"Dia sudah mengaku jika yang menyelundupkanya ke keluarga ini adalah Tuan Robert dan Tuan Andika, Tuan Muda." Jelas Heru sembari menggerakan dagu ke arah tukang pukul yang kini terduduk di lantai. Bersimpuh di hadapan Aditama. Akan tetapi, Aditama tidak menimpali perkataan Heru. Sibuk dengan pikiranya. Robert dan Andika benar-benar pengecut! Bermuka dua! Setelah berhasil menguasai diri, kemudian Aditama berjongkok di hadapan tukang pukul itu. "Angkat kepalamu!" titah Aditama dengan nada dingin dan eskpresi wajah datar. Dengan perasaan takut, gerakan patah-patah, tukang pukul itu akhirnya mengangkat muka dan balik menatap Aditama. "Yakin? Hanya Tuan Robert dan Andika saja? Tidak ada yang lain? Yang ... terlibat?" cecar Aditama dengan tajam. Tukang pukul itu terdiam. Terlihat kesusahan hendak menjawab. Tenggorokanya mendadak terasa kering. Serta sekujur tubuh yang gemetaran hebat. Sementara Edwin sedikit merasa was-was. Tuan Muda tidak boleh sampai mengurus tukang pu
Bella lalu menceritakan obrolan tadi bersama Vania, serta menyampaikan pesan Vania kepada kedua orang tuanya. "Vania menyuruh kita untuk tidak mencari masalah dan menyinggung Aditama lagi, Ma, Pa karena identitasnya itu ternyata tidak main-main." Jelas Bella penuh penekanan pada kalimatnya. "Jadi, aku mohon ... dengarkan apa kata Bella kali ini, Ma, Pa." Wajahnya tampak tegas. Akan tetapi, Bastian dan Susan masih terbengong. Tidak kunjung menjawab. Tengah mencerna perkataan Bella. Melihat kedua orang tuanya hanya diam, Bella menganggap mereka berdua sudah setuju.Setelah tersadar, Bastian buru-buru berujar, "Kamu tidak bertanya kepada Vania lebih jelasnya ... siapa Aditama itu sebenarnya, Bell?" tanya Bastian. Mendengar pertanyaan sang Ayah, Bella memasang wajah tak berdaya seraya menggeleng.Bastian dan Susan pun menghembuskan napas mendapati jawaban sang anak.Di saat ini, Susan berkata. "Seharusnya kamu tanya-tanya hal itu lebih dalam lagi, Bell." "Aku sudah mencecarny
Kalau begini caranya ... akan agak sulit untuk mencari tahu tentang kedua orang tuanya Aditama. Gumam Bastian dengan rahang mengeras sehabis menurunkan ponsel dari telinga. Namun tiba-tiba ia mengerjap kala teringat sesuatu. Ia teringat akan perkataan Bella tentang Vania yang katanya sudah pindah dari apartemen ke rumah kedua orang tuanya Aditama. Kala memikirkan hal itu, sebuah ide mendadak terlintas di benak. Terdiam sebentar, sebelum kemudian manggut-manggut. Walau ia tahu jika akan agak sulit untuk mencari tahu tentang kedua orang tuanya Aditama, tapi ia harus berhasil menemukanya. Dengan begitu, ia juga bisa memastikan semuanya, termasuk identitas Aditama yang kata Bella tidak main-main.Teringat hal itu, ia jadi teringat akan perkataan Bella yang lain. "Mulai saat ini ... kita harus bersikap baik kepada Aditama dan Vania, jangan pernah menyinggung mereka berdua lagi dan jangan pernah mencari masalah dengan mereka berdua lagi." "Karena pada saat kita mengetahui iden
"Tapi ... baru saja orang suruhan Papa memberi kabar jika ibunya Aditama ternyata sudah pindah, Ma ... sudah tidak tinggal di rumah kontraknya yang dulu dan hal itu ... jadi agak susah bagi Papa untuk mencari tahu." Ucap Bastian sambil berdecak, sesekali menatap sang istri. "Tapi, Papa tidak akan menyerah, Ma. Papa akan cari cara lain." Kata Bastian lagi yang dibalas anggukan kepala oleh Susan. Namun tiba-tiba Bastian mengerjap kala teringat sesuatu. Ia pun menghadap Susan lagi dan berkata. "Kita bisa beritahu soal hal ini kepada Ayah, Ma. Pasti, Ayah akan bertanya kepada Aditama dan Vania setelahnya." Usai mengatakan hal itu, sudut bibir Bastian terangkat membentuk senyuman penuh arti.Mendengar hal itu, Susan melebarkan matanya. Terdiam sebentar, lantas mangguk-mangguk. "Iya. Kenapa kita tidak bertahu saja soal hal itu kepada Ayah, Pa." Dia kemudian menambahkan. "Pasti jika Ayah atau pun Stephanie yang bertanya kepada mereka ... pasti mereka akan mengatakanya dengan jujur dan
"Bawa Vania ke hadapanku ... " pinta Edward dengan nada dingin, tatapanya lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah seseorang yang duduk di sampingnya yang tak lain dan tak bukan adalah Mario. Setelah keluar dari rumah sakit, Edward mengajak Mario ke dalam mobilnya untuk bicara empat mata. Sedangkan Vanessa pulang. Akan tetapi, wajah Mario begitu masam. Kentara jelas masih kesal. Tengah menahan amarah setelah mengetahui fakta bahwa ia adalah Ayah dari bayi yang sedang Vanessa kandung. Jelas hal tersebut tak membuatnya senang. Di sisi lain, ia juga merasa jengkel bukan main karena itu artinya ia akan menjadi benar-benar tunduk pada Edward. Mendengar permintaan sekaligus perintah Edward, Mario memandangnya remeh. Ia pun tergelak dan berkata, "Itu sangat mudah kulakukan." "Oh ya?" Edward baru menoleh menatap Mario dengan sebelah alis terangkat. "Awas saja jika kau sampai gagal melakukan hal itu, Mario." Mario berdecih, "Tidak akan gagal. Aku pasti akan berhasil membawa Vania k
Di meja makan, beberapa anggota keluarga Hermanto tengah duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan makan malam di atas meja.Malam ini, Bastian sekeluarga kecuali Mario datang ke rumah Kakek Hermanto. Maksud dan tujuan mereka datang ke rumah itu adalah untuk memberitahu Kakek Hermanto dan Stephanie mengenai hal yang diceritakan Vania kepada Bella."Apakah ... Aditama dan Vania ada cerita sesuatu kepada kalian?" tanya Bastian, menatap Kakek Hermanto dan Stephanie bergantian. Mendengar hal itu, Kakek Hermanto balik menatap Bastian. Terdiam sebentar, seolah tengah mencoba mengingat-ngingat, sebelum kemudian menggeleng. "Tidak. Aditama dan Vania tidak ada cerita sesuatu kepada kami." Bastian manggut-manggut mendengarnya dikuti Susan. Sedangkan Bella tampak mempersipkan diri untuk menceritakanya kepada mereka setelah ini. Karena tak mendapatkan jawaban dari sang Ayah.Lalu, ia pindah menatap Stephanie. "Kalau kepadamu Step?" ucap Bastian lagi. Dia kemudian menambahk
Setelah sekretaris Aditama melenggang pergi dari ruanganya menjelaskan agenda hari ini, muncul sosok Ricard dari balik pintu masuk ke dalam ruangan tak lama setelah itu, berjalan mendekat ke arahnya setengah bergegas. Melihat kedatangan asisten pribadinya, Aditama langsung mengalihkan pandangan dari layar laptop ke arah pria itu. Tiba di depan meja kerja Aditama, Ricard membungkukan badan di hadapan orang nomor satu di perusahaan tersebut terlebih dahulu sebelum kemudian berkata. "Ada hal yang hendak saya sampaikan terkait apa yang terjadi pada istri Anda tadi pagi, Tuan Muda."Aditama terdiam sebentar. "Duduk dulu, Chard." titah Aditama seraya menunjuk kursi di depanya. Mendengar hal itu, Ricard balas mengangguk dan langsung menjatuhkan diri di kursi. "Apa yang hendak kau laporkan mengenai apa yang terjadi dengan istriku tadi pagi, Chard?" Aditama menatap Ricard dengan serius. Rahang Ricard mengeras. Dia kemudian berkata, "Tadi pagi, mobilnya Nona Vania diikuti oleh ora
"Saya bisa melaporkan hal ini ke polisi ya, Pak Panji atas tindakan Anda ini yang telah menganggu privasi kami!" ancam Arumi sambil melipat tangan di depan dada. Ekspresi wajahnya serius. Kentara jelas tidak main-main. Mendengar hal tersebut, Panji balik badan menghadap wanita itu. Lalu, pandanganya memicing. Dia kemudian berkata, "Anda sedang mengancam saya, Nyonya Arumi? Tidak kah Anda tau ... sedang berhadapan dengan siapa?" Belum sempat Arumi menjawab, terdengar suara seseorang yang telah menyambar lebih dulu. "Kami tau ... kami sedang berhadapan dengan siapa ... dengan keluarga konglomerat hebat dan ... Anda adalah orang kepercayaan dari keluarga tersebut!" seru pria itu selagi berjalan menghampiri Panji dan Arumi, kemudian berdiri di hadapan keduanya. Mendengar ucapan pria itu, Panji beralih menatapnya. "Tapi tindakan Anda ini sudah kelewat batas. Menganggu privasi kami, Pak!" kata pria itu lagi dengan tegas. Terlihat tidak gentar. Siapa kah pria itu? Pria itu a