POV NadiaAwalnya aku dan Mas Ilyas hanya suka mengobrol bersama karena satu tempat kerja. Membahas masa lalu kami. Statusku sebagai janda, membuatku leluasa mendekatinya. Namun, Mas Ilyas kelihatannya hanya ingin main-main denganku. Sekedar jalan berdua menghilangkan jenuh. Kami hanya akrab sebagai sahabat dekat. Namun, setelah dia diangkat jabatan menjadi manager, jiwa miskinku meronta-ronta. Aku menghalalkan segala cara untuk meluluhkannya. Sesuai info yang di dapatkan dari sahabat dekat. Aku nekat mengunjungi seorang dukun terkenal. Untuk memikat Mas Ilyas dengan ajian-ajiannya. Perjalanan jauh ke pelosok Banten, aku susuri. Melewati jalan berkelok dan rimbun pepohonan. Tarif mahal, bahkan rela aku keluarkan. Bermodal uang gajiku dalam sebulan."Berikan serbuk Bakaran mantra ini, ke dalam minuman pria yang kamu cintai. Saya jamin, pria itu akan patuh dan tergila-gila padamu.""Apa benar, Ki Selo?""Silakan dibuktikan."Kadang aku merasa bodoh, karena masih percaya hal-hal mistis
POV Ilyas"Cepat katakan Nadia!" Rahang mengeras. Hati berkecamuk antara emosi dan prustasi. Mobil kesayanganku dijual. Ditambah lagi, bukti mengejutkan yang aku temukan. Nadia sudah gila. Kenapa dia bisa jadi bod*h seperti ini."Maaf, Mas. Aku terpaksa melet kamu. Biar kamu mau nikahin aku."Duar!Kepala pusing tujuh keliling. Aku sandarkan punggung di tembok. Menjambak rambut, sambil meracau tak karuan. Ternyata benar kata Ela, beberapa bulan lalu. Nadia telah meracuniku dengan hal gaib. Tak menyangka, Nadia senekat itu. "Mas, tolong maafkan aku. Toh, kamu juga mencintaiku. Gak salah dong, kalau aku lebih mempererat hubungan kita," bela Nadia. Plak!Emosi memuncak di sanubari. Aku bangun, dan sengaja menampar Nadia. Dia telah membuatku kecewa. Bahkan, dengan sadar menghancurkan keluarga kecilku. Hidupku jadi menderita seperti saat ini. Rasa bersalah pada Ela dan Zahwa, menancap dalam di hati. Pikiran benar-banar kacau. "Mas, mau kemana kamu, Mas?"Aku ambil barang-barang musyri
POV ElaPernikahanku dengan Mas Ilyas, sudah berakhir beberapa bulan yang lalu. Sekarang, statusku resmi menjanda dengan anak satu. Memang berat, menyandang status ini. Akan tetapi, tetap aku jalani sepenuh hati. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Zahwa. Fokus menjaganya, sampai tanggung jawabku berpindah pada pria yang akan menjadi suaminya.Alhamdulilah, aku sudah bisa merintis usaha masker organik. Dari bahan rempah alami, khas daerahku. Bisnis masker kecantikan, aku tekuni baru tiga bulan ini. Memang, belum begitu menghasilkan. setidaknya, aku bisa mengembangkan ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah.Laras membantuku dibagian marketing. Sesuai jurusan kuliahnya, yakni Sarjana ekonomi. Produk ini, hanya kami jual di pasar online. Belum merambah ke bisnis reseller."Kesian banget anak Mak marni. Anak bungsunya jadi perawan tua. Anak pertamanya jadi janda. Ya ampun," kicauan Eti, tetangga desa.Ketika aku dan Laras di pasar. Untuk membeli rempah-rempah pembuatan m
"Ada apa, Mbak Ela?" tanya Mas Arya.Dia ikut bangkit, sambil celingak-celinguk mengikuti tingkahku. "Ti-tidak, Mas. Tadi kayanya ada kucing kawin.""Ah, masa, Mbak. Perasaan dari tadi gak ada suara kucing.""Hehehe, kayanya saya lagi halu, Mas. Maklum, kebanyakan membayangkan masa depan bersama cogan. Canda cogan, hihi.""Mbak Ela bisa saja," kekehnya. Bapak dosen ini, nampak bahagia bersamaku. Sedari tadi, bibirnya tak berhenti cengengesan. Heran, dia pikir aku topeng monyet? Untung ganteng, kaya opah Korea. Kalau, jelek, sudah aku tonyor dia."Ehem. Kalian kenapa berdiri di situ? lagi nunggu tukang cupang? sini duduk, Mas Arya," ucap Laras terlihat cemburu.Dia sengaja buang muka, saat aku melewatinya. Dasar adik, aneh. Kakak sendiri dicurigai. Siapa juga yang mau berebut cowok dengannya. Aku sudah cukup makan asam garam dunia percintaan. Rasanya masih trauma. Biar Bapak dosen ini, aku ikhlaskan untuk Laras saja. Semoga dia belum punya anak istri. Supaya bisa berjodoh dengan adik
"Apa, Bu, Zahwa minta uang jutaan?" tanyaku kaget.Jangan-jangan mantan ibu mertuaku sedang belajar jadi artis. Kemudian, dia sengaja berakting. Untuk mengasah kemampuannya dalam memainkan tokoh di film. Aku yakin 100%, Zahwa tidak pernah meminta uang pada mereka. Kalaupun, iya, pasti dia memberitahuku. "Gak usah sok, kaget Ela. Pasti kamu yang mengajarkan cucu saya untuk memoriti harta kakeknya. Agar harta warisan cucu saya bisa kamu kuasai.""Dijaga Bu, ngomongnya. Kalau bicara ko, seenaknya. Pedes banget kaya bon cabe. sepeserpun, Ela, gak pernah nyuruh Zahwa minta-minta. Ela masih sanggup menafkahi anak sendiri. Soal uang penjualan rumah, itu memang milik Zahwa. Anggap saja, sebagai nafkah dari Mas Ilyas untuk beberapa tahun. Selama dia sibuk sama istri barunya yang kaya nenek lampir itu."Mulutku gatal. Aku ungkapkan segala kekesalan. Mantan ibu mertua sudah keterlaluan. Seakan-akan menuduhku telah memanfaatkan keadaan. Serta memperalat Zahwa untuk jadi mesin penghasil uang. Dia
"Zahwa, buka pintunya!""Zahwa buka!" teriakku sambil terisak penuh air mata.Tak ada jawaban. Aku masih terduduk di lantai. Nyeri begitu terasa di pergelangan kaki. Ditambah sakit di dalam hati. Ada apa dengan Zahwa? sampai dia tega berlaku kasar padaku. Dia bukan Zahwa yang biasa aku kenal. Sorot matanya, mengisyaratkan ketakutan yang luar biasa."Mbak Ela. Bangun, Mbak." Arya tiba-tiba membuka pintu. Dia paham kakiku sakit, karena aku terus menangis sambil memegangi pergelangan kaki. Dia mengangkat tubuhku ke atas sofa. Wajah cemas begitu kentara."Ada apa, Mbak? kaki Mbak kenapa?""Ti-tidak, Mas.""Kalau boleh, biar saya urut sebisa saya. Semoga saja bisa berkurang rasa sakitnya." Aku mengangguk.Dengan cekatan Arya mengurut pergelangan kakiku. Urat-urat yang mengsol rasanya kembali ke jalurnya masing-masing. Meskipun nyeri, tapi setidaknya kakiku sedikit lebih baik. Tidak terlalu kaku seperti tadi."Makasih, Mas Arya.""Iya, Mbak. Sebenarnya ada apa?"Aku hanya diam. Rasanya ta
POV Zahwa[Ngapain Kaka kirim paket ke rumah? Jangan ganggu aku lagi.]Kak Lion memang sudah gila. Dia tidak mau melepaskanku. Sampai nekat menemui Mamah. Karena dia, aku sampai melukai Mamah. Tak tega, melihatnya jatuh di lantai. Namun, aku harus menghindar. Sebelum barang haram ini dilihat Mamah.[Keluar dari rumah. Hiduplah bahagia bersamaku Zahwa. Kita akan hidup damai. Kamu tak usah lagi pura-pura bahagia.]Pesan balasan dari Kak Lion menohok hati. Dia sesat. Bukan mengajakku ke jalan kebenaran. Malah dengan sengaja menjerumuskan. Aku menyesal telah mengenalnya. Meskipun sulit menolak ajakannya.Andai aku lebih mendengarkan kata-kata ka Fauzi. Mungkin, hidupku tak akan hancur seperti sekarang. Dia yang selalu menenangkan hati. Dengan nasihat-nasihat yang menyejukan. Sampai aku terpuruk di titik paling rendah. Dia selalu membimbingku, agar mendekatkan diri kepada sang pencipta.Namun, bisikan setan lebih aku dengarkan. Rasa sakit dan amarah kepada Ayah, aku luapkan melalui benda
"Menyerahlah, Lion.""Tidak. Kau yang harusnya menyerah, perjaka tua.""Hahaha, kamu ini jauh lebih muda dariku. Tapi berani sekali."Detektif Arya perlahan mendekat. Kak Lion menggenggam erat tanganku. Kami mundur sedikit demi sedikit. Dua orang polisi di belakang sedang bertempur melawan anak buah Ka Lion. "Mundur dan cari tempat aman, Wa," bisik Ka Lion.Dalam hitungan sekejap mata, aku melangkah menjauh. Kak Lion langsung memukul Detektif Arya dengan brutal. Mereka bertarung dengan tangan kosong. Kondisi Kak Lion babak belur. Begitu sebaliknya. Adu gulat diantara mereka seri. Mereka sama-sama kuat. Tak memberi celah pada lawan untuk meloloskan diri."Menyerahlah!" teriak Detektif Arya. Menaruh pistol tepat di dahi Kak Lion. Aku bungkam mulut dengan telapak tangan. Mata membeliak ngeri. Ingin rasanya berteriak sekencang mungkin. Namun, percuma saja. Tak ada yang mau menolong. Hanya takdir yang menentukan. Pergulatan hari ini, akan dimenangkan Detektif, atau kekasihku."Pak Arya,