Sinar Mentari pagi masuk ke sela-sela kamar kami, tembus dari jendela dan menusuk mataku hingga aku pun akhirnya terbangun. Ku lihat Jovan seperti biasa masih terlelap dari tidurnya, seakan silaunya matahari tidak mengganggunya.
“Sayang, mandi dulu gih. Aku mau masak dulu,” kataku membangunkan Jovan yang masih terbaring di kasur.“Eung . . . aku masih ngantuk,” balas Jovan.Seperti biasa, setiap pagi Jovan selalu menolak untuk bangun awal dan bermalas-malasan di kasur. Tidak masalah sebenarnya jika perekonomian kami masih seperti dulu, di mana aku dan Jovan tidak perlu memikirkan uang dan segala macamnya. Namun, sekarang berbeda.Seharusnya Jovan membuang kebiasaan buruknya dan berusaha menjadi kepala keluarga yang baik.“Ah, sudahlah. Mari lupakan soal uang dulu, akan banyak masalah berdatangan jika aku mengungkitnya terus,” gumamku.Aku mendekat ke arah suamiku, aku mengelus rambutnya itu dengan sayang berharap Jovan bangun dan segera“Eh, itu liat deh. Dia guru honorer baru di sini, padahal denger-denger keluarga suaminya itu konglomerat yang bangkrut itu loh! Apa jangan-jangan dia juga ikutan jatuh miskin, ya? Makanya kerja di sini deh,” seru sosok ibu-ibu yang memakai seragam guru juga. “Sutt, nanti orangnya denger gimana?” kata sosok di sebelahnya. Sialan, dipikir aku tidak mendengarnya apa? Benar, aku sudah jatuh miskin, kenapa? Ingin rasanya aku berteriak di depan wajah mereka. Jika tidak terpaksa akan keadaan, mana mungkin aku mau menekuni pekerjaan dengan gaji receh ini? Memilih untuk pura-pura tuli, aku segera melangkah menuju kelas yang akan aku ajar. Aku mengajar anak SMA dengan mata pelajaran Biologi. Kira-kira baru beberapa minggu aku di sini, aku sudah merasa jengah akan tingkah anak muridku yang kelewat bandel. “Anak-anak, segera kumpulkan pekerjaan rumah kalian di meja ibu agar kita bisa langsung mulai pembahasannya,” kataku Ketika sudah memasuki kelas.
“Halo, Marcel. Aku ada di depan apartemen kamu, kamu ada di dalam?” tanyaku lewat telepon. Lekas pulang dari sekolah, aku urungkan niat untuk pulang ke rumah. Marcel memberikan alamat apartemennya kemarin dan letaknya tak jauh dari halte bus tempat aku turun tadi. “Oh, kamu sudah di depan? Wait sayang, 5 menit lagi aku sampai,” katanya. Telepon pun dia matikan sepihak. Aku menghela napas pada tingkah Marcel yang semakin terang-terangan mengatakan ketertarikannya padaku. Aku tidak tahu apakah Marcel benar-benar menyukaiku atau dia memang lelaki yang senang mempermainkan perempuan? Aku menunggu di lobby karena akan canggung rasanya bila aku berdiri di depan pintu apartemen Marcel. Selang 5 menit kemudian Marcel menemukanku dengan senyum sumringahnya. Mungkin dia merasa tak menyangka jika aku benar-benar datang. “Maaf kamu jadi menunggu,” katanya sembari mengulurkan tangan untuk meraih tanganku. Namun, aku tak menghiraukannya.
“Aku nggak ngerti maksud kamu. Apapun itu mari kita akhiri di sini,” kataku sudah merasa pening mendengar begitu banyak hal mengejutkan dari Marcel. “Tidak! Ini tidak adil bagiku, Ayu!” protes Marcel, dia mengikutiku yang hendak pergi, sekali lagi tanganku dijegal olehnya. Mimiknya memelas, mungkin dia berharap sekali saja aku berpihak padanya. Kini berbalik aku menatapnya dengan rasa kasihan, “Maaf, Marcel itu di luar kuasa aku. Pada siapa kamu meminta keadilan pada hal yang sudah kejadian? Jika memang Jovan merebutku darimu, kenapa kamu menyerah begitu saja? Itu artinya, aku tidak sepenting itu bagimu kan?” Marcel terdiam, kepalanya menunduk dalam, bibirnya kelu untuk membalas perkataanku. Tangannya kian pasrah menggengam lenganku. Ada rasa kecewa dalam hatiku karena Marcel secara tak langsung mengakui apa yang aku katakan memang benar adanya. “Hubunganku dengan Jovan kini membaik berkatmu, terima kasih karena tidak mengatakan yang sebenarny
“Sayang! Aku ketrima! Aku ketrima!” teriak Jovan dari kamarnya. Lelaki itu berlari ke arahku dan seketika mengangkatku tinggi-tinggi. Aku yang sedang memasak tentu saja kaget mendapat perlakuan tersebut tiba-tiba. “Ada apa sih Jovan? Turunin aku dulu!” kesalku. Jovan menurunkanku, masih dengan wajahnya yang berseri-seri dia mengulanginya lagi, “Aku diterima Ayu! Aku diterima kerja!” Sontak aku langsung ikut berteriak, “Akh! Selamat sayang!” Kami berpelukan riang gembira merayakan diterimanya Jovan di Perusahaan pertamanya. Aku sangat bahagia, bukan karena Jovan benar-benar serius pada keinginannya tetapi bahagia karena scenario yang sudah aku rangkai semalaman benar-benar kejadian. Jawabanku untuk Marcel sudah pasti menolak untuk menjadi kekasih gelapnya. “Kamu jangan lupa loh, sama perjanjian kita,” katanya mengingatkanku. “Hahaha, iya deh iya! Tapi Jovan, aku bangga banget sama kamu. Suamiku ini keren juga ya?!”
“Duh, siapa sih. Ganggu aja!” kata Jovan kesal. Tidak biasanya tamu datang sore-sore begini. Siapa gerangan yang menganggu gelora panas kami ini? Aku yang sudah bersiap lebih dulu meninggalkan Jovan yang masih menggerutu. Kubuka pintu utama untuk melihat siapa yang datang. “Marcel?” tanyaku binggung. Lelaki itu menyorotku dengan mata tajamnya dari atas sampai bawah. Peluh keringat yang lupa aku seka mengundang perhatian Marcel. “Kamu … abis olahraga kan Yu?” tanya Marcel. Aku menggaruk tengkukku dengan perasaan canggung. Apa yang harus aku jawab? Namun, terlepas dari itu aku tidak berkewajiban untuk menjawab pertanyaan Marcel kan? “Ah … nampaknya abis olahraga yang lain ya?” tanya Marcel lagi ketika matanya menangkap titik merah yang dibuat Jovan pada leher jenjangku. “Sialan! Aku lupa pakai baju yang nutupin semuanya!” batinku. Saking buru-burunya takut tamu itu adalah ibu mertua atau orang penting lain
“Sayang, kamu kok ngelamun mulu dari tadi?” tanya Jovan. Wajahnya memperlihatkan kekhawatiran di sana. Sial, ini karena perkataan Marcel tadi yang terus menghantuiku. “Hm? Nggak kok nggak apa-apa. Tidur yuk?” ajakku. Langit sudah gelap, kepalaku terlanjur pening untuk terjaga. Hari ini terlalu banyak hal aneh yang menimpaku. Bersyukur Jovan tidak mempertanyakan lamunanku lebih lanjut. Lampu dimatikan dan kami pun sama-sama memejamkan mata. Waktu berlalu dengan cepat, Jovan sudah terlelap dari tidurnya sementara aku masih terganggu dan terpaku pada kejadian sore tadi. Tepatnya saat Marcel memintaku untuk menjadi kekasih gelapnya. Sore itu …. “HAH?” reflek aku meninggikan suaraku. Aku membekap mulutku setelahnya, masih shock pada apa yang aku dengar barusan. Ini sudah bukan lagi diagnosa, tapi Marcel benar-benar sudah gila. “Kekasih gelap? Marcel, hentikan omong kosong ini sekarang!” kataku sudah tak sanggup melanjutkan perbincangan kami. “Apa maksudmu Ayu? Ini bukan omong kosong
“Sayang aku seneng banget hari ini.” Aku memeluk Jovan dengan erat, mengulurkan lenganku untuk merengkuh lehernya agar kami semakin dekat. “Hahahha, kenapa nih? Tumben banget kamu manja gini,” balas Jovan. Dia merengkuh pinggangku sama eratnya. Aku merasa begitu puas saat melihat air muka Jessica yang tidak bisa mengeluarkan amarahnya. Kukecup Jovan tepat pada bibir ranumnya. Tidak ada reaksi spesial dari suamiku itu. Tiba-tiba ada keinginan untuk bermain-main dengan Jovan. “Makasih ya, kamu udah belain aku. Aku akan kasih hadiah buat kamu,” kataku dengan senyuman nakal. “Hadiah apa tuh?” tanyanya penasaran. Jovan mengerlingkan matanya, mungkin mencoba menebak-nebak hadiah apa yang akan aku berikan. Namun, aku tidak akan membiarkannya berpikir. Aku tidak ingin menunda waktu, aku melahap bibir tipis Jovan. Melumat benda kenyal itu dengan perlahan tapi pasti. Aku menjulurkan lidahku, mengobrak abrik setiap sudut mulutnya, mengecap rasa yang selalu aku rindukan itu. Dari raut wajahn
“Ayu! Lama banget sih, mana bubur saya!” teriak Ibu mertuaku nyaring.Ini adalah hari pertamaku tinggal di rumah Keluarga Wicaksono. Ditinggal Jovan bekerja, aku tidak menyangka Ibu mertua dan kakak iparku benar-benar menyiksaku segininya.Aku berlari bolak balik dari dapur ke ruang keluarga untuk sekedar meladeni permintaan konyol mereka. “Ini, Mah, buburnya,” ucapku dengan napas tersenggal-senggal.Sementara itu dua orang yang membuatku menderita ini justru bertumpang kaki sembari memakan camilan yang sengaja Jovan beli untuk aku makan di sini. Itu adalah cemilan favoritku. Granola manis rasa blueberry.“Kak, itu kan punya aku.” Aku memberanikan diri untuk menyuarakan hakku.“Halah, terus kenapa kalo punya kamu? Lagian itu kan Jovan yang beli. Pelit banget sih jadi orang? Pantes miskin!” cercanya.Aku mengepalkan tanganku menahan amarah. Dasar orang tidak tahu diri! Merampas hak orang tetapi