Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
"Ap-apa yang kamu lakukan di sini, Ai? Kenapa kamu bisa ada di sini?!" teriak Ana menggila ketika mendapati saudara tirinya tengah bersama calon suaminya di satu kamar.Ia sangat frustasi dan hampir gila sekarang. Sungguh, ini tak dapat dipercaya begitu saja.Ai yang hanya menggunakan tanktop hitam itu pun segera menutupi tubuhnya. Ia bahkan baru sadar jika sekarang hanya menggunakan benda itu. Ada apa? Bagaimana bisa ini terjadi?Tatkala ia hendak memungut pakaiannya yang baru saja ia lihat, tangannya segera diinjak sengaja oleh Ana. Oh, tentu saja rasanya sangat sakit."Sssh, sakit. Jangan lakukan ini, Ana," pintanya ketika salah satu tangannya masih berusaha menutupi bagian tubuhnya."Gila kamu! Masih bisa merengek kesakitan setelah apa yang kamu lakukan padaku?" balas Ana yang semakin menyakiti tangan Ai. Ia menginjak-injak tangan itu hingga sedikit mengeluarkan darah. Setelah dirasa puas, ia segera menyiram Ian agar segera bangun dari ketidaksadarannya. Entah apa yang terjadi pa
"Ini untukmu, Ian. Sebentar, aku akan menemui Ai dulu. Aku akan memberikan untuknya juga." Ana berucap dengan santai tanpa peduli dengan rasa kacau yang dialami oleh pria itu sekarang."Apa? Apa ini?" tanya Ian yang tengah merapikan kemejanya. Memang sudah kebiasaan baginya untuk menggulung tangan kemejanya."Undangan.""Undangan apa?" tanya Ian yang masih merasa penasaran."Undangan pernikahan. Memangnya undangan apa lagi? Masih mau bertanya pernikahan siapa? Pernikahanmu dengan Ai. Ini adalah sebuah acara yang sangat ditunggu-tunggu karena dua pengkhianat akan segera bersatu.""Apa maksudmu, Ana?"Ian baru menyadarinya sekarang. Ia buru-buru mendekat dan mengecek apa yang dikatakan oleh gadis yang sangat dicintainya itu."Omong kosong macam apa ini? Kamu pikir, pernikahan itu candaan? Bisa-bisanya kamu mencetak namaku dan orang lain di kertas ini tanpa sepengetahuanku?""Ketika kamu berkhianat, apa kamu juga minta izin padaku?"Ian terbengong selama beberapa detik."Bukankah kamu su
Seminggu kemudian, Noah, Arzi, dan Diko akhirnya pulang setelah cukup lama berada di luar kota. Ketiganya segera mencari keberadaan orang-orang tersayang mereka.Arzi tampaknya sangat paham dan tahu jika putrinya tidak sedang baik-baik saja. Untuk kali ini, ia segera menarik gadis itu menjauh dari sana."Ada apa, Sayang? Kamu sedang ada masalah apa, coba jelasin ke ayah sekarang..."Pria itu mengelus puncak kepala Ai yang tengah menghadap ke arahnya. Seketika ia teringat akan pertanyaan Ian satu minggu yang lalu. 'Bagaimana dengan ayahmu?'"Tidak ada, Ayah. Aku hanya sangat rindu pada Ayah. Dua minggu bukan waktu yang singkat loh, Yah."Arzi tersenyum tipis sekarang. Sungguh, ia sangat merasa prihatin akan rasa rindu yang dirasakan oleh Ai sebab mereka tidak pernah berpisah selama itu sebelumnya. Dalam hati kecilnya, yang selalu ia khawatirkan setiap harinya adalah ketika ia meninggal nanti. Entah akan semenderita apa Ai tanpanya.Oleh karena itu, tak jarang ia juga berusaha untuk seg