Share

Bab 5 Surat Perjanjian

Penulis: S.Z.Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-26 14:42:50

“Kamu suka martabak rasa cokelat atau stroberi?” Sigit kembali bertanya padaku. Dia masih berdiri di hadapanku. Satu tangannya mengalungkan tas pinggang di pundaknya. 

Kuperhatikan dia memasukkan ponsel keluaran lama yang hanya bisa untuk menelepon dan menerima SMS saja ke dalam tas pinggangnya. Dompet berwarna cokelat kumal dan sudah lusuh tidak lupa dia masukkan juga. 

“Terserah.” Aku mengangkat bahu. Aku pemakan segala tetapi aku gengsi mengatakan padanya mengenai kesenanganku makan. 

Sigit mengangguk. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu lalu padanya. Alisku terangkat. Mau apa dia?

“Salim.” Sigit berkata pelan.

“Oh.” Aku mulai paham. 

Aku lupa kami sudah menikah. Kuulurkan tanganku menyalami tangannya akan tetapi dia malah mendorong tangannya ke dahiku. Aku berusaha untuk tidak memutar mataku. Aku belum terbiasa ada pria lain di dalam kamarku. 

“Saya berangkat dulu.” Sigit berkata pelan. “Kalau bisa, kamu di rumah aja.”

Aku lagi-lagi berusaha menahan decakanku. Siapa dia yang mengaturku? Oh, aku lupa. Dia suamiku. “Kalau aku pergi …,” aku mulai berkata. “Apa aku mesti lapor kamu juga?”

Sigit mengangguk. “Haruslah,” jawabnya lalu keluar dari kamar.

Aku menunduk, berusaha mendengar derap langkah Sigit yang keluar dari rumah lalu deru motor tuanya yang berjalan menjauh. Aku menguap lagi. Kurebahkan diriku di atas tempat tidur seraya membersihkan wajah dengan tisu basah yang kubeli beberapa hari lalu. Aku orang yang termasuk malas untuk membersihkan wajah menggunakan berbagai macam kosmetik. Keluar rumah pun hanya menggunakan tabir surya. 

 “Ayu!”

Teriakan itu serta merta membuatku duduk tegak. Suara Ibu. “Ya?!” aku jawab sama kencangnya. 

“Keluar dari kamar!” suaranya kembali menggelegar. “Enggak ada ceritanya libur setelah nikah. Kerja!”

Aku menguap lagi. “Iya, Bu!” kembali aku menjawab dengan suara keras agar Ibu tahu bahwa aku mendengar.

Ketika aku keluar dari kamar, Ibu sudah berdiri di depan pintu kamar dengan mata nyalang. “Cepat ke pasar!” tangannya lalu terulur mencubit lenganku.

Aku menahan ringisan. Sakit sekali cubitannya. “Iya, Bu.”

“Enggak ada yang namanya pengantin baru! Kerja! Cari uang! Toko lagi sibuk, kamu malah enak-enakan tidur.”

Kuusap lenganku yang masih sakit. Aku ada alasannya. “Bu, tapi Sigit suruh aku istirahat.”

Ibu berdecak. “Kamu ikut Ibu. Jadi kamu patuh sama Ibu. Paham?” matanya kembali melotot.

Aku mengangguk pelan. “Ya, Bu.”

“Jangan pulang sampai sore!” Ibu berkata lagi kemudian mendorongku untuk segera berjalan.

“Ya, Bu.” Hanya itu yang kukatakan. Aku tidak mungkin membantah. Ibu akan lebih menyiksaku nantinya. 

***

Aku menghela napas panjang lalu duduk di kursi. Toko sembako mulai sedikit sepi setelah pukul 4 sore jadi aku bisa bersantai sejenak seraya memerhatikan sekitar pasar. Mataku bersirobok dengan Sigit yang sedang memanggul beras ukuran 25 Kg diikuti seorang wanita tua di belakangnya. 

Wanita tua tersebut memanggil Sigit lalu menunjuk toko sembako yang sedang kujaga. Aku berdiri dari dudukku. Tanpa perlu kutanya, aku sudah tahu wanita itu akan membeli sesuatu di sini.

“Neng,” panggil wanita tua itu padaku. Wanita tua itu memakai jaket rajut berwarna biru gelap menutupi pakaian kebaya tradisional yang dipakainya. 

“Ya, Bu?” aku tersenyum lebar. Kembali, mataku bersirobok dengan Sigit dan mata kami beradu. Aku mengalihkan pandanganku kembali pada pembeliku ketika Sigit ternyata memerhatikanku. 

“Gula arennya setengah kilo, tepung tapioka 3 bungkus yang ukuran 500 gram, dan santan kemasan dua biji.”’

Aku mengangguk segera. Tidak perlu catatan lagi untuk mengambil dengan cepat permintaan pembeli. 

Kuberikan pesanan tersebut lalu aku tersenyum, “ada lagi, Bu?”

Wanita itu menggeleng lalu memberikan selembar uang seratus ribuan. “Ambil kembaliannya buatmu makan,” ucap wanita tua itu setengah berbisik padaku.

Aku mengangguk. “Terima kasih, Bu,” balasku ikut berbisik pula.

Walau kembaliannya tidak seberapa tetapi itu berarti bagiku yang jarang pegang uang. Aku hanya diberikan makan dan minum saja dan tidak pernah punya uang sendiri. Ibuku beralasan bahwa sudah menjadi tugasku sebagai seorang anak yang mesti berbakti pada orang tua.

Kuperhatikan wanita tua itu yang berjalan menjauh. Sigit kembali mengangkat berasnya. Aku mengangkat alisku ketika melihatnya berjalan mendekat. 

“Ada apa?” tanyaku tanpa minat.

“Kan sudah kubilang, kamu di rumah.” dia berkata pelan.

Aku menghela napas. “Ibu yang suruh.” Hanya itu yang kulontarkan. Aku malas membahas mengenai Ibuku sebenarnya. 

Sigit terdiam beberapa saat. “Tutup jam berapa?”

“Jam 7 malam. Kenapa?”

“Enggak.” Sigit menggeleng pelan. “Saya cuma tanya.”

Aku memutar mataku.

“Kita pulang bersama.” Dia berkata lagi. “Ada yang saya bilang sama kamu.”

Aku hanya mengangguk. Dia memandangku sekali lalu berbalik tanpa berkata lagi.

“Ishh.” Aku berdecak. 

Aku kembali memilih untuk berkutat pada pembukuan toko seraya menunggu jam tutup. Biasanya kalau sudah sore seperti ini pembeli tidak banyak bahkan terbilang tidak ada. Aku menguap lebar. Aku mengantuk. Agar tidak tidur, aku menyetel irama musik yang riang. Aku mulai ikut bernyanyi pelan. 

“Ayudisha?”

Suara itu membuatku mengangkat kepala. “Loh.” Kuperhatikan jam di dinding. Masih pukul setengah lima sore. Hanya 20 menit jaraknya dia sudah datang lagi. “Kenapa?” tanyaku.

“Sudah makan?” dia membawa bungkusan. “Aku bawa kue.”

Sigit membawa kue bakpia dalam ukuran kotak kecil. Merek ‘bakpia Sehati’ terlihat jelas di bungkusnya. Aku tahu tempatnya. “Beli di ujung pasar ini?” tanyaku. Bakpia yang dia bawa termasuk enak dan harganya juga tidak murah. 

“Dikasih.” Sigit menjawab singkat lalu masuk ke dalam toko lalu memberikan kue itu padaku. 

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang disampirkan di bahunya padaku. 

“Apa ini?” tanyaku bingung. Kubolak-balik kertas lipatan itu tanpa berniat membukanya. 

“Surat.”

Alisku naik. “Surat?” aku tidak mengerti. Jaman sudah modern, dia masih saja menulis surat untukku. Aneh. 

“Surat perjanjian kontrak pernikahan.”

“Apa?” aku terkejut mendengar jawaban darinya. “Surat apa? untuk siapa? Aku?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 60 Bara di Dalam Rumah

    “Dan kamu, Ayudisha!” Ibu menunjukku dengan jarinya yang bercat kuku merah. Nada suaranya tinggi. “Kamu jangan pikir bisa terus-terusan belain dia dan seolah kamu yang paling benar di rumah ini!”Aku tidak menyangka, Ibu akan mengatakan itu padaku. Aku memang benar di rumah ini.“Aku cuma membela suamiku, Bu. Dia baru aja pulang dari pemeriksaan dan—”“Persis!” potong Ibu cepat. Mata itu masih melotot menatapku dan nada suaranya tidak bisa rendah sama sekali. “Baru pulang dari kantor polisi! Kamu enggak malu suaminya dicurigai sebagai penyebab kebakaran?! Nama baik keluarga hancur gara-gara kamu!”Aku mengepalkan tangan. Nafasku naik-turun. Aku hanya berdoa tidak terkena serangan panik saat seperti ini. jika itu terjadi, betapa kasihannya Sigit.“Saya enggak minta Ibu percaya,” kataku akhirnya setelah napasku teratur. “Tapi saya tahu siap

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 59 Ganti Rugi

    Sigit menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Banyak tanya. Kronologi, posisi, siapa yang terakhir matiin lampu semua ditanya. Aku jawab jujur,” jawabnya lalu memejamkan mata.“Dan?”“Belum ada kesimpulan,” balasnya mengangkat bahu. “Tapi katanya ada saksi lain yang melihat kabel dari kios sebelah meledak duluan.”Aku menghela napas dalam. Ucapannya itu seuatu angin segar bagiku. “Jadi kamu bersih?” tanyaku antusias.“Masih saksi,” ucapnya lalu membuka mata. “Tapi setidaknya mereka mulai buka kemungkinan lain.”Ibu Maharani muncul dari ruang belakang. “Udah pulang?” tanyanya dengan nada setengah sinis.“Iya, Bu.” Sigit lalu duduk tegak.“Selamat ya. Tapi saya belum percaya kamu benar-benar enggak bersalah,” katanya seraya

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 58 Pulang yang Kutunggu

    Mentari belum naik sepenuhnya saat aku membuka jendela kamar. Pikiranku masih tertinggal di malam kemarin. Di sisi ranjang, selimut Sigit belum kusentuh. Aku hanya tidur satu jam lalu terjaga hingga fajar. Sesekali aku menatap layar ponsel seolah bisa mempercepat waktu.“Apakah dia baik-baik aja?” bisikku seraya melirik ponselku yang tidak ada muncul notifikasi sama sekali.Hanya satu yang Sigit kirim tadi malam, memintaku beristirahat. Tapi bagaimana aku bisa tidur saat suamiku sedang diperiksa karena sesuatu yang tidak pernah dia rencanakan?Kupaksakan diriku turun dari tempat tidur. Aku tidak mau dikatakan anak durhaka oleh Ibu Maharani. Aku ke dapur.Aroma kopi dari termos yang tadi malam sempat kubuat sudah hilang. Aku diam sejenak lalu menuang sedikit ke gelas. Tanganku gemetar. Perutku kosong, tapi yang terasa hanya nyeri di ulu hati.“Pagi-pagi udah keluyuran, Ayu?” Suara Utami menyentakku dari ruang te

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 57 Di Ambang Batas

    “Ya enggak usah sok nggak tahu.” Mata Ibu melotot. “Lelaki yang kerjaannya cuma ngangkut barang, enggak jelas asal-usulnya, tiba-tiba muncul dan jadi suamimu. Kamu pikir saya enggak punya pertimbangan?”"Ibu yang paksa dia nikah sama aku," jawabku nyaris berbisik. Tapi aku tahu mereka mendengar.Ibu tiriku ini aneh. Dia yang memaksaku menikah dengan Sigit yang dia bilang ‘setara’ denganku. Malah dia yang menyesal telah menikahkanku dengan Sigit. Aneh jalan pikirannya.“Mungkin kamu memang cocoknya sama orang kayak dia,” Utami menambahkan dengan nada menusuk. “Tapi jangan bawa-bawa kami semua kalau ternyata dia biang masalah. Kamu pikir harga nama baik gampang ditebus?”Aku menggigit bibir bawahku, menahan kata-kata. Tapi tatapanku tetap tidak bergeming. "Kalau kalian mau terus menyalahkan Sigit, silakan. Tapi aku tahu siapa dia. Dia enggak akan sengaja me

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 56 Menunggu di Ambang

    Genggaman tangannya pada tanganku mengencang. Aku tahu, Sigit sedang menahan amarahnya. Entah kenapa suamiku hari ini tidak banyak bicara seperti yang sudah-sudah.“Kami akan cari tempat lain,” kataku mulai angkat suara saat Sigit hanya diam. “Kami enggak niat numpang.”Utami menertawakan. “Pakai apa? Gaji kuli?” tanyanya meledek.“Gaji kuli lebih halal daripada uang hasil menekan orang lain,” balasku tajam.Maharani menatapku seperti baru pertama kali melihatku benar-benar bicara.Sigit meraih tanganku. “Ayo, Yu. Enggak usah dengerin.”Kami masuk kembali ke kamar tanpa pedulikan suara Ibu Maharani yang menggelegar memaki kami tanpa ampun.Sigit duduk di tepi ranjang, aku duduk di sampingnya lalu mengelus bahunya lembut. Aku mendadak malu pada Sigit mengenai keluargaku yang tidak

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 55 Api yang Belum Padam

    “Polisi? Datang ke sini?” tanya Ibu Maharani dan langsung mematikan kompor. Wajahnya menegang.Utami berhenti mengunyah tempe dan menoleh padaku seolah aku yang menyebabkan semuanya. Aku diam. Napasku tercekat. Aku mengekori keluargaku ke ruang tamu.Dua pria berseragam masuk ke ruang tamu. Salah satunya membawa map tebal."Maaf mengganggu, Bu Maharani. Kami dari kepolisian sektor Tarrim.” Salah satu polisi yang kubaca bernama Dennis berbicara. “Kami ingin menindaklanjuti laporan kebakaran Pasar Kopajung. Ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan."Ibu Maharani mencoba tersenyum. "Tentu, silakan duduk."Sigit belum pulang. Rasanya tubuhku mendadak lemas memikirkan nasib suamiku nantinya."Kami mendapat informasi bahwa titik awal api berasal dari kios milik Ibu,” ucap pria yang membawa map. Kubaca namanya Rinto. “Apakah benar saat kejadian ada aktivitas listrik atau a

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status