"Maksud saya, anda, Tuan Edward!" ucap Joseph menyela Edward dengan cepat.
Apa?!Mendengar namanya disebut, Edward gelagapan dan menatap Joseph, diikuti tatapan keterkejutan anggota keluarga Hermanto lainnya.Sementara Vania yang awalnya begitu ketakutan Aditama akan mendapat masalah besar, melebarkan matanya."Tunggu... Pak Joseph tidak salah orang kan?! Pria sampah itu yang seharusnya anda usir! Anda tahu ayah saya kan, keluarga Bintoro yang kaya itu?!" elak Edward tak terima."Betul Pak Joseph, seharusnya bukan Edward yang diusir! Pria ini justru yang tiba-tiba masuk dan mengacau acara kami!" ucap Bastian berusaha menahan Joseph.Seluruh anggota keluarga Hermanto berusaha mendukung Edward dengan segala cara.Jika Edward sampai diusir, maka perjanjian bisnis antara keluarga Hermanto dan keluarga Bintoro akan gagal.Tentu saja hal itu akan membuat keluarga Hermanto sangat dirugikan di sini!"Anda mempertanyakan keputusan saya?! Saya manajer di hotel ini! Ketertiban hotel adalah tanggung jawab saya!" ucap Joseph menatap Edward tajam."Ta...tapi, Pak Joseph... saya..."Edward seketika tergagap. Walaupun ia dari keluarga terpandang, Edward tahu di hotel ini ia tidak memiliki kuasa apa-apa."Terima kasih, Pak Joseph," ucap Aditama, seraya menarik Vania ke dekapannya.Pemandangan yang di depan mata Edward benar-benar menjatuhkan harga dirinya. Ia mengepalkan tangan kesal melihat tatapan meremehkan yang dilontarkan Aditama!Sementara Vania menatap Aditama dengan tatapan sayu. Ia merasa Aditama yang sekarang benar-benar berbeda!"Kau! Kalau saja kau tidak datang, Vania pasti sudah jadi milikku! Dasar pengacau!" bentak Edward dengan wajah memerah.Pria itu langsung merangsek maju dan langsung mendaratkan tinjunya ke arah Aditama.Namun, Aditama dengan sigap menangkap tinju Edward dan langsung memelintir tangannya dengan cepat!"Menghancurkanku?" ucap Aditama tertawa sambil meremas tangan Edward yang merintih kesakitan, "Menyentuhku saja kau tidak bisa, dan sekarang kau malah mengancamku?"Lalu, ia langsung mendorong Edward hingga terjungkal ke depan."Aditama! Cukup!" ucap Vania panik seraya menahan tubuh Aditama.Aditama menatap istrinya itu dengan serius, "Van, mulai sekarang, aku tidak akan pernah membiarkanmu direndahkan orang lain lagi!"Vania terdiam, ia merasakan kehangatan dari sikap Aditama yang sebelumnya tak pernah ia tunjukkan.Sementara itu, Edward dengan gemetar berusaha berdiri. Wajahnya memancarkan kemarahan sekaligus ketakutan."Aku tidak terima! Aku, Edward Bintoro, akan balas dendam pada kalian!" ucap putra keluarga Bintoro itu, menepis tangan Bastian yang hendak membantunya berdiri."Seharusnya kalian bisa mengurus menantu sampah ini! Lihat saja, karena kalian telah mempermalukanku, aku akan membuat keluarga kalian menderita!"Edward pun pergi dari sana dengan sempoyongan, diikuti tatapan ketakutan para anggota keluarga Hermanto."Lihat semua perbuatan bodohmu ini, Aditama! Kalau saja kamu tak muncul, Kita akan sukses mendapat kerjasama dengan Gandara group dan tak bermusuhan dengan keluarga Bintoro!" ucap kakek Hermanto dengan marah.Mendengar itu, wajah Aditama mengeras sambil menatap mereka satu persatu."Salahku?! Kalau saja perjodohan bodoh ini tidak kalian rancang, semua ini tak akan terjadi! Suami mana yang hanya diam melihat istrinya diperlakukan seperti ini?!"Kakek Hermanto melotot mendengar perkataan Aditama."Aditama! Kau..."DEG!Tiba-tiba, kakek Hermanto meremas dadanya. Wajahnya terlihat kesakitan."Kakek! Kakek kenapa?!"Vania menahan tubuh kakeknya yang tiba-tiba tumbang!"Ayah!" ucap Bastian panik seraya mendorong Vania menjauh dari Kakek Hermanto."Sialan, semuanya gara-gara kamu dan suamimu yang tak berguna itu, Vania!"Semua orang seketika panik, apalagi ketika melihat wajah Kakek Hermanto yang sudah mulai membiru."Berhenti bertengkar! Cepat bantu aku membawa Ayah ke mobil!" bentak Bastian yang langsung berusaha membopong kepala keluarga Hermanto itu bersama anggota keluarga lainnya.Namun, saat Vania dan Aditama hendak ikut membopong, tangannya ditepis oleh Bastian."Jangan pura-pura peduli kepada kakekmu!" bentak Bastian sebelum kemudian pindah menatap Aditama. "Terutama kamu, bajingan tidak berguna!"Makian itu membuat Vania mematung, sedangkan Aditama memegangi tangan istrinya itu, berusaha menenangkannya."Paman ... aku hanya ingin membantu ...," balas Vania dengan sedikit terisak."Membantu?! Kalau kamu bersedia membantu, seharusnya kamu menurut dan membiarkan Edward melakukan apa pun padamu!" teriak Bastian. "Tidak perlu mementingkan dia lagi, ayo pergi!" titahnya yang langsung diikuti anggota keluarga lainnya.Selagi Bastian dan beberapa anggota keluarga lain menggotong tubuh Kakek Hermanto pergi, Stephanie melotot ke arah Vania dan memasang ekspresi kecewa. "Kamu sudah mempermalukan mama di depan keluarga besar!" bentaknya. "Jangan temui Mama lagi! Malu Mama punya anak seperti kamu!"Setelah mengatakan hal itu, Stephanie pun langsung melenggang pergi, meninggalkan Vania yang mulai menangis.Sementara itu Bella menatap Vania, hendak berbicara sesuatu. Namun, Susan berteriak, "Bella, kenapa diam saja!? Ayo kita pergi!"Teriakan itu langsung mengurungkan niat Bella untuk berbicara dengan Vania. Akhirnya, sebelum pergi, ia hanya bisa tersenyum kecil pada Vania yang masih bergeming, berniat menguatkan.Setelah semuanya pergi, Aditama menoleh menatap Vania. "Van ....""Kacau ... semuanya kacau karena diriku!" seru Vania seraya mulai menangis tersedu.Melihat hal itu, alis Aditama tertaut. Dia mengusap kepala istrinya itu. "Van, tenang saja. Aku akan memperbaiki semuanya..."Mendengar ucapan Aditama, Vania langsung mendelik ke arah sang suami. "Memperbaiki?!" ulangnya dengan nada tidak percaya. "Tama! Aku melakukan ini semua demi biaya operasi ibumu! Sekarang apa?! Biaya operasi ibumu lenyap, kita pun diusir dan dikucilkan keluargaku! Bagaimana cara memperbaikinya ketika kita tidak punya apa-apa!?" bentak Vania sambil terisak.Vania tak habis pikir, kenapa suaminya masih keras kepala, bahkan ketika nyawa ibunya yang jadi taruhannya?!"Dan sekarang, di mana kita akan tinggal? Andai saja Ayah masih hidup, kita tidak akan terjebak di situasi pelik ini!" pekik istrinya lagi, yang langsung dipeluk Aditama."Vania... masalah ibuku, kamu tidak perlu khawatir lagi. Semuanya sudah lunas," ucap Aditama seraya tersenyum.Sontak, Vania terkejut. "Lunas?" Dia mengulangi ucapan sang suami. "Apa maksudmu lunas? Bagaimana mungkin!?"Apa mungkin suaminya itu meminjam uang ke sembarang orang? Atau ... Jangan-jangan suaminya itu menjual ginjal!?"Aditama! Apa yang sudah kamu lakukan!? Kamu tidak berbuat macam-macam 'kan?!"Aditama tersenyum setengah tak berdaya. "Tenanglah, kenalanku yang melunasi semuanya."Vania terpana. "Kenalan ... mu?"Beberapa tahun menikah, Vania tidak pernah melihat Aditama memiliki kenalan selain teman-teman tukang angkut bangunannya. Walau semua orang itu ramah dan baik hati, tapi tidak mungkin mereka punya uang sebanyak itu!Belum sempat mendapatkan jawaban yang dirinya inginkan, Vania kembali dikejutkan dengan satu pernyataan lain sang suami."Dan untuk tempat tinggal, aku mendapatkan sebuah apartemen untuk kita tinggali."Mendengar hal tersebut, Vania terbelalak. "Apa?!" pekiknya seraya menatap sang suami untuk beberapa saat. "K-kamu mendapatkan apartemen untuk tempat tinggal kita?!” Aditama mengangguk seraya tersenyum. Vania terbengong, mencerna perkataan sang suami. "Bagimana mungkin kamu bisa mendapatkan apartemen?" tanyanya setelah terdiam sesaat. "Dari kenalanku yang telah melunasi biaya operasi Ibuku juga, Van. Kebetulan, apartemennya tidak ditinggali dan disewakan kepadaku dengan harga yang murah," jelas Aditama. "Lalu, bagimana caranya kita akan membayarnya, Tam? Gaji kamu itu kecil, Tam. Pasti tidak akan cukup!" "Kamu tidak perlu memikirkan hal itu, Van. Biar aku yang memikirkannya. Untuk sekarang yang terpenting adalah kita sudah mendapatkan tempat tinggal."Vania terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi.Di detik berikutnya, kepalanya mendadak terasa nyut-nyutan.Rasa-rasanya, dia masih belum bisa mempercayai apa yang dikatakan oleh suaminya itu. Namun tiba-tiba Vania tersadar dan m
Aditama dan Vania tiba-tiba terhenti, lalu menoleh ke arah suara tersebut.Ternyata, seorang satpam bertampang garang mendatangi mereka berdua. Dari mata mereka terpancar perasaan jijik ketika menatap Aditama."Kami penghuni baru di apartemen ini!" ucap Aditama dingin.Vania yang kebingungan mengernyitkan dahinya. Dilihat dari pakaian yang mereka kenakan, mereka memang terlihat agak lusuh. Tapi dipanggil pengemis? Sepertinya itu berlebihan."Penghuni? Saya belum pernah melihat penghuni apartemen mengenakan pakain lusuh seperti yang anda kenakan!" cibir salah satu satpam."Apa apartemen ini juga mengatur cara berpakaian penghuninya? Ini apartemen apa penjara?!" Aditama menatap satpam itu dengan tajam."Apa kau bilang?! Lancang sekali gembel sepertimu berkata seperti itu!"Di saat yang sama, seorang pria dengan pakaian rapi kebetulan melewati keributan itu.Bukannya pria itu Aditama? Sedang apa dia di sini? Pikir pria itu. Ternyata pria itu bernama Evan. Dia adalah mandor di tempat Adi
"Menyedihkan sekali kau, Tam. Ah, aku tahu ... kau pasti melakukan hal ini karena kau sudah lama menginginkan tinggal di hunian elit, tapi sampai sekarang tak pernah terwujud." Ejek Evan. "Makanya kau membual seperti ini, bermimpi tinggal di sebuah apartemen!" "Apa kau bilang?!" Ulang Aditama. Dia kemudian menambahkan seraya tergelak. "Jika dulu memang iya. Aku hanya bisa bermimpi jika menginginkan sesuatu, tapi, untuk sekarang, hal itu sudah tidak berlaku lagi bagiku dan aku sama sekali tidak membual sebagai penghuni baru di apartemen ini! Aku dan istriku memang akan menempati salah satu unit yang ada apartemen ini!" "Memang ya kau itu sudah tak waras, Tam!" Balas Evan dengan gigi gemeretak. Melihat sikap Aditama yang menjengkelkan, dua satpam itu segera bertindak, hendak menggelandang Aditama supaya pergi dari sana.Dua satpam itu lalu mencengkram lengan Aditama dan menyeretnya keluar dengan paksa.Mata Aditama seketika melebar.Apa-apaan ini? Aditama langsung mencoba melep
Kesabaran Aditama sudah habis, Evan harus dikasih paham detik ini juga! Sebenarnya, Evan memiliki dendam kesumat pada Aditama. Pasalnya, dulu semasa ia menjadi mandor, Aditama lah yang membongkar siasat busuknya karena telah menggelapkan dana proyek, termasuk uang makan para pekerjanya. Namun Aditama menyadarinya, ia lalu melaporkan hal itu pada pimpinan proyek dan membuat gajimya pada saat itu dipotong. Semenjak itu, Evan bertekad untuk membuat Aditama menderita. "Kau pasti masih dendam kepadaku karena dulu aku melaporkan perbuatan busukmu itu pada pimpinan proyek kita, kan?!" Ucap Aditama tegas dengan suara tinggi dan wajah mengeras. "Dan seharusnya ... saat itu kau sudah dipecat!" Mendengar ucapan Aditama, Evan langsung mendelik ke arah pria itu. "Apa yang kau katakan, hah!" Evan tiba-tiba gelagapan, pandangannya langsung mengedar ke sekitar. "Berani-beraninya kau mengungkit hal itu di sini!" Sontak saja, para penghuni apartemen yang lain mengerutkan kening, kasak-kusuk me
Clara menatap Aditama dengan tubuh gemetar. Ia masih memproses nama 'Panji' yang barusan dikatakan oleh Aditama. "Apakah ... Anda yang bernama ... Aditama?" Tanya Clara dengan nada hati-hati. Aditama mengangguk. Sontak saja, Clara membeku di tempat.Jadi ... Dia adalah tamu yang amat sangat penting yang sedang aku tunggu kedatangannya?Beberapa detik kemudian, Clara buru-buru mengubah ekspresi wajahnya. Tiba-tiba Clara teringat dengan pesan Panji untuk tidak membocorkan identitas Aditama yang sebenarnya dan memperlakukannya seperti orang biasa.Lalu, Clara menatap semua orang yang ada di situ satu persatu, hingga pandangannya jatuh pada Evan dan kedua satpam tersebut. Clara menggeleng-gelengkan kepala mendapati sikap mereka. Apa yang mereka lakukan kepada Aditama? Apa mereka tidak tahu ... siapa orang yang hendak mereka gelandang itu?Seketika terbit seulas senyum tipis di bibir Aditama melihat Clara bersikap demikian.Ia berharap Clara bisa mengontrol emosinya dan ingat denga
Mendapat ancaman dari Evan, tak elak membuat nyali Aditama menciut karena saat ini ia tak takut dengan ancaman ... dari ... siapa pun itu! Setelah berkata, Evan berbalik dan pergi dari sana dengan menahan malu. Sementara dua satpam yang sedari tadi menundukan kepala, mematung di tempat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat saat melihat Clara yang tengah menatap ke arah mereka. Apa yang akan dilakukan Clara kepada mereka? Setelah apa yang barusan dia lakukan kepada Evan? Lalu, Clara tampak melangkahkan kakinya menghampiri mereka, berdiri di hadapan mereka dengan tatapan dingin sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Hari ini adalah hari terakhir kalian berdua bekerja di sini!" Tegas Clara kepada dua satpam tersebut. Sontak, kedua satpam itu pun terkejut. "Apa?!" Mereka tercengang, saling pandang satu sama lain, mencerna ucapan Clara dalam sepersekian detik. Mendengar hal itu, Vania terpelongo. Ia tak mempercayai apa yang barusan ia dengar dari mulut Clara yang memecat dua s
"Aku ingin cepat beristirahat, Tam!"Mendengar hal itu, Aditama menoleh ke arah Vania. "Baik lah. Setelah ini, kita akan langsung menuju ke unit kita. Tapi, sebelum itu, aku perlu berbicara dengan Bu Clara du --" "Aku tidak tahu letak unitnya! Aku juga ... tidak mau ke sana seorang diri!" Sambar Vania memotong ucapan Aditama dengan ekspresi wajah murung.Apa yang hendak Aditama bicarakan dengan Clara? Bukan kah urusannya sudah selesai?Mendadak, Vania langsung berpikir yang tidak-tidak. Seketika mata Vania melebar. Jangan-jangan ... mereka berdua hendak membicarakan hal lain diluar urusan apartemen ini?! Sementara Aditama mengerjap begitu mendapati Vania bersikap demikian. "Aku ... tidak menyuruh kamu untuk ke sana seorang diri, Van dan tak akan aku biarkan hal itu terjadi. Tentu saja kamu akan ke sana bersamaku. Tapi setelah aku bicara dengan Bu Clara dulu. Sebentar ya ... tak akan lam --" "Tak bisa kah lain kali saja?!" Lagi dan lagi, Vania memotong ucapan Aditama dengan sua
Esok paginya, Vania tampak gelisah, mondar-mandir di dalam kamar sehabis mandi. Bagimana tidak gelisah?Ia harus segera pergi ke kantor, tapi masalahnya ia tidak punya baju sama sekali. Vania merutuki dirinya karena kemarin tidak ada pikiran untuk mengambil baju terlebih dahulu di rumah Kakeknya.Akan tetapi, setelah dipikir-pikir lagi ... mana mungkin sempat?Kemarin, perasannya tengah kacau balau, campur aduk karena rumah tangganya nyaris saja diambang perceraian dan ia juga diusir oleh Kakeknya. Disaat itu, Aditama muncul --masuk ke dalam kamar. Melihat istrinya yang hanya mengenakan handuk ditubuhnya, dililitkan sebatas dada, membuatnya membeku. Tiba-tiba terbit senyum tipis di bibir Aditama. Aditama menatap Vania untuk beberapa saat tanpa berkedip, tak mau melewatkan tubuh indah istrinya yang tengah terpapang jelas di depan matanya. Kapan lagi ia bisa memandangnya? Kalau bukan sekarang? Namun tiba-tiba Aditama teringat sesuatu. Kenapa barusan Vania mondar mandir? Terlih