Reza pun melepaskan tangannya setelah berada jauh dari pandangan dua orang yang tengah bermesraan di ruang TV itu.
"Maaf, Mbak Nia, saya cuma berpura-pura di depan mereka. Agar Mbak tak lagi diremehkan sama Mbak Anita. Biar dia melihat kalau bukan hanya dia yang bisa diperlakukan baok oleh siaminya, tapi Mbak Nia juga akan mendapatkan perlakuan baik dari saya sebagai suami Mbak," Ucap Reza dengan nada yang begitu sopan. Reza bahkan kembali menyebut Nia dengan sebuatn Mbak. Seperti setiap kali dia bertemu dengan Nia saat Nia mau berangkat kerja. Reza akan tersenyum dengan sopan sambil berkata, “Hati-hati di jalan, Mbak." Dari kata-kata Reza barusan, sepertinya Reza menganggap pernikahan ini betulan. Nia pun segera meluruskan semua ini agar Reza tidak berharap banyak. “Dengar, Reza. Kamu jangan salah paham dulu. Saya menerima pernikahan ini, bukan berarti saya memang menginginkannya. Sorry, kalau aku harus sejujur ini." Ucap Nia. Reza pun terdiam menatap Nia. Dan Nia merasa tidak nyaman ditatap seperti itu. "Sorry, Reza. Aku ..... aku menerima ini karena Ayah mengancam akan menikahkan aku dengan Ardi. Dan itu artinya kalau aku harus berbagi suami dengan Anita. Itu sungguh sangat menjijikan, dibanding harus menerima orang asing menjadi suamiku. Dan aku lebih memilih itu. Kamu ngerti, kan?” tanya Nia memastikan. “Saya mengerti, Mbak. Saya mengerti kalau Mbak Nia tidak mungkin suka sama saya.” Jawab Reza sambil tersenyum miris. "Saya sadar diri siapa saya dibanding dengan Mas Ardi, juga keluarga ini. Saya hanya satpam komplek seperti yang Mbak Anita bilang. " sambung Reza sambil menunduk. Nia pun meresa tidak enak hati kepada Reza yang menyebutkan status pekerjaannya. "Bu-bukan begitu, Reza. Semua ini bukan karena status kamu atau pekerjaan kamu. Sama sekali bukan. Aku belum bisa menerima pernikahan ini karena kita tak saling mengenal. Semua ini begitu mendadak. Kamu sendiri, bagaimana bisa menerima pernikahan ini? sedangkan kamu sama sekali nggak mengenal aku,” tanya Nia yang mulai penasaran, kenapa Reza bisa begitu saja menerima tawaran Ayahnya. Reza mengangkat wajahnya perlahan lalu berkata "Saya dari dulu memang punya niat menikah tanpa pacaran. Jadi, saat ayahnya Mbak Nia mengajukan permintaan itu, saya langsung memutuskan untuk menerimanya." "Tanpa berpikir panjang?" tanya Nia merasa heran. “Bagaimana kalau aku ini bukan perempuan baik? Bagaimana kalau pergaulanku tidak baik?" sambung Nia. "Mungkin ini terdengar klise, tapi .....saya mengikuti kata hati saya. Saya juga sholat istikharah, Mbak. Dan mungkin Mbak Nia adalah jawaban atas doa-doa saya di sepertiga malam, selain juga saya banyak berhutang budi pada Pak Dewangga," jawab Reza sambi; tersenyum tipis. “Ok, apapun alasan kamu menerima pernikahan ini, aku harap kamu bisa mengerti posisiku. Walaupun kita terikat pernikahan, tapi maaf, aku tidak bisa memberikan yang satu itu. Dan aku harap kamu bisa mengerti jika misalnya suatu hari kita sama-sama menemukan orang baru yang cocok dengan kita masing-masing, salah satu dari kita tidak boleh menolak untuk berpisah," pinta Nia kepda Reza. Reza pun tersentak kaget dan menelan salivanya dengan berat. Bibirnya gemetar seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi urung dia ucapkan. "Apa kamu bisa menerima syarat dariku?" tanya Nia Reza diam sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Kamu boleh tidur di kamarku, tapi kita tidak akan tidur seranjang.” Sambung Nia. Reza kembali mendongak, Nia pun melanjutkan ucapannya “Tapi kamu jangan khawatir, ada sofa panjang yang mungkin bisa cukup untuk kamu tidur," Reza kembali menganggguk. Lalu, Nia mengajak Reza untuk masuk ke kamarnya dan menyusun baju yang dia bawa. “Oiya, satu lagi,” ucap Nia sesaat sebelum mereka memasuki kamar. "Kamu sebaiknya jangan lagi memanggilku dengan sebutan mbak. Aku ini bukan kakakmu, kan.” Sambung Nia. Nia kemudian berbalik dan memasuki kamar dan meninggalkan Reza yang masih melongo. "Masuklah. Kamu nggak akan diam di sana selamanya, kan?” ujar Nia dari dalam kamar. Nia mersa sangat janggal kalau seseorang suami memanggil istrinya dengan mbak. "I-iya, Mbak. Eh, Nia," ulang Reza mengoreksi panggilannya pada Nia lalu masuk ke dalam kamar Nia yang sekarang menjadi kamar mereka berdua. "Kamu boleh menyimpan baju kamu di lemari,” ujar Nia yang baru tersadar dalam lamunannya. Kemudian Nia mengambil dua handuk baru, satu untuk Nia dan satu lagi untuk Reza. lalu membuka salah satu pintu lemari dan menyuruhnya untuk menaruh barang-barangnya di sana. Namun, Reza tampak malu-malu. Mungkin karena ini hari pertama dia sekamar dengan wanita. "Aku mandi duluan, ya," pamit Nia pada Reza. Reza pun mengangguk pelan lalu menuju bagian lemari yang tadi ditunjuk oleh Nia untuknya. Setelah Reza merapikan pakiannya ke dalam lemari dia pun duduk di sofa yang berada di kamar Nia. Setelah lama menunggu Reza pun merasa heran kepada Nia yang tak kunjung keluar dari kamar mandi "Apakah emang selama ini kalau wanita mandi?" Reza bertanya dalam hati. Reza pun mulai hawatir sebab Nia tak kunjung keluar dari kamar mandi, dia pun mberanilan diri untuk memanggil Nia dan mengetuk kamar mandi "Mbak, Mbak." “Iya, Reza?” jawab Nia dari dalam, "Mbak baik-baik saja kan ? Gak kenapa-kenapa" tanya Reza dengan khawatir. "Iya saya baik-baik saja, emang kenapa Reza?" Jawab Nia sambil balik bertanya kepada Reza. "Syukurlah kalau Mbak gak kenapa-kenala, soalnya Mbak sudah hampir satu jam gak keluar-keluar dari kamar mandi, takut nya Mbak kenapa-kenapa di dalam." Jawab Reza. "Oh iya maaf" sahut Nia. "Maaf mbak, Apa ada kamar mandi lain yang bisa kupakai? Soal nya aku kebelet pipis Mbak" tanya Reza lagi, yang dari tadi dia tahan, karena tak enak menggagu Nia. "Kamu pakai kamar mandi ini saja. Aku sudah selesai mandinya," jawab Nia sambir bergegas keluar. Reza pun cepat-cepat masuk, dan Nia pun buru-buru pakai baju sebelum Reza keluar dari kamar mandi. Tapi, sesaat kemudian terdengan oleh Nia suara gemericik air yang jatuh dari shower didalam kamar mandi, Tampaknya Reza lanjut membersihkan diri. Nia pun sengaja memilih untuk memakai baju tidur setelan piyama dengan celana panjang. Hanya berjaga-jaga saja pikirnya. Yang namanya laki-laki itu, kan, mudah sekali tergoda jika melihat yang seksi. Nia tidak mau hal itu terjadi saat ini. Nia pun berpikir akan menyerahkan tubuhnya pada lelaki yang memang dia cintai suatu hari nanti. Namun, Nia justru yang dibuat terkesima saat Reza keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Glek. Nia bahkan tidak berkedip saat melihat dia melangkah menuju lemari untuk mengambil baju. “Gila! Tubuhnya sungguh sempurna.” tanpa sadar Nia berucap dengan pelan. "Emmh, Mbak. Eh, Nia, bisa minta tolong berbalik dulu. Aku mau pakai baju dulu, tadi lupa di bawa ke kamar mandi,” ucap Reza sambil gugup. "Eh, i-iya. Sorry, sorry." Nia pun menjawab dengan tak kalah gugupny, lalu gegas berbalik dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Tak lama kemudian mereka pun tidur terpisah dengan sesuai perjanjian yang telah mereka sepakati.Nia masuk ke rumah itu dan melihat-lihat keadaan di dalamnya.Ternyata benar, barang-barang Reza masih lengkap. Bahkan baju-baju milik lelaki itu masih utuh di lemari. Foto saat mereka menikah pun masih ada di atas meja yang dulu sering dipakai Nia untuk bekerja.Nia mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Jaket kanvas warna army yang sering dipakai Reza saat bekerja.Dia memeluk dan menghirup bau keringat yang masih menempel di sana. Wangi tubuh itu seakan membawanya kembali pada saat mereka masih bersama. Kerinduan itu hadir tanpa bisa dicegah."Kamu di mana, Reza? Kenapa membuatku khawatir tanpa kabar?” gumamnya dengan mata terpejam menikmati bau jaket itu.Nia kemudian membawa jaket itu ke atas kasur yang terasa berdebu.Tentu saja, sudah sebulan sejak kepergian Reza dari rumah, sepreinya tak pernah dibersihkan apalagi diganti."Reza, apa kamu tau maksudku selama ini? Aku ingin kamu berjuang lebih keras agar tak ada siapapun yang berani merendahkanmu. Aku tidak mau jika ka
"Rezaaaaaa!" Nia menjerit seperti orang gila."Reza!" Nia menyebut nama itu saat terbangun dari tidurnya.Napasnya tersengal karena mimpi itu seakan nyata. Wajahnya dipenuhi keringat seperti telah berlari maraton sepuluh kilo meter.Tiba-tiba dia merasa khawatir dengan suaminya itu. Padahal baru beberapa hari dia tinggalkan.Dia meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas di rumah dinas yang disediakan perusahaan. Melihat waktu di atas layar, sudah pukul setengah tiga dini hari. Nia mencari kontak Reza dan memilihnya.Tercantum jika lelaki itu terlihat memakai aplikasi whatsapp tiga hari yang lalu. Dia lalu menekan simbol telepon. Dia tak peduli meski sekarang sudah lewat tengah malam, tetapi dia ingin tahu kabar Reza.Namun, panggilan itu rupanya tak tersambung. Hanya tanda memanggil tanpa terlihat jika ponsel di seberang sana berdering."Apa Reza mematikan ponselnya?" gumam Nia. Dia lalu mencoba mengirimkan pesan. satu.[Reza, kamu lagi apa?]Terkirim, tetapi hanya centang Nia menden
Wisnu dan Rini pun tertunduk lesu medengar jawaban sang domter."Dok, apakah kami sudah boleh melihat langsung kondisi putra kami?" kali ini Rini yang bertanya pada dokter. Dia sudah tidak bisa menahan lagi untuk bisa melihat langsung kondisi sang putra."Bolah. Tapi Bapak dan ibu harus bergantian menemuinya." Jawab Dokter.Mereka pun menggangguk. Lalu Wisnu memberi kesempatan pada istrinya untuk masuk lebih dulu ke ruangan ICU di mana Reza dirawat. Sedangkan dia memanggil bawahannya untuk berjaga didepan ruangan itu. Agar tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana. Semua harus atas persetujuannya, demi keselataman sang putra.Lelaki itu takut, jika Doni mengetahui siapa Reza sebenarnya, maka Doni akan melakukan sesuatu yang curang untuk melenyapkan pemuda itu. Hak waris. Itu yang Wisnu khawatirkan. Meskipun dia sudah merencanakan untuk membaginya dengan Adil. Tujuh puluh persen asetnya akan jatuh ke tangan Reza, dua puluh persen ke tangan Dion dan sisanya untuk Doni. Namun, dia ta
"Tapi Pak...""Panggil ambulan sekarang juga cepat, atau kalian akan menanggung akibatnya!" teriak baskara lagi."Sebenarnya ada pa Pak? Kenapa Pak Baskara membantunya?" Tanya Doni yang merasa heran."Diam kamu. Pak Wisnu pasti akan marah besar melihat kondisi Reza seperti ini.""Kenapa? Emang dia siapa? Dia kan cuma sampah yang tak berguna." tanya Doni yang semakin terheran dan tak mengerti dengan ucapan Baskara."Nanti juga kamu akan mengetahuinya. Sekarang kamu bertanggung jawab dan siap-siap menanggung akibatnya. Karna papi kamu pasti akan murka." Papar Baskara yang membuat Doni semakin terheran dan penasaran.Doni pun hanaya diam mematung. Dia masih tak mengerti dengan apa yang disampaikan Baskara."Reza, kamu bisa dengar saya?” tanya Baskara sambil menggoyangkan tubuh Reza saat dia telah masuk keruangan tahanan. Tak ada jawaban. Reza pingsan setelah penganiayaan yang tak beradab oleh Doni dan satu oknum polisi."Reza, bertahan. Tolong bertahanlah," pinta Baskara dengan khawatir
. . .Sementara itu, Reza yang sudah berada di rumah kontrakannya. Dia duduk melamun di pinggiran kasur. Pikirannya melayang pada sang istri yang begitu bersemangat dalam mengejar harta dunia. Teringat dengan kata-katanya yang mengatakan hanya ingin memperbaiki kehidupan mereka."Jika kau bisa diinjak dan dihina, tapi aku tidak bisa!" kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Kini, dia semakin merasakan jika yang diucapkan istrinya itu benar. Menjadi orang miskin hanya jadi bahan cacian dan hinaan. Dia sama sekali tak punya kuasa untuk membantah atau sekadar membela diri.Tapi, sekarang dia berjanji dalam hati. Bahwa ini adalah hinaan yang terakhir dalam hidupnya. Karena setelah semua rencananya selesai, dia akan menunjukan kepada semua orang siapa dirinya. Pikirnya.Reza merebahkan diri ke kasur, membayangkan wajah Nia yang kadang terlihat manis saat tersenyum. Namun, lebih sering terlihat judes dan ketus karena marah dan kecewa.Reza mengerti jika wanita yang dicintainya itu
"Hiiyaa!" Tiba-tiba Dion mempraktekan jurus yang sudah diajarkan Reza padanya.Dug!"Wow." Reza tertawa dengan tubuh terhuyung. "Sudah hebat sekarang, ya?"Dion pun ikut tertawa. Dia kemudian menyerang Reza lagi dengan jurus yang sudah dipelajarinya. Kali ini Reza bisa dengan mudah menghindar karena sudah waspada. Lalu, dia mulai memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangan."Hiyaaa!" Dion kembali menyerang dengan kekuatan penuh. Reza menerima serangan itu dan menunjukan bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya.Sukses. Dion bisa dilumpuhkan dengan beberapa gerakan tanpa menyakitinya."Om Reza memang keren!" Dion mengacungkan jempolnya. Dia kemudian kembali menyerang Reza dengan jurus-jurus yang lain."Hyaaa!" Dion menyarangkan tendangan dengan kekuatan penuh. Kali ini Reza memiringkan tubuhnya untuk menghindar, hingga tendangan Dion hanya mengenai angin.Namun, bukan hanya itu. Kaki anak itu mengenai kursi besi yang biasa dipakai untuk bersantai di pinggir lapangan.Reza tersent