Share

Pertemuan Pertama

Kelap-kelip lampu discotik sangat menyilaukan bersamaan dengan musik yang memekakkan telinga. Baik wanita maupun pria asyik berjoget ria. Salah satunya adalah seorang gadis berumur delapan belas tahun yang bernama Zidny Sandika. Namun, di sini ia dikenal bernama Sansan. 

Gadis itu menarik pria tua hidung belang yang sering datang ke sini. Sansan meraba jakun pria tua itu, mengusapnya pelan. Tampak pria tua itu sangat menikmati elusan tangan Sansan.

"Om David, malam ini harus bayar lebih, ya," ucap Sansan dengan suara menggoda.

"Kamu tenang aja, Cantik. Nanti Om transfer dua kali lipat." Pria tua yang bernama David itu meraba bagian dada Sansan yang menonjol. Sesekali David mencubit pelan area itu. Sansan tetap tersenyum lebar. Ia mengusap pipi David, lalu menempelkan bibirnya ke pipi kanan David dengan lembut.

David lalu mengajak Sansan duduk di sofa. Ia menikmati setiap elusan yang diberikan Sansan. Bir sudah tersedia si hadapannya. Gadis itu memberikan gelas yang sudah ia isi dengan bir kepada David.

"Terima kasih, Sayang. Kamu gak minum?"

"Nggak, Om."

Sansan memang tidak pernah meminum minuman keras seperti itu. Ia hanya datang untuk menghibur dan melayani pria hidung belang yang berdompet tebal. Sansan juga akan menolak jika mereka mengajaknya berhubungan ranjang. Sansan belum siap untuk itu.

Sansan melayani David sampai pria tua itu tertidur akibat terlalu banyak mabuk-mabukan. Gadis itu melirik alroji yang melingkar di tangannya. Sudah pukul sebelas malam. Sansan harus segera pulang.

Setelah memastikan David tertidur pulas. Ia beranjak dari situ menuju ruangan pribadinya. 

"Bagaimana Sansan, lancar?" tanya Dewi—salah satu teman Sansan yang sering datang ke sini.

"Lancar, Sist."

"Mau pulang sekarang? Gak nginap di sini aja?" tawar Dewi mengingat sudah terlalu larut. Club ini terdapat kamar di lantai atas yang bisa digunakan untuk menginap.

"Pulang aja, deh, Sist. Takut nenek aku nyariin."

"Ya udah, hati-hati."

"Iya, Sist."

Sansan menarik ranselnya, lalu masuk ke toilet. Ia akan berganti baju di sana. Baju yang awalnya dipakai oleh Sansan sangat terbuka, ketat, dan pendek. Sekarang berganti dengan baju gamis dan hijab yang melilit di kepalanya menutup dada. Tak lupa Sansan mencuci muka, menghapus semua make up di wajahnya. 

Sangat berbeda dengan penampilannya yang tadi. Ya, mungkin sekarang jika ditanya siapa namanya, maka Sansan menjawab namanya adalah Zidny, bukan Sansan.

Setelah selesai berganti pakaian. Sansan—atau bisa disebut sekarang Zidny—berpamitan dengan Dewi untuk pulang. Ia lalu keluar dari pintu belakang. 

***

"Sampai kapan lo mau kayak gini terus, Zid?" 

Sebuah suara langsung menghentikan langkah Zidny yang hendak masuk ke dalam mobilnya. Ia menoleh singkat, menatap sang pemilik suara. Ternyata suara itu milik Alvian—mantan kekasih Zidny.

"Bukan urusan lo," jawab Zidny singkat, segera masuk ke mobilnya.

Zidny langsung menghidupkan mobilnya dan pergi meninggalkan Alvian yang masih berdiri mematung di sana.

"Sebenarnya gue masih cinta sama lo, Zid. Andai lo gak kayak gini. Gue pasti akan balikan lagi sama lo." Alvian menghela napas gusar, lalu menggeleng. Kisah cintanya dengan Zidny di bangku SMA terlintas di pikiran Alvian membuat rasa rindu membendung di hatinya.

***

Setelah sampai rumah. Zidny membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa. Lampu masih menyala menandakan jika Ninu—Nenek Sansan—belum tidur.

"Kenapa baru pulang, Nak?" tanya Ninu yang duduk di sofa. Zidny segera menghampiri wanita paruh baya itu, lalu mencium punggung tangannya.

"Ehm, biasa, Nek. Ada banyak kerjaan di kantor, jadi aku lembur lagi."

"Kasihan sekali cucu Nenek. Ya udah, jangan lupa bersih-bersih, setelah itu tidur. Istirahat ya, Nak."

"Iya, Nek. Nenek juga tidur, gih."

"Iya, Nak."

Zidny mengantarkan Ninu ke kamarnya. Setelah neneknya itu berbaring di ranjang. Zidny berlalu dari situ menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Mata Zidny tak sengaja menatap figura yang terpajang di dinding menuju kamarnya. Tampak sebuah keluarga lengkap yang ia rindukan. Namun, detik selanjutnya Zidny menggeleng. Untuk apa merindukan orang tua yang tak menganggap dirinya ada di dunia. Foto itu hanya sandiwara saja. Zidny bergegas menaiki tangga. Besok ia akan memindahkan foto itu agar tak terlihat lagi olehnya. 

***

Malam ini adalah malam paling buruk bagi pria bernama lengkap Zidan Leonli. Bagaimana tidak? Ia melihat sang kekasih selingkuh dengan mata kepala sendiri. Reni berselingkuh dengan sepupunya sendiri—Doni. 

Zidan duduk di balkon kamarnya sembari merenung. Mengingat-ingat apa kesalahan yang telah diperbuatnya sehingga membuat Reni berpaling darinya. 

"Kamu terlalu memaksa aku menikah cepat. Aku masih berumur dua puluh tahun, aku mau menikmati masa mudaku dulu, bukan nikah mudah dengan kamu." Perkataan Reni yang selalu ia lontarkan saat Zidan mengajak Reni ke jenjang lebih serius terngiang-ngiang oleh Zidan. 

Apa karena itu alasannya? 

Zidan sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Memang sudah sepatutnya ia menikah. Tak bisa disalahkan jika Wanti—Ibu kandung Zidan—selalu mendesak Zidan agar cepat menikah. Wanti sangat malu ketika teman-temannya bertanya mengenai cucu, sedangkan anak semata wayangnya tak kunjung menikah.

"Mama pasti terus mendesak gue," ucap Zidan mengembuskan napas gusar.

Zidan bangkit, lalu menutup pintu balkonnya, beralih menaiki kasur dan berbaring di sana. Ia mencoba menutup mata agar bisa tertidur. Berharap apa yang ia lihat hari ini hanyalah mimpi.

***

Pagi menyambut dengan cerah. Matahari tampak tak malu-malu menampakan dirinya. Namun, cerahnya pagi ini tak secerah muka Zidan yang tampak lesu.

"Ada apa denganmu?" tanya Wanti.

"Nggak pa-pa, Ma." 

"Kamu pasti ada masalah, cerita aja sama Mama."

"Aku baik-baik aja kok, Ma."

"Terus, kapan kamu bisa kabulin permintaan Mama? Ingat, Zi, umur kamu segitu harusnya udah punya anak dua. Mama malu kalau ditanya terus sama teman-teman Mama."

"Mama aja sana yang nikah lagi. Cari istri ga semudah itu, Ma."

"Sulit sekali bagi kamu cari istri? Kamu memiliki wajah tampan dan berkecukupan untuk berumah tangga, pacar kamu saja yang sok jual mahal."

"Ma, jangan salahin Reni terus."

"Lalu Mama harus salahin siapa? Kayaknya Mama harus cariin kamu istri secepatnya."

Inilah yang paling tak disukai oleh Zidan jika berdebat dengan Wanti. Apalagi perdebatan itu terjadi pada pagi hari, membuat Zidan kehilangan nafsu saja.

Pria berbulu mata lentik itu menarik kunci mobilnya, lalu berlalu dari sana meninggalkan Wanti yang masih mengoceh di meja makan.

***

"Ada apa, Bro? Kenapa pagi-pagi sudah kusut seperti ini?" tanya Rifan—sahabat dan rekan kerja Zidan.

"Cariin gue istri dong, Fan."

"Wis, berat, nih, kayaknya. Bukannya lo udah punya Reni? Kalian udah pacaran dua tahun, loh."

"Reni selingkuh."

Mata Rifan melebar, ia memilih duduk di samping Zidan menatap pria itu serius.

"Cowok secakep dan setajir lo masih diselingkuhin? Wah, bakal nyesal tuh si Reni. By the way, selingkuhnya sama siapa?"

"Doni. Sepupu gue."

"Wadaw, sabar ya, Bro. Ini nih salah satu akibat ngenalin pacar ke kerabat sendiri. Kalau hubungan lo gak didukung ya paling ditikung."

"Apaan, sih, lo. Udah, ah. Sekarang, bantuin gue mikir gimana bisa move on dari Reni."

"Makanya, Bro. Gue ajakin ke club kagak mau. Banyak, tuh, cewek cantik dengan body aduhai di sana yang bisa lo pilih."

"Lo pikir gue mau sama cewek murahan?" 

"Eits, Brother. Buat muasin nafsu aja, bayaran mereka gak akan bikin lo bangkrut kok. Percaya sama gue! Yuklah, ke club malam ini bareng gue."

Rifan merangkul pundak Zidan lalu membisikan sesuatu yang membuat Zidan akhirnya mengangguk setuju.

***

Untuk pertama kalinya, malam ini seorang Zidan Leonli datang ke club atas ajakan Rifan yang memaksanya. Baru melangkah masuk saja suasana di club sudah terasa beda. Cahaya yang hanya samar-samar dengan musik yang memekakkan telinga menjadi kesan pertama bagi Zidan. Apalagi melihat banyaknya pria dan wanita yang asyik berjoget ria sambil mabuk-mabukan.

Para bartender datang menawarkan minuman berakohol yang langsung ditolak oleh Zidan. Sedangkan Rifan dengan senang hati menerima bir itu dan langsung menonohnya. 

"Aduh, Bro! Lo harus cobain. Mantap banget ini," ucap Rifan menyodorkan gelasnya pada Zidan.

"Tapi gue gak mau mabuk--"

"Udahlah, kita lupakan semua masalah. Saatnya bersenang-senang."

Akhirnya, Zidan menarik satu gelas yang berisi bir itu, tanpa pikir panjang lagi Zidan langsung meminum hingga tandas. Lidah Zidan terasa tebal karena minuman keras itu. Namun, mengingat semua masalah yang tengah menimpanya akhir-akhir ini membuat Zidan menambah bir itu berkali-kali sampai ia kehilangan kendali. 

Rifan yang sejak tadi sudah mabuk, berjalan gontai ke arah panggung, ikut berjoget dengan puluhan orang di sana. Zidan memegang pelipisnya. Kepala Zidan terasa berat dan penglihatannya semakin tidak jelas. 

Mata Zidan tak sengaja menatap seorang gadis di hadapannya. Zidan tersenyum ketika melihat gadis itu tampak seperti Reni—mantan kekasihnya. Zidan pun menarik gadis itu duduk bersamanya. Ternyata gadis yang disangka Reni oleh Zidan adalah Sansan.

"Kamu akan jadi milikku seutuhnya," bisik Zidan di telinga Sansan yang membuat gadis itu bergidik ngeri. Tampak sekali pria itu sudah mabuk melewati batas.

Apa gue kabur aja, ya? batin Sansan. Namun, saat melihat penampilan pria mabuk itu yang sangat rapi, terbukti jika ia pasti orang kaya. Sansan harus memanfaatkan itu.

"Aku akan melayanimu, tetapi harus sepadan dengan bayaranku," ucap Sansan dengan suara menggodanya. Ia menarik krah kemeja yang dipakai oleh Zidan, lalu mencium pipi pria itu dengan lembut. Sentuhan demi sentuhan diberikan oleh Sansan teruntuk Zidan. Pria itu sangat menikmati, pikirannya semakin kacau tidak bisa berpikir lebih jernih untuk saat ini. 

Zidan menangkup muka Sansan dengan kedua tangannya, lalu memiringkan mukanya dan langsung melumat bibir merah Sansan dengan ganas. Zidan melumat dengan rakus dan menggigit pelan ujung bibir Sansan. Gadis itu terkejut dengan aksi Zidan tanpa meminta izin terlebih dahulu padanya. Sansan kesusahan bernapas, karena Zidan belum juga melepaskan ciumannya. Terpaksa Sansan mendorong tubuh Zidan.

"Siapa lo beraninya ngambil first kiss gue!" bentak Sansan.

"Aku Zidan. Aku Zidan, calon suami kamu." Zidan terkekeh, lalu kembali mencium bibir Sansan, tetapi kali ini gadis itu menghindar.

"Mau ke mana, Sayang?"

"Om-om mesum! Pergi gak lo!" ucap Sansan. Ia sudah salah target. Tak seharusnya ia mengincar pria mabuk berat seperti ini.

"Sini, Sayang! Aku mau kamu," ucap Zidan berhasil mendekap Sansan ke pelukannya. Sansan tak melawan, karena jika ia bergerak maka dekapan pria itu semakin kuat.

Zidan malah menyodorkan gelas yang berisi bir ke arah mulut Sansan. Gadis itu menggeleng, tetapi Zidan memaksa. Sampai akhirnya, satu gelas habis oleh Sansan. 

Zidan terkekeh, lalu mencium pipi Sansan pelan. Ia juga menggigit gemas pipi gadis itu. Sansan merasakan kepalanya mulai memberat, pikirannya sudah mulau keruh. Bayang-bayang tentang kekuarganya selama ini melintas di pikirannya. Selama ini Sansan tak pernah merasakan apa itu keluarga. Sansan menggumpal tangannya. Ingin melepaskan semua emosinya saat ini. Tanpa disodorkan oleh Zidan lagi, kini Sansan sendiri yang menuangkan bir itu ke gelasnya dan menghabiskannya dengan cepat. Entah sudah berapa gelas dihabiskan oleh Sansan hingga membuat badannya terasa melayang.

Zidan menggendong tubuh Sansan yang hendak tertidur, berat di kepalanya membuat Sansan menutup mata. Pria itu dalam keadaan mabuk membawa gadis di gendongannya itu ke lantai atas club. Ia kesusahan menaiki tangga, karena menggendong badan Sansan.

Zidan berjalan ke salah satu kamar yang ada di sana. Tidak ada penerangan, cahaya pun hanya remang-remang. Di sini tidak seberisik di bawah, karena lantai ini dikhususkan untuk tidur.

Zidan mendorong pintu dengan kakinya. Setelah pintu itu berhasil terbuka, ia membaringkan Sansan ke atas ranjang. Zidan mulai membuka kancing bajunya dan melepaskan celananya. Ia menaiki kasur, lalu merobek baju yang dipakai Sansan menampakkan buah dada gadis itu.

"Kamu adalah milikku malam ini," ucap Zidan menjilati dada Sansan. 

Malam itu menjadi kepuasan bagi Zidan. Sedangkan, bagi Sansan adalah malam paling buruk yang tak akan terlupakan.

***

Hallo-ha.

Aku gak akan lanjutin adegannya yang setelah itu, karena aku pun belum cukup umur untuk itu, dan aku juga gak terlalu paham tentang itu. So, thank you yang udah baca. Silakan lanjutkan imajinasi kalian sendiri, ya. Hehe.

Terima kasih semua. Baca kelanjutannya, ya.

Salam hangat,

~Amalia Ulan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status