Cinta Yang Tak Pernah Dipilih

Cinta Yang Tak Pernah Dipilih

last updateHuling Na-update : 2025-09-26
By:  Salah AdeganIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
32Mga Kabanata
26views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Airin menikah dengan Arlan bukan karena cinta, melainkan karena takdir dan restu keluarga. Sejak awal, ia tahu hati Arlan telah lama tertambat pada Inayah—kakaknya sendiri. Namun demi menjaga kehormatan keluarga, Airin menerima pernikahan itu, berharap waktu bisa menumbuhkan cinta. Sayangnya, yang datang bukan kasih, melainkan dingin dan jarak. Arlan terus memandang Airin sebagai pengganti Inayah, sementara ibu mertuanya memandangnya sebagai biang segala kesialan keluarga. Airin menjalani hari-harinya dengan kesabaran yang perlahan mengikis dirinya, menyembunyikan luka di balik senyum yang dipaksakan. Di tengah rumah tangga tanpa cinta itu, Airin harus memilih: terus bertahan demi nama baik, atau melepaskan meski berarti kehilangan segalanya. Ini adalah kisah tentang hati yang setia meski tak pernah terpilih—dan keberanian untuk menemukan arti cinta yang sesungguhnya.

view more

Kabanata 1

1.Gadis Kecil Yang Dijodohkan

Airin masih berusia 17 tahun ketika kabar itu datang. Usianya masih belia; dunia yang ia kenal hanyalah sekolah, sahabat, dan mimpi-mimpi kecil tentang masa depan yang ingin ia bangun sendiri. Malam itu, selepas magrib, suasana rumahnya begitu tenang. Dari luar jendela, suara jangkrik bersahut-sahutan, berpadu dengan gemerisik dedaunan yang digoyang angin malam.

Lampu pijar kuning tergantung di langit-langit ruang tamu, memancarkan cahaya temaram yang membuat bayangan ayah dan ibunya jatuh panjang di dinding. Mereka duduk berdua di kursi kayu jati, wajah-wajahnya lebih serius dari biasanya. Airin, yang baru saja membereskan buku-bukunya, dipanggil ke ruang tamu.

Dengan langkah pelan, ia duduk di kursi rotan di hadapan mereka. Tangan mungilnya meremas ujung rok panjang bermotif bunga yang ia kenakan. Ada sesuatu yang terasa berbeda malam itu, dan perasaan itu membuat dadanya sesak.

“Ada apa, Yah?” tanyanya ragu, mencoba tersenyum tipis untuk mencairkan suasana. Namun, tatapan ayahnya tak memberi ruang bagi senyum itu untuk tumbuh.

Ayahnya menarik napas panjang. Matanya menatap lurus ke arah putrinya, seakan ingin memastikan kabar ini benar-benar meresap. Lalu dengan suara pelan, namun tegas, ia berkata,

“Nak, mulai bulan depan… kau akan menikah dengan Arlan.”

Sejenak, dunia seperti berhenti berputar. Kata-kata itu menggema di telinga Airin, berdentum lebih keras dari suara jangkrik di luar, lebih kuat dari detak jantungnya sendiri. Ia memandang ayahnya dengan mata membelalak, kemudian beralih pada ibunya, berharap ada tawa kecil, atau penjelasan bahwa ini hanya candaan belaka. Namun wajah mereka tetap serius.

Airin tahu siapa Arlan. Lelaki itu bukan sosok asing. Ia adalah teman dekat keluarga, sosok yang sejak kecil akrab dengan rumah mereka. Arlan, lelaki mapan yang dihormati di desa, berpendidikan, tampan, dan santun. Banyak gadis diam-diam mengaguminya, berharap suatu saat bisa dipinang olehnya. Tapi ada satu hal yang Airin tahu, dan mungkin hanya ia yang tahu lebih dalam: hati Arlan sudah lama tertambat pada seseorang.

Inayah. Kakak kandungnya sendiri.

Ingatan masa kecil itu datang silih berganti, menyayat hati Airin. Bagaimana Arlan sering datang dengan membawa oleh-oleh kecil untuk Inayah—sekadar buku catatan, pita rambut, atau buah dari perjalanan dinasnya. Bagaimana tatapan matanya selalu mengikuti setiap langkah Inayah, dan bagaimana kakaknya itu tersenyum malu dengan mata yang berbinar ketika Arlan ada di dekatnya. Semua itu begitu nyata, dan bukan rahasia lagi. Airin yakin, bahkan kedua orang tuanya tahu arah hati Arlan sebenarnya.

Menelan ludah yang terasa kering, Airin memberanikan diri untuk bersuara, meski suaranya bergetar.

“Tapi… Yah, Arlan—”

Ibunya segera memotong dengan suara lembut, tapi tegas. “Ini demi keluarga kita, Rin. Arlan adalah pilihan terbaik. Dia bisa menjaga masa depanmu, menjaga kehormatan keluarga ini.”

Airin menunduk. Kata-kata ibunya itu seperti belati yang menusuk perlahan. Kehormatan keluarga. Masa depan. Semua itu terdengar begitu berat untuk dipikul seorang gadis 17 tahun yang bahkan masih ragu akan dirinya sendiri.

Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Airin. Ia masuk ke kamarnya dengan langkah gontai, lalu merebahkan diri di atas kasur tipis yang tertutup sprei bunga-bunga. Matanya menatap langit-langit, kosong. Perasaan takut, bingung, dan kecewa bercampur jadi satu. Ia tahu ia tidak bisa menolak begitu saja.

Ia mendengar langkah kaki di luar kamarnya. Inayah baru saja pulang dari rumah sahabatnya. Kakaknya itu tersenyum seperti biasa ketika membuka pintu kamar, tidak tahu badai apa yang sedang menghantam adiknya.

“Rin, kau sudah tidur?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.

Airin hanya menggeleng pelan. Ia ingin bercerita, ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa lelaki yang selalu ada dalam hati kakaknya kini akan menjadi suaminya. Tapi kata-kata itu membeku di tenggorokannya. Bagaimana mungkin ia menyakiti Inayah dengan kabar itu? Bagaimana mungkin ia tega?

Maka yang keluar dari bibirnya hanyalah, “Tidak, Kak. Aku hanya capek.”

Inayah mengelus rambut Airin dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, “Kau harus jaga kesehatan. Kau sebentar lagi ujian akhir. Jangan terlalu banyak pikiran.”

Airin mengangguk, pura-pura memejamkan mata agar Inayah tidak bertanya lebih jauh. Saat kakaknya keluar kamar, barulah ia menangis dalam diam.

Hari-hari berikutnya berjalan bagai mimpi buruk yang tak bisa ia hentikan. Kabar pertunangannya dengan Arlan mulai menyebar dari mulut ke mulut di desa. Para tetangga tersenyum penuh arti, mengucapkan selamat, bahkan beberapa gadis memandangnya dengan iri. Mereka tidak tahu pergulatan batin yang ia alami.

Di sekolah, sahabat-sahabatnya mulai menggoda.

“Airin, kau beruntung sekali. Arlan itu idaman semua orang!” ujar Sari sambil tertawa kecil.

Airin hanya tersenyum hambar. Dalam hati, ia ingin berteriak, beruntungkah aku jika harus menikahi lelaki yang tidak pernah mencintaiku?

Sementara itu, Arlan sendiri semakin sering datang ke rumah. Setiap kali ia hadir, suasana menjadi kaku. Airin selalu berusaha menunduk, menghindari tatapan matanya. Ia tahu, di balik sorot mata itu, ada bayangan kakaknya. Arlan berusaha bersikap ramah, berbicara sopan, seakan ingin menunjukkan bahwa ia menerima perjodohan ini dengan lapang dada. Tapi Airin bisa membaca kesedihan yang tersembunyi di balik senyumannya.

Suatu sore, Airin memberanikan diri untuk berbicara dengan ayahnya di teras rumah. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan.

“Yah… bolehkah aku bertanya sesuatu?” suaranya lirih.

Ayahnya menutup koran yang sedang dibacanya, lalu menatap Airin dengan lembut. “Tentu, Nak. Ada apa?”

“Kenapa harus aku, Yah? Kenapa bukan Kak Inayah? Bukankah… Arlan lebih dekat dengan Kakak?”

Pertanyaan itu membuat ayahnya terdiam cukup lama. Lalu dengan suara berat, ia menjawab,

“Inayah sudah kami janjikan dengan keluarga lain. Ada tanggung jawab yang harus kami tepati. Sedangkan Arlan… dia memilihmu, Rin. Kau harus percaya bahwa ini yang terbaik.”

Airin tercekat. Memilihku? Hatinya menolak mempercayai itu. Arlan tidak pernah memilihnya. Arlan hanya pasrah pada keputusan keluarga, sama seperti dirinya.

Hari demi hari, Airin semakin terperangkap dalam dilema. Malam-malamnya dipenuhi tangis, sementara siang harinya ia harus tersenyum di hadapan orang lain. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa memainkan peran, padahal hatinya hancur berkeping keping.

Namun, di tengah semua itu, ada satu hal yang terus menguat di dalam dirinya: tekad untuk bertahan. Meski ia hanya menjadi bayangan dari cinta yang tak pernah menjadi miliknya, Airin tahu ia harus menerima. Demi keluarganya. Demi nama baik yang selalu dijunjung orang tuanya.

Dan malam sebelum pertunangannya, ketika semua orang sibuk mempersiapkan pesta kecil di rumah, Airin berdiri di depan cermin, memandang pantulan wajahnya sendiri. Matanya sembab, tapi di balik itu ada ketegaran yang baru tumbuh.

“Kalau ini takdirku,” bisiknya lirih, “maka biarlah derita ini kubawa sendiri. Sampai mati.”

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
32 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status