak dia,” Utami menambahkan dengan nada menusuk. “Tapi jangan bawa-bawa kami semua kalau ternyata dia biang masalah. Kamu pikir harga nama baik gampang ditebus?”Aku menggigit bibir bawahku, menahan kata-kata. Tapi tatapanku tetap tidak bergeming. "Kalau kalian mau terus menyalahkan Sigit, silakan. Tapi aku tahu siapa dia. Dia enggak akan sengaja me
Genggaman tangannya pada tanganku mengencang. Aku tahu, Sigit sedang menahan amarahnya. Entah kenapa suamiku hari ini tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah.“Kami akan cari tempat lain,” kataku mulai angkat suara saat Sigit hanya diam. “Kami enggak niat numpang.”Utami menertawakan. “Pakai apa? Gaji kuli?” tanyanya meledek.“Gaji kuli lebih halal daripada uang hasil menekan orang lain,” balasku tajam.Maharani menatapku seperti baru pertama kali melihatku benar-benar bicara.Sigit meraih tanganku. “Ayo, Yu. Enggak usah dengerin.”Kami masuk kembali ke kamar tanpa pedulikan suara Ibu Maharani yang menggelegar memaki kami tanpa ampun.Sigit duduk di tepi ranjang, aku duduk di sampingnya lalu mengelus bahunya lembut. Aku mendadak malu pada Sigit mengenai keluargaku yang tidak
“Polisi? Datang ke sini?” tanya Ibu Maharani dan langsung mematikan kompor. Wajahnya menegang.Utami berhenti mengunyah tempe dan menoleh padaku seolah aku yang menyebabkan semuanya. Aku diam. Napasku tercekat. Aku mengekori keluargaku ke ruang tamu.Dua pria berseragam masuk ke ruang tamu. Salah satunya membawa map tebal."Maaf mengganggu, Bu Maharani. Kami dari kepolisian sektor Tarrim.” Salah satu polisi yang kubaca bernama Dennis berbicara. “Kami ingin menindaklanjuti laporan kebakaran Pasar Kopajung. Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan."Ibu Maharani mencoba tersenyum. "Tentu, silakan duduk."Sigit belum pulang. Rasanya tubuhku mendadak lemas memikirkan nasib suamiku nantinya."Kami mendapat informasi bahwa titik awal api berasal dari kios milik Ibu,” ucap pria yang membawa map. Kubaca namanya Rinto. “Apakah benar saat kejadian ada aktivitas listrik atau a