Diam-diam Wahda ingin memberi kejutan pada suaminya yang bekerja di rumah sakit. Siapa sangka yang ia lihat perselingkuhan suaminya dengan masa lalu. Perseturuan terjadi dan kalimat cerai terucap. Tak lama Wahda keguguran yang menyebabkan masa iddahnya berakhir. Mantan suami menyesal, tetapi mereka tak boleh rujuk lagi karena masa iddah berakhir. Meski mantan suami menyesal dan mengejarnya, Wahda ingin move on. ia sudah terlalu lelah dengan sikap mantan suaminya yang acuh. Ia bisa bahagia dengan sendiri. Di sisi lain, dua orang sepupu pria yang sangat memanjakanya hingga kembali terlibat di dunia percintaan.
View MoreSeorang perempuan muda menyusuri selasar rumah sakit dengan senyum semringah dan hati yang berbunga-bunga. Kabar gembira yang ingin disampaikan pada sang suami telah membuatnya lupa kalau ia sedang menyusuri lorong remang.
Aktifitas pelayanan masyarakat sudah ditutup setengah jam yang lalu. Beberapa orang karyawan dan nakes yang ia lewati bersiap-siap pulang ke rumah. Bahkan beberapa lampu telah dimatikan. Sambil bertegur sapa, ia terus melangkah hingga sampai di muka pintu kantor suaminya yang menjabat sebagai direktur di satu rumah sakit itu. Sebelum memegang gagang pintu, terlebih dahulu ia menghirup oksigen kuat-kuat, berharap bisa membuat suaminya terkejut dengan kedatangannya.
“Surprise!!” teriaknya.
Namun siapa sangka, sebuah pemandangan yang telah membuatnya seperti mendadak kehilangan roh. Matanya membelalak selebar mungkin, seakan bola di dalamnya ingin keluar. Sepasang manusia tersentak, lalu saling salah tingkah sambil merapikan pakaian mereka. Sang laki-laki berdiri mendekatinya.
"Wahda, kenapa ke sini? Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya? Ingin memberi kejutan ya? Wah aku benar-benar terkejut," seru Bagus panik sambil meraih tangan istrinya.
Mata Wahda mengejap, matanya masih tak beralih dari seorang perempuan yang ia kenal sebelumnya.
Wahda menarik tangannya. Seketika matanya memerah nanar. "Apa yang kalian lakukan di sini?"
"Bukan begitu, Wahda. Kami cuma membicarakan tentang pekerjaan," jawab Bagus terbata-bata. "Iya kan, Angel?"
"Iya, Wahda. Kami cuma membicarakan pekerjaan. Jangan salah paham," jawab Angel sedikit gugup.
Wahda menatap wajah perempuan cantik yang tidak memperlihatkan rasa berdosa. Meski hanya tangkapannya beberapa detik, ia yakin dengan penglihatannya.
"Jangan salah paham? Siapa yang salah paham? Aku belum bilang apa-apa. Kalian saja yang menuduhku begitu."
Bagus bernapas lega. Ia kembali berusaha menarik tangan Wahda, tetapi kembali gagal.
"Perkataan dan sikap kalian semakin menjelaskan bahwa apa yang kulihat tadi tidak salah," tukas Wahda.
Bagus tersentak, tetapi ia berusaha tenang. "Wahda, aku tidak mengerti apa maksudmu?"
"Jangan mengelak lagi. Penglihatanku tidak salah, ucapan kalian menguatkannya. Kalian telah tertangkap basah. Jujur saja, kalian telah berbuat khianat di belakangku, iya kan?" tuding Wahda dengan diusahakan datar, padahal dalam dadanya bergemuruh hebat.
Emosi Bagus mulai terpantik. "Jadi kamu ke sini tanpa pemberitahuan hanya untuk memata-mataiku? Oke, memang benar. Apa yang kamu lihat itu benar. Sekarang puas?!"
Wahda tertawa ngilu. "Bukannya merasa bersalah, kamu malah menuduhku. Asal kamu tahu, aku ke sini untuk kasih kejutan, tapi apa yang kudapatkan?!" ucap Wahda mulai bergetar. Pertahanan dirinya hampir roboh.
Sekilas Bagus terlihat rasa bersalah, tetapi egonya terlanjur tinggi.
Wahda menghela napasnya. "Ini pertama kalinya kamu membentakku. Jadi inilah wajah aslimu?”
Ia menundukkan pandangannya, sambil menghalau cairan yang mau tumpah di kelopak matanya. “Jadi selama ini kamu menyembunyikan wajah aslimu dariku?”
Bagus tergagap. “Tapi bukankah selama ini aku telah bersikap baik padamu? Apakah itu tidak cukup?”
“Cukup, andai sekarang aku tidak melihat kenyataan pahit ini,” sahut Wahda dengan sekuat tenaga menahan gejolak yang hampir meledak.
“Wahda, aku ….” Bagus merasakan mulutnya bungkam. Apapun perkataannya, pasti terlihat buruk akibat kelengahan sesaat.
“Semua telah terjadi. Kamu tidak mungkin menggabungkan kami keduanya 'kan?”
Angel merangsek maju. “Wahda, ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan. Aku tidak bermaksud untuk menghancurkan rumah tanggamu.”
“Lalu kamu mau seumur hidup tanpa status?” telak Wahda.
Angel membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar.
“Gus, sekarang ambillah keputusan. Kamu pilih aku atau dia?”
Bagus meraih tangan Wahda. “Wahda, mari kita pulang. Kita bicarakan baik-baik, dengan kepala dingin.”
Wahda menarik tangannnya. “Kepala dingin bagaimana? Hasilnya tetap sama kan? Kamu tidak sanggup melepaskannya. Meski sekadar membohongiku saja di depannya kamu tidak sanggup, karena itu akan menyakitinya. Iya kan?”
“Wahda? Oke, aku salah. Beri kesempatan satu kali lagi, ya,” bujuk Bagus.
Wahda menyungging sebelah bibirnya. “Lima tahun kita bersama, kamu masih tidak sanggup berpaling darinya. Lalu aku harus memberimu waktu berapa tahun lagi? Enam, tujuh atau sepuluh tahun?” Wahda tertawa. “Tidak mungkin aku menyiakan-nyiakan waktuku untuk sesuatu yang tidak pasti. Kalau begitu, bebaskan saja aku.”
“Wahda, please, kita harus pikirkan ini baik-baik, oke.”
Angel mendeham. “Kalau begitu aku keluar dulu. Kuharap kalian bisa baikan lagi.”
“Tunggu, jangan beranjak sedikitpun dari sini!” titah Wahda dengan tatapan tajam. Angel terdiam. Wahda beralih ke arah Bagus.
“Pikirkan bagaimana lagi? Begini saja, sekarang aku minta, tinggalkan dia, berhenti dari pekerjaan ini. Kamu cukup praktek di rumah saja. Gimana?” tawar Wahda.
“Bagaimana mungkin. Wahda, kuharap kamu mengerti keadaanku. Aku baru saja menaiki jabatan ini. Jabatan impian banyak dokter, bagaimana mungkin kamu menyuruhku berhenti begitu saja?!”
“Kalau begitu, ceraikan saja aku!” tukas Wahda.
Bagus tersentak. Seketika darahnya kembali mendidih. “Mengapa? Mengapa kamu seperti tidak memahamiku? Kamu tahu bagaimana perjuanganku sampai di titik ini, dan sekarang menyuruhku berhenti begitu saja. Mengapa kamu memojokkanku seperti ini?"
“Jadi aku harus bagaimana? Membiarkan kalian terus berhubungan di sini?’
Arsa terbang ke Jakarta setelah tiga hari resepsi perkawinan. Bahkan kamar pengantin pun masih utuh, dia sudah pergi. Mengesalkan, tapi apa boleh buat. Aku juga sudah mengajukan pengunduran diri dari rumah sakit. Tinggal menuntaskan hari kerja. *** Aku mengerjap pelan. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba tanganku terasa kram. Ternyata tanganku dijadikan bantal oleh Arsa. Aku mencoba menggeser, ia malah meletakkan kepala di dadaku. "Kenapa tidak kasih kabar kalau pulang?" "Dadakan. Aku sangat merindukanmu," sahutnya sambil memejamkan mata dan memeluk erat. "Tapi, tunggu sebentar. Badanku pegal sekali." Begitulah keadaan kami yang berasal dari satu kakek dan mempunyai banyak kesamaan. Ternyata dia juga punya sifat manja kronis. Aku mengikutinya ke Jakarta begitu pekerjaanku selesai. Aku memutuskan langsung program kehamilan dan tidak bekerja sementara waktu. Ternyata di sini, sebulan saja aku sudah bosan setengah mati. Seharian aku sendirian di rumah. Tinggal di komplek elite
Aku tersenyum mengejek. "Kekanakan sekali. Lalu dengan mengajakku nikah, kau pikir aku langsung menjadikanmu prioritas? Ars, aku dokter, kesehatan pasien panggilan nuraniku." Arsa mendekat. Aku terlanjur membentuk pertahanan diri. “Minimal kita sama-sama berusaha untuk saling mendekat. Saling berkorban selangkah demi selangkah.”“Kau lihat tadi bagaimana perasaanku terhadap Sonia. Mungkin suatu saat kejadian malam itu akan terulang lagi.”“Setidaknya, kau juga meluangkan waktu untukku. Perhatianmu hanya untukku.”Aku menghempaskan napas. Kenapa aku baru tau Arsa memiliki sisi seperti ini? “Beri aku waktu. Ini masih terlalu mengagetkan bagiku.” Aku memeriksa jam di layar ponsel. “Sebaiknya kita pulang sekarang.” Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Tiba-tiba saja hatiku sensitif sekali. Seperti menyimpan tumpukan amarah. Mengujiku? Yang benar saja.“Wah!” panggil Arsa sambil berusaha meraih lenganku ketika kami sampai di depan rumah. Spontan saja lenganku menjauh. Ia memperlihat
Getaran dadaku kembali bergelombang. Aku menahan napas supaya tidak lagi menangis. “Tadi dia menelponku, memintaku ke rumah sakit. Aku janji padanya setelah mengantar rantang ke rumah Tante. Siapa sangka akan seperti ini.” Lagi-lagi aku menghela napas. Sangat terasa tubuhku lemah sekali. Entah berapa lama aku menangis. “Dia tidak akan menyalahkanmu. Jadi jangan menyalahkan diri,” sahutnya sambil menoleh padaku. Matanya mulai bergulir lembut. “Besok dia ulang tahun. Aku telah membelikan kado untuknya Tapi ....” Aku kembali terisak. Ia menarik kepalaku, tetapi aku mengelak. Aku menghirup udara dingin kuat-kuat, lalu menghempaskannya. Aku melakukan itu berkali-kali, sampai dadaku sedikit lega.“Terima kasih. Kau bisa pergi sekarang. Maaf, telah mengganggu waktumu.”Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk belakangku dari debu. Arsa juga berdiri. “Aku akan mengantarmu.”“Tak perlu. Kau pergilah. Aku mau pergi ke suatu tempat.”“Mau ke mana? Aku akan mengantarmu. Aku tidak akan membiarkanmu b
“Dokter, Sonia kritis.” Mataku membelalak. Setelah itu tidak jelas lagi Mama Sonia berucap apa, hanya terdengar deru tangis. “Tante, aku pergi dulu.”Aku bergegas membuat ponsel ke dalam tas dan langsung berdiri. “Kritis? Siapa yang kritis?" tanya Tante Fatima. Arsa dan semua ada di situ ikutan menoleh. "Pasien aku, Tante," ucapku sambil menyalami tangan Tante Fatima. Tante Fatima mengerutkan kening. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini. "Aku pergi, Tante. Assalamu alaikum.""Tunggu!" Langkahku terhenti. "Arsa, antar Wahda ke rumah sakit," titah Tante Fatima.Arsa melongo. "Aku bawa mobil sendiri, Tante," selaku sambil kembali bergegas. "ARSA!" Kali ini suara Tante Fatima menggelegar. "Dia panik begitu, sangat berbahaya mengemudi." Teratai terdiam dengan piring lauk masih di tangan. Caroline melongo. Mungkin dia tidak mengerti apa yang dibicarakan."Iya, Tante," sahut Arsa dengan wajah sewot. Aku langsung berlari ke depan. Tidak ada waktu melihat wajah terpaksa
Aku tidak mendengar lagi perbincangan Tante Fatima dengan Caroline. Perhatianku teralih pada Arsa yang berjalan mendekati ibu. "Assalamu'alaikum, Tante. Bagaimana kabar Tante? Sehat?"Saat ia ngobrol dengan ibu, ingin rasanya aku menghilang. Diabaikan setelah sekian lama bersahabat, rasanya sangat menyakitkan. Sayangnya, aku tak punya hak untuk mengeluh, apalagi membela diri karena semua ini bermula dariku. Beruntung MC cepat memanggil dia, sehingga dia cepat berlalu dan aku dapat bernapas lega. Aku tidak bisa membayangkan, di mana menaruh muka setelah diabaikan di depan orang banyak. “Tante, kami mau naik dulu,” izin Arsa pada Tante Fatima. Tante Fatima mengangguk. Arsa mengulurkan tangan pada Caroline seperti yang kulihat di film Barat. Betapa anggun dan elegant. Tepuk tangan meriah mengiringi langkah mereka hingga sampai ke atas panggung. “Selamat malam semuanya.” Salam Arsa langsung disambut dengan tepuk meriah. Ia memperkenalkan diri juga Caroline Poni. Ternyata Caroline s
"Dicari-cari ternyata di sini." Teratai muncul dengan selembar undangan di tangan.Tiba-tiba jantungku mencelos."Kenapa?" "Undangan buatmu."Aku menerima dengan wajah penuh tanya. "Ulang tahun August Market. Besok malam." Aku mengangguk. "Terima kasih ya.""Kau harus datang," jawab Teratai sambil memegang pundakku lalu masuk ke dalam ruko. Sepeninggalan Teratai, aku mengembuskan napas pelan. Lalu mencermati undangan hitam yang bertintakan warna emas itu. Mengapa tadi tiba-tiba jantungku terasa lepas saat melihat undangan ini? Padahal dilihat sampulnya saja sudah jelas ini bukan undangan perkawinan. Aku menggelengkan kepala atas kekonyolan sendiri.Jadi Arsa ke sini demi menghadiri ulang tahun August? Itu artinya dia akan balik lagi ke Amerika? ***"Dokter!" Sapa gadis kecil yang duduk di kursi roda ketika aku keluar dari ruang praktik. "Sonia, kenapa keluar?""Maaf, Dokter. Dari tadi dia merengek mau ke sini," ucap ibunya yang mendorong kursi roda yang diduduki Sonia. Aku t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments