Share

Suamiku Lumpuh Di Hari Pernikahan
Suamiku Lumpuh Di Hari Pernikahan
Penulis: Author Tinta Ireng

Bab 1

Praang!

"Mas, kamu kenapa, Mas? Kenapa kopinya kamu buang, Mas?" tanya Fitri pada suaminya yang terlihat tetap diam dan terkesan tak peduli.

“Kamu gila?! Kopi masih panas gini dikasih kepadaku?!” sahut Damar, suaminya.

Fitri tertahan menahan rasa sesak di dadanya. Hatinya sakit seperti diremas, bulir-bulir kristal bening tanpa permisi mengalir dari ujung netranya.

Ia mencoba tersenyum di tengah rasa sakit yang ia rasakan. Ia pun berjalan dan menghampiri suaminya, lalu berjongkok dan menatap tepat di mata sang suami sambil menggenggam erat tangan Damar.

“Sudah kakiku lumpuh, sekarang kamu juga mau buat lidahku mati rasa, iya?!” Damar kembali berteriak.

Fitri menggeleng. "Tidak begitu, Mas. Maaf," ucap Fitri lembut.

Suaminya mengalami kecelakaan di hari pernikahannya. Kecelakaan itu telah merenggut kebebasannya sebagai seorang laki-laki dan sebagai seorang suami, yang mengharuskannya menjalani hari-hari dengan duduk di kursi roda akibat kelumpuhan.

Fitri merasa perubahan suaminya semakin jelas. Sejak hari itu, Fitri menjalani hari-hari tidak ubahnya seperti di neraka. Suaminya jadi lebih sering marah, sensitif, dan tak luput sampai membanting barang.

Seperti sore ini. Bukannya meminta maaf karena telah membanting gelas kopi di depan Fitri, Damar malah menatap Fitri tajam. Tatapannya penuh luka dan tidak ada semangat hidup.

"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang ini! Aku tidak bisa menjadi manusia yang berguna bahkan untuk istriku sendiri! Aku ini manusia cacat!" teriak Damar.

“Aku tahu perasaanmu, Mas, tapi tolong kamu jangan terus berlarut-larut dalam kesedihan dan keterpurukan ini.”

Bukannya menjawab, Damar malah meninggalkan Fitri yang sudah menangis.Berulang kali Fitri menghapus air matanya sambil menyapu pecahan gelas kopi yang berserakan di lantai.

Tubuh lelahnya karena baru pulang kerja dari pabrik bekas suaminya dulu bekerja, tidak sebanding dengan sakit hati akibat ucapan Damar tadi. Fitri harus merelakan uang makannya untuk kebutuhan di rumah, sedangkan ia sendiri harus menahan rasa lapar saat setiap bekerja.

“Aku rindu Mas Damar yang dulu….” gumam Fitri dalam hati.

Setelah semuanya bersih, Fitri berjalan ke arah meja makan. Ia membuka tutup tudung saji. Tidak ada makanan apapun yang tersimpan di bawahnya. Biasanya, sudah ada masakan yang tersedia di meja makan yang disediakan Bi Asti, bibinya Damar yang menjaga Damar sejak kecelakaan itu.

"Mas, Paman dan Bibi ke mana? Kok tidak terlihat sejak tadi aku pulang kerja?" tanya Fitri dengan suara yang masih serak.

"Paman dan Bibi kembali pulang ke desa karena sudah tidak sanggup lagi untuk tinggal di sini," ucap Damar ketus.

Benar, mereka pasti tidak sabaran mengurus Damar yang selalu marah-marah. Hanya Fitri yang masih mampu menahan amarah Damar. Bahkan para tetangga saja sudah menggunjing Damar.

“Sudah lumpuh, kerjaannya nyiksa istri! Kena azab baru tahu rasa!” itu salah satu ucapan dari tetangga yang pernah Fitri dengar.

Namun, Fitri sama sekali tidak mempedulikannya. Ia tetap merawat Damar sebagaimana seorang istri.

"Apakah Mas Damar sudah makan?"

"Aku sudah makan, tadi terakhir kali Bibi masak nasi goreng dan hanya satu piring tersisa untukku," ucap Damar ketus sambil mulai menyalakan TV.

"Ya, sudah, Mas, Aku senang jika mendengar Mas sudah makan malam. Sebaiknya sekarang kita beristirahat, besok aku harus berangkat pagi," ajak Fitri pada suaminya.

"Besok sebelum kau berangkat bekerja siapkan dulu sarapan untukku," seru Damar saat melihat Fitri sudah memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Iya, Mas...," jawab Fitri dari dalam kamar mandi.

Setelah 10 menit kemudian Fitri pun selesai dengan ritual mandinya, ia langsung masuk ke dalam kamar dan merebahkan diri di atas kasur yang begitu tipis. Fitri merebahkan tubuhnya di samping tubuh suaminya yang sudah terlelap.

"Ya Tuhan, semoga saja besok aku mendapatkan rezeki untuk sarapan suamiku," rentetan doa dipanjatkan Fitri untuk meminta kepada Tuhan agar besok ia memiliki rezeki yang cukup untuk membelikan sarapan untuk suaminya.

Keesokan harinya Fitri sudah bangun lebih awal. Ia memang sudah terbiasa bangun sebelum subuh. Fitri keluar dari rumah, meninggalkan suaminya yang masih tertidur pulas.

Fitri akan pergi ke pasar untuk mencari pekerjaan tambahan sebelum memulai bekerja di pabrik. Ia mencoba mencari peruntungan jikalau ada yang menyuruhnya untuk mengangkat belanjaan, atau yang sekiranya memerlukan tenaga bantuan buruh angkat berat.

Demi sesuap nasi untuk suaminya yang tengah lumpuh akibat kecelakaan tiga bulan yang lalu. Fitri rela bekerja apa saja. Ia menawarkan jasa angkat barangnya kepada setiap ibu-ibu yang tengah berbelanja dan tengah kesulitan, tapi sudah satu jam sama sekali tidak ada yang mau menggunakan jasa angkat barangnya.

Fitri terus berjalan pantang menyerah, hingga akhirnya ia melihat seorang wanita paruh baya yang tengah kesulitan saat membawa barang belanjanya. Fitri pun mendekatinya dan ingin mencoba menawarkan bantuan.

"Maaf, Bu, Apakah Ibu butuh bantuan?" tanya Fitri dengan sopan dan lembut.

Wanita paruh baya itu pun tersenyum pada Fitri. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi, akan tetapi ia terlihat sangat cantik dengan riasan make up yang tidak begitu tebal. Pakaiannya terlihat sederhana, tapi Fitri bisa lihat kalau itu merk mahal.

"Kebetulan sekali, bisa kamu bantu saya bawa ini?" tanya wanita paruh baya itu dengan tersenyum.

Fitri pun mengangguk mantap. Ia tidak berpikir dua kali lagi untuk menerima tawaran dari wanita paruh baya itu. Dengan tersenyum, Fitri meraih dua kantong tas besar berisi sayur-mayur, dan kemudian Fitri mengikuti ke mana arah wanita paruh baya itu berjalan.

Langkah Fitri dan wanita paruh baya itu berhenti di depan sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman pasar. Sang sopir yang melihat wanita baru baya itu datang bersama Fitri langsung menerima tas yang berisi sayur-mayur, dan dimasukkan ke dalam bagasi mobil.

Wanita paruh baya itu pun memberikan beberapa lembar uang pada Fitri sebagai bayaran karena telah membantunya.

“B-bu, i-ini kebanyakan….” Fitri terkejut karena wanita paruh baya itu memberikan uang sebesar sepuluh lembar uang berwarna merah.

“Cukup ini saja, Bu.” Fitri hanya mengambil satu lembarnya saja. Karena jika ia menerima semuanya, itu terlalu banyak untuk ukuran seorang kuli panggul di pasar.

"Tidak apa-apa Nak, ambil saja! Anggap saja ini rezeki yang Allah berikan melalui saya," ucap wanita paruh baya itu dengan tersenyum dan tidak ingin Fitri menolaknya.

Wanita paruh baya itu mendorong kembali uang itu ke arah Fitri. Karena takut dianggap tidak sopan, Fitri akhirnya menerima. Ia berulang kali mengucapkan terima kasih sambil membungkuk-bungkuk.

“Terima kasih, Bu… Terima kasih…”

Akhirnya ia bisa membayar hutang di warung depan, dan memasakkan suaminya makanan enak.

“Mas Damar pasti senang!” ucap Fitri dalam hati.

"Ah, andai saja, kamu menjadi menantuku…." ucap wanita paruh baya itu pada Fitri sambil tersenyum.

“Maaf, Ibu bilang apa?" tanya Fitri memastikan kembali apa yang didengarnya tidak salah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status