Mendengar hal tersebut, Vania terbelalak.
"Apa?!" pekiknya seraya menatap sang suami untuk beberapa saat. "K-kamu mendapatkan apartemen untuk tempat tinggal kita?!”Aditama mengangguk seraya tersenyum.Vania terbengong, mencerna perkataan sang suami. "Bagimana mungkin kamu bisa mendapatkan apartemen?" tanyanya setelah terdiam sesaat."Dari kenalanku yang telah melunasi biaya operasi Ibuku juga, Van. Kebetulan, apartemennya tidak ditinggali dan disewakan kepadaku dengan harga yang murah," jelas Aditama."Lalu, bagimana caranya kita akan membayarnya, Tam? Gaji kamu itu kecil, Tam. Pasti tidak akan cukup!""Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Van. Biar aku yang memikirkannya. Untuk sekarang yang terpenting adalah kita sudah mendapatkan tempat tinggal."Vania terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.Di detik berikutnya, kepalanya mendadak terasa nyut-nyutan.Rasa-rasanya, dia masih belum bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh suaminya itu.Namun tiba-tiba Vania tersadar dan menatap Joseph dengan perasaan bersalah.“Ma…maafkan kami, Pak Joseph. Karena perbuatan kami…”“Oh tidak apa-apa Nona Vania. Ini sudah menjadi kewajiban kami.”Joseph Hugo langsung memotong perkataan Vania dengan cepat, dan sesekali menatap Aditama yang juga menatapnya.Bagimana mungkin Joseph bisa menyalahkan istri dari tuan mudanya!?“Van, kamu bisa tunggu aku di lobby? Aku perlu membuat pelaporan kepada pihak hotel atas kekacauan ini. Bukankah begitu, Pak Joseph?”Joseph terkejut dan buru-buru ia mengangguk cepat setelah ditanya Aditama.“Hah? Ba… baiklah. Jangan lama-lama!” ucap Vania gelagapan dan langsung keluar dari ruangan itu.Walau agak kaget bagimana bisa suaminya mengerti SOP semacam itu, tapi percuma juga menanyakannya pada suaminya itu.Setelah memastikan Vania telah keluar, Joseph Hugo segera membungkukkan tubuhnya pada Aditama dengan hormat."Maafkan saya atas kejadian yang tidak mengenakan tadi, Tuan. Saya berjanji, hal seperti itu, tidak akan terjadi lagi ke depannya!"Melihat hal itu, Aditama mengerutkan kening.Mencerna dalam sepersekian detik, lalu berkata. "Bagimana Anda langsung bisa mengenali saya tadi kalau saya itu adalah pewaris keluarga Gandara?" tanya Aditama dengan alis bertaut."Panji telah mengirimkan e-mail kepada saya, Tuan. Dia memberitahu semua unit bisnis yang dikelola oleh Gandara Group dan hotel ini adalah milik keluarga Gandara!" jawab Joseph Hugo."Maka dari itu, saya langsung bisa mengenali Anda saat pertama kali melihat Anda. Demikian…"Mendengar penjelasan tersebut, Aditama mengangguk paham."Kedepannya, saya tidak mau terulang lagi! Hampir anda membocorkan identitas saya!" kata Aditama dengan tegas.Mendengar hal itu, Joseph Hugo mengerjap, jadi gelagapan tak karuan sebelum akhirnya buru-buru menguasai diri."Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bisa mengontrol diri saya tadi saat melihat Tuan Aditama hendak diusir dari hotel ini. Padahal Tuan adalah pemilik hotel ini. Bagimana mungkin saya berani mengusir Anda? Sekali lagi maafkan saya, Tuan --"Belum selesai Joseph Hugo menyelesaikan kalimatnya, Aditama sudah mengangkat tangannya, menyuruh Joseph Hugo untuk berhenti bicara.Melihat hal itu, Joseph Hugo menurut.Detik berikutnya, Aditama mengeraskan rahang dan berkata. "Tadi itu adalah yang terakhir, Pak Joseph. Saya tidak mau kejadian seperti tadi sampai terjadi lagi!" ujar Aditama, memperingati Joseph Hugo dengan nada dingin seraya menunjuk wajahnya. Dia kemudian menambahkan. "Anda mengerti?!"Joseph Hugo mengerjap untuk yang kedua kali, mencerna dalam seperkian detik ucapan Aditama sebelum akhirnya mangguk-mangguk paham."B-baik, Tuan. Saya mengerti dan saya berjanji ... tidak akan sampai keceplosan seperti tadi lagi ..." Jawab Joseph Hugo dengan terbata.Aditama mengangguk."Maaf jika saya lancang, Tuan ... Tapi, Tuan dan istri Tuan akan pulang naik apa?" tanya Joseph Hugo, mengganti topik."Naik taksi."Joseph Hugo tersentak, keningnya berkerut.Taksi?Seorang pewaris keluarga konglomerat mau menggunakan kendaraan umum?"Kalau begitu ... bagimana jika Anda dan istri Anda pulang bersama saya saja?" Kata Joseph Hugo, bermaksud hendak memberi Aditama tumpangan.Aditama mendengus dingin, melambaikan tangan. "Tidak perlu. Saya mau naik taksi saja. Saya lebih suka menggunakan kendaraan umum."Setelah mengatakan hal itu, Aditama langsung berdiri dari kursinya, lantas beranjak dari ruangan itu.Mendadak, muncul kekaguman pada sosok Aditama yang tidak mau menyentuh kemewahan sedikit pun.Di lobby, Vania masih tidak mau menatap Aditama, ia masih kesal dengan suaminya.Sebenarnya ada keinginan untuk meminta maaf karena sikapnya tadi yang sempat marah-marah kepada suaminya, akan tetapi, dia mengurungkan niatnya.Mereka berdua lalu naik taksi dan taksi pun segera meluncur dari depan hotel menuju apartemen yang akan mereka berdua tinggali.Tak butuh waktu lama bagi Aditama dan Vania untuk sampai di apartemen yang dituju.Setelah membayar ongkos taksi, mereka berdua lalu melangkah masuk ke dalam lobby."Pak, Maaf! Pengemis dilarang masuk ke lingkungan ini!"Aditama dan Vania tiba-tiba terhenti, lalu menoleh ke arah suara tersebut.Ternyata, seorang satpam bertampang garang mendatangi mereka berdua. Dari mata mereka terpancar perasaan jijik ketika menatap Aditama."Kami penghuni baru di apartemen ini!" ucap Aditama dingin.Vania yang kebingungan mengernyitkan dahinya. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, mereka memang terlihat agak lusuh. Tapi dipanggil pengemis? Sepertinya itu berlebihan."Penghuni? Saya belum pernah melihat penghuni apartemen mengenakan pakain lusuh seperti yang anda kenakan!" cibir salah satu satpam."Apa apartemen ini juga mengatur cara berpakaian penghuninya? Ini apartemen apa penjara?!" Aditama menatap satpam itu dengan tajam."Apa kau bilang?! Lancang sekali gembel sepertimu berkata seperti itu!"Di saat yang sama, seorang pria dengan pakaian rapi kebetulan melewati keributan itu.Bukannya pria itu Aditama? Sedang apa dia di sini? Pikir pria itu. Ternyata pria itu bernama Evan. Dia adalah mandor di tempat Adi
"Menyedihkan sekali kau, Tam. Ah, aku tahu ... kau pasti melakukan hal ini karena kau sudah lama menginginkan tinggal di hunian elit, tapi sampai sekarang tak pernah terwujud." Ejek Evan. "Makanya kau membual seperti ini, bermimpi tinggal di sebuah apartemen!" "Apa kau bilang?!" Ulang Aditama. Dia kemudian menambahkan seraya tergelak. "Jika dulu memang iya. Aku hanya bisa bermimpi jika menginginkan sesuatu, tapi, untuk sekarang, hal itu sudah tidak berlaku lagi bagiku dan aku sama sekali tidak membual sebagai penghuni baru di apartemen ini! Aku dan istriku memang akan menempati salah satu unit yang ada apartemen ini!" "Memang ya kau itu sudah tak waras, Tam!" Balas Evan dengan gigi gemeretak. Melihat sikap Aditama yang menjengkelkan, dua satpam itu segera bertindak, hendak menggelandang Aditama supaya pergi dari sana.Dua satpam itu lalu mencengkram lengan Aditama dan menyeretnya keluar dengan paksa.Mata Aditama seketika melebar.Apa-apaan ini? Aditama langsung mencoba melep
Kesabaran Aditama sudah habis, Evan harus dikasih paham detik ini juga! Sebenarnya, Evan memiliki dendam kesumat pada Aditama. Pasalnya, dulu semasa ia menjadi mandor, Aditama lah yang membongkar siasat busuknya karena telah menggelapkan dana proyek, termasuk uang makan para pekerjanya. Namun Aditama menyadarinya, ia lalu melaporkan hal itu pada pimpinan proyek dan membuat gajimya pada saat itu dipotong. Semenjak itu, Evan bertekad untuk membuat Aditama menderita. "Kau pasti masih dendam kepadaku karena dulu aku melaporkan perbuatan busukmu itu pada pimpinan proyek kita, kan?!" Ucap Aditama tegas dengan suara tinggi dan wajah mengeras. "Dan seharusnya ... saat itu kau sudah dipecat!" Mendengar ucapan Aditama, Evan langsung mendelik ke arah pria itu. "Apa yang kau katakan, hah!" Evan tiba-tiba gelagapan, pandangannya langsung mengedar ke sekitar. "Berani-beraninya kau mengungkit hal itu di sini!" Sontak saja, para penghuni apartemen yang lain mengerutkan kening, kasak-kusuk me
Clara menatap Aditama dengan tubuh gemetar. Ia masih memproses nama 'Panji' yang barusan dikatakan oleh Aditama. "Apakah ... Anda yang bernama ... Aditama?" Tanya Clara dengan nada hati-hati. Aditama mengangguk. Sontak saja, Clara membeku di tempat.Jadi ... Dia adalah tamu yang amat sangat penting yang sedang aku tunggu kedatangannya?Beberapa detik kemudian, Clara buru-buru mengubah ekspresi wajahnya. Tiba-tiba Clara teringat dengan pesan Panji untuk tidak membocorkan identitas Aditama yang sebenarnya dan memperlakukannya seperti orang biasa.Lalu, Clara menatap semua orang yang ada di situ satu persatu, hingga pandangannya jatuh pada Evan dan kedua satpam tersebut. Clara menggeleng-gelengkan kepala mendapati sikap mereka. Apa yang mereka lakukan kepada Aditama? Apa mereka tidak tahu ... siapa orang yang hendak mereka gelandang itu?Seketika terbit seulas senyum tipis di bibir Aditama melihat Clara bersikap demikian.Ia berharap Clara bisa mengontrol emosinya dan ingat denga
Mendapat ancaman dari Evan, tak elak membuat nyali Aditama menciut karena saat ini ia tak takut dengan ancaman ... dari ... siapa pun itu! Setelah berkata, Evan berbalik dan pergi dari sana dengan menahan malu. Sementara dua satpam yang sedari tadi menundukan kepala, mematung di tempat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat saat melihat Clara yang tengah menatap ke arah mereka. Apa yang akan dilakukan Clara kepada mereka? Setelah apa yang barusan dia lakukan kepada Evan? Lalu, Clara tampak melangkahkan kakinya menghampiri mereka, berdiri di hadapan mereka dengan tatapan dingin sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Hari ini adalah hari terakhir kalian berdua bekerja di sini!" Tegas Clara kepada dua satpam tersebut. Sontak, kedua satpam itu pun terkejut. "Apa?!" Mereka tercengang, saling pandang satu sama lain, mencerna ucapan Clara dalam sepersekian detik. Mendengar hal itu, Vania terpelongo. Ia tak mempercayai apa yang barusan ia dengar dari mulut Clara yang memecat dua s
"Aku ingin cepat beristirahat, Tam!"Mendengar hal itu, Aditama menoleh ke arah Vania. "Baik lah. Setelah ini, kita akan langsung menuju ke unit kita. Tapi, sebelum itu, aku perlu berbicara dengan Bu Clara du --" "Aku tidak tahu letak unitnya! Aku juga ... tidak mau ke sana seorang diri!" Sambar Vania memotong ucapan Aditama dengan ekspresi wajah murung.Apa yang hendak Aditama bicarakan dengan Clara? Bukan kah urusannya sudah selesai?Mendadak, Vania langsung berpikir yang tidak-tidak. Seketika mata Vania melebar. Jangan-jangan ... mereka berdua hendak membicarakan hal lain diluar urusan apartemen ini?! Sementara Aditama mengerjap begitu mendapati Vania bersikap demikian. "Aku ... tidak menyuruh kamu untuk ke sana seorang diri, Van dan tak akan aku biarkan hal itu terjadi. Tentu saja kamu akan ke sana bersamaku. Tapi setelah aku bicara dengan Bu Clara dulu. Sebentar ya ... tak akan lam --" "Tak bisa kah lain kali saja?!" Lagi dan lagi, Vania memotong ucapan Aditama dengan sua
Esok paginya, Vania tampak gelisah, mondar-mandir di dalam kamar sehabis mandi. Bagimana tidak gelisah?Ia harus segera pergi ke kantor, tapi masalahnya ia tidak punya baju sama sekali. Vania merutuki dirinya karena kemarin tidak ada pikiran untuk mengambil baju terlebih dahulu di rumah Kakeknya.Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi ... mana mungkin sempat?Kemarin, perasannya tengah kacau balau, campur aduk karena rumah tangganya nyaris saja diambang perceraian dan ia juga diusir oleh Kakeknya. Disaat itu, Aditama muncul --masuk ke dalam kamar. Melihat istrinya yang hanya mengenakan handuk ditubuhnya, dililitkan sebatas dada, membuatnya membeku. Tiba-tiba terbit senyum tipis di bibir Aditama. Aditama menatap Vania untuk beberapa saat tanpa berkedip, tak mau melewatkan tubuh indah istrinya yang tengah terpapang jelas di depan matanya. Kapan lagi ia bisa memandangnya? Kalau bukan sekarang? Namun tiba-tiba Aditama teringat sesuatu. Kenapa barusan Vania mondar mandir? Terlih
Vania masih tampak kebingungan sekaligus penasaran, belum puas mendengar penjelasan Aditama. Kepalanya masih terasa berat, ia hendak bertanya, mengintrogasi sang suami lebih lanjut. Akan tetapi, ketika ia menyadari jika ia harus segera berangkat ke kantor, ia pun mengurungkan niatnya. Lagi pula, ia sudah tidak bingung lagi soal pakaian, kini sudah ada banyak pakaian didepan mata dan itu memang diperuntukan untuknya. Akhirnya, tanpa mempedulikan apa pun lagi, Vania bangkit dari kasur, berjalan menuju ke arah lemari dan menarik salah satu pakaian dari dalam sana untuk ia kenakan. **Setelah selesai berganti baju dan sarapan, Vania dan Aditama pun bersiap hendak berangkat. "Yuk kita berangkat sekarang, Tam ... aku sudah agak telat nih." Ucap Vania seraya melangkahkan kakinya, mendahului Aditama. "Vania ..." Aditama berseru, menahan Vania. Mendengar seruan Aditama, membuat Vania menghentikan langkah. Lalu, ia berbalik dan menatap Aditama kembali. "Ada apa, Tam?" Tanya Vania den