"Zahwa, buka pintunya!""Zahwa buka!" teriakku sambil terisak penuh air mata.Tak ada jawaban. Aku masih terduduk di lantai. Nyeri begitu terasa di pergelangan kaki. Ditambah sakit di dalam hati. Ada apa dengan Zahwa? sampai dia tega berlaku kasar padaku. Dia bukan Zahwa yang biasa aku kenal. Sorot matanya, mengisyaratkan ketakutan yang luar biasa."Mbak Ela. Bangun, Mbak." Arya tiba-tiba membuka pintu. Dia paham kakiku sakit, karena aku terus menangis sambil memegangi pergelangan kaki. Dia mengangkat tubuhku ke atas sofa. Wajah cemas begitu kentara."Ada apa, Mbak? kaki Mbak kenapa?""Ti-tidak, Mas.""Kalau boleh, biar saya urut sebisa saya. Semoga saja bisa berkurang rasa sakitnya." Aku mengangguk.Dengan cekatan Arya mengurut pergelangan kakiku. Urat-urat yang mengsol rasanya kembali ke jalurnya masing-masing. Meskipun nyeri, tapi setidaknya kakiku sedikit lebih baik. Tidak terlalu kaku seperti tadi."Makasih, Mas Arya.""Iya, Mbak. Sebenarnya ada apa?"Aku hanya diam. Rasanya ta
POV Zahwa[Ngapain Kaka kirim paket ke rumah? Jangan ganggu aku lagi.]Kak Lion memang sudah gila. Dia tidak mau melepaskanku. Sampai nekat menemui Mamah. Karena dia, aku sampai melukai Mamah. Tak tega, melihatnya jatuh di lantai. Namun, aku harus menghindar. Sebelum barang haram ini dilihat Mamah.[Keluar dari rumah. Hiduplah bahagia bersamaku Zahwa. Kita akan hidup damai. Kamu tak usah lagi pura-pura bahagia.]Pesan balasan dari Kak Lion menohok hati. Dia sesat. Bukan mengajakku ke jalan kebenaran. Malah dengan sengaja menjerumuskan. Aku menyesal telah mengenalnya. Meskipun sulit menolak ajakannya.Andai aku lebih mendengarkan kata-kata ka Fauzi. Mungkin, hidupku tak akan hancur seperti sekarang. Dia yang selalu menenangkan hati. Dengan nasihat-nasihat yang menyejukan. Sampai aku terpuruk di titik paling rendah. Dia selalu membimbingku, agar mendekatkan diri kepada sang pencipta.Namun, bisikan setan lebih aku dengarkan. Rasa sakit dan amarah kepada Ayah, aku luapkan melalui benda
"Menyerahlah, Lion.""Tidak. Kau yang harusnya menyerah, perjaka tua.""Hahaha, kamu ini jauh lebih muda dariku. Tapi berani sekali."Detektif Arya perlahan mendekat. Kak Lion menggenggam erat tanganku. Kami mundur sedikit demi sedikit. Dua orang polisi di belakang sedang bertempur melawan anak buah Ka Lion. "Mundur dan cari tempat aman, Wa," bisik Ka Lion.Dalam hitungan sekejap mata, aku melangkah menjauh. Kak Lion langsung memukul Detektif Arya dengan brutal. Mereka bertarung dengan tangan kosong. Kondisi Kak Lion babak belur. Begitu sebaliknya. Adu gulat diantara mereka seri. Mereka sama-sama kuat. Tak memberi celah pada lawan untuk meloloskan diri."Menyerahlah!" teriak Detektif Arya. Menaruh pistol tepat di dahi Kak Lion. Aku bungkam mulut dengan telapak tangan. Mata membeliak ngeri. Ingin rasanya berteriak sekencang mungkin. Namun, percuma saja. Tak ada yang mau menolong. Hanya takdir yang menentukan. Pergulatan hari ini, akan dimenangkan Detektif, atau kekasihku."Pak Arya,
POV Ilyas"Sudahlah, lupakan Ela. Dia bukan jodohmu lagi, Ilyas," tutur Ibu ketika aku mengatakan apa yang aku lihat. Ela bersama pria lain. Mungkin dia sudah melupakanku. Apa yang dia lakukan, memang sudah sepatutnya. Aku yang memulai menciptakan api. Maka aku yang harus menahan panasnya."Kenapa Ela mudah sekali melupakan Ilyas, Bu?""Biarkan saja, Nak. Dia bukan yang terbaik untukmu. Meskipun kamu pernah salah, seharusnya Ela tidak berbuat hal yang sama. Baru beberapa bulan selesai masa Iddah, langsung dapat pria lain.""Bukan Ela yang salah. Tapi anakmu sendiri, Bu," celetuk Bapak. Dia berdiri menatap tajam ke arahku."Ilyas memang salah. Tapi Ela juga berbuat hal yang sama. Padahal, anak kita mau memperbaiki semuanya.""Pantas anak kita keras kepala. Ternyata ibunya juga sama.""Maksud Bapak apa? kenapa jadi nyalahin Ibu?""Memang begitu nyatanya. Kamu masih saja membela anak pecundang seperti dia.""Dijaga Pak ngomongnya. Sejelek apapun Ilyas, dia anak kita.""Tidak. Aku sudah
POV Ela"La, M-Mas gak bi-sa na-pas," ucap Mas Ilyas terbata-bata."Astagfirulloh, lepaskan, Bu. Istigfar."Sahabat Zahwa juga ikut bersama mantan suamiku. Dia mencoba meredakan sikap brutalku. Tangan sulit aku lepas. Masih belum puas menyakiti Mas Ilyas. Kekesalan dan beban yang aku alami, membuatku nekat bertindak semi kriminal."Mbak, stop!"Sekuat tenaga Laras melepaskan cengkraman tanganku di leher Mas Ilyas. Laras menarikku untuk menjauh. Dia merangkul erat. Aku menangis sekencang mungkin. Tidak memikirkan rasa malu sedikitpun. Meraung bak orang kesetanan.Hatiku hancur berhamburan. Raga terus ditindih beban hidup. Jiwaku hampir depresi. Berusaha sebisa mungkin mengontrol diri. Menguatkan pijakan di bumi. Supaya tidak ambruk, dan menyerah pada keadaan. Kekecewaan yang paling menyakitkan, bukan karena perceraian. Akan tetapi, saat aku tahu telah gagal menjadi orang tua. Anakku salah jalan. Dia mendekam di penjara, dalam keterpurukan. Masa depannya terancam suram. Perih dan nyer
"Hust."Mas Ilyas menaruh telunjuk di bibirku. Dia menggeleng cepat. Kemudian, menggenggam erat."Kita harus yakin. Zahwa akan baik-baik saja, La. Anak kita hebat dan kuat seperti ibunya. Kamu ingat, ketika Zahwa kecil hampir tenggelam di kolam renang saat TK? bukankah anakmu mampu selamat?"Seketika pikiranku memutar kenangan belasan tahun silam. Saat Zahwa masih sekolah TK. Dia mengikuti acara sekolah untuk renang bersama. Namun, karena lengah, putri kecilku terpleset ke kolam dengan kedalaman dua meter. Dia berteriak minta tolong. Kami semua panik. Kebetulan kolam sedang sepi. Tak ada orang yang bisa membantu menyelamatkan. Aku segera berlari dan meraih tubuh anakku. Jantung hampir ikut tak berdetak. Ketika Zahwa pingsan. Penjaga kolam, langsung memberi pertolongan pertama. Memompa bagian dada. Supaya air keluar. Beberapa menit kemudian, air kolam dapat dimuntahkan. Zahwa kecilku bisa selamat.Sepanjang perjalanan ke klinik terdekat, dia masih sempat tersenyum. Sama sekali tidak m
"Menangislah, Mas. Luapkan genangan air yang menumpuk di pelupuk matamu."Ucapku puitis. Menambah syahdu pembicaraan diantara kami. Semoga, pedih di hati Mas Ilyas, jadi cambukan luar biasa. Agar dia tidak gegabah dalam melangkah. Tak salah arah. Kukuh mempertahankan tanggung jawab. Bukan lalai, dan seenaknya abai."Mas bodoh, La. Mas pantas menerima hukuman ini. Anak kandung sendiri, begitu membenci ayahnya, hiks, hiks."Aku geser duduk di kursi sampingnya. Mengelus punggung. Beberapa pedagang kantin menyoroti Mas Ilyas. Akibat suara tangisnya."Anak kita, La. Dia membenciku. Mas gak tau lagi, gimana caranya, supaya Zahwa mau maafin Mas.""Berdoa, Mas. Kerasnya hati anak kita, hanya bisa digedor melalui doa. Tapi, aku juga akan bantu. Biar Zahwa tidak membencimu lagi.""Makasih, La. Meskipun aku sudah menyakiti, tapi kamu tetap baik sama Mas.""Lepaskan, Mas."Mas Ilyas memelukku. Beberapa detik kemudian, dia refleks melepaskannya. Mungkin saking senangnya mau aku bantu, atau memang
"Mas yakin, Pak detektif ini pasti punya maksud lain. Tak mungkin membantu secara cuma-cuma."Brak!Meja digebrak keras oleh Laras. Kopi sampai muncrat mengotori meja. Adikku murka. Dia tak segan-segan mengamuk, kalau orang yang dia sayang dijelek-jelekkan."Bang Ilyas mulutnya bener-bener harus dijejelin cabai setan. Gak disaring banget. Ini rumah kami, Bang. Tolonglah, bicara yang sopan. Jangan nuduh-nuduh yang gak baik sama Mas Arya. Dia udah tulus mau membantu keluarga ini.""Bener kata Laras, Mas. Minta maaf sama Arya.""Tapi, La, aku cuman mau urusan kasus anak kita, biar aku yang urus. Bapak dan ibu, yang bakal membantu kita. Buat bayar berapapun, asal Zahwa bisa segera bebas.""Gini Pak Ilyas, lebih baik kita kerja sama. Pakai pengacara rekomendasi Bapak juga boleh. Biar Bapak lebih tenang. Nanti, pihak saya, biar membantu mencari bukti dan saksi untuk meringankan hukuman Zahwa.""Tuh, dengerin Bang. Meskipun Mas Arya udah diomongin nyelekit, dia tetep baik. Mau cari jalan ten