Share

Penyesalan

Sansan menggumpal tangannya kesal. Hampir seharian ia tidak keluar kamar. Sejak kepulangannya subuh tadi, Sansan masuk ke rumahnya melalui tangga menuju lantai atas menuju kamarnya. Sansan tak kunjung keluar kamar.

Berulang kali Nuni memanggilnya, tetapi Sansan beralasan sedang tidak enak badan dan ingin beristirahat saja di kamarnya.

"Bodoh ... bego ... goblok! Argh!" teriaknya frustrasi. Sansan menggaruk kepalanya dan mengacak rambutnya kesal.

"Bodoh banget sih gue!" ucap Sansan menyesali apa yang telah diperbuatnya.

Pukul tiga pagi tadi, saat ia terbangun dari tidurnya. Sansan sudah tidak memakai benang sehelai pun. Badannya terbalut dengan selimut bersama seorang pria yang telah merenggut mahkota dalam hidupnya. Untung saja Sansan membawa pakaian gantinya.

"Ma--maaf," ucap Zidan menyadari apa yang telah dilakukannya.

"Puas lo malam ini?" tanya Sansan dengan air mata yang mulai berjatuhan.

"Maaf, saya ...."

"Gue hanya butuh kartu nama lo," ucap Sansan tanpa menatap pria itu. Zidan akhirnya memberikan kartu namanya kepada Sansan yang diambil cepat oleh gadis itu.

"Sekarang carikan tas gue cepat!" suruh Sansan.

"Di mana?"

"Kamar kosong tujuh," jawab Sansan datar. 

"Oke."

Setelah Zidan memberikan tas Sansan, ia pun pergi meninggalkan club. Sansan memakai baju yang dibawanya itu dahulu, baru pulang ke rumah.

Sansan menggeleng membayangkan kejadian itu dengan air mata yang terus menetes membuat aliran sungai kecil di pipinya. Ia sudah gagal menjadi seorang gadis. Sansan pasti membuat neneknya kecewa. Sansan sangat menyesal.

"Zid, kamu belum makan, loh, Nak. Makan dulu, yuk!" teriak Nuni di balik pintu. Sansan sangat malu menampakkan wajahnya sekarang di depan neneknya. 

"Aku gak lapar, Nek. Nenek makan sendiri aja, ya," jawab Sansan.

"Ya sudah, tapi kalau lapar ambil sendiri di dapur ya, Nak."

"Iya, Nek."

Walaupun perut Sansan terasa keroncongan sekarang, tetapi ia sama sekali tidak memiliki selera untuk makan. Sansan terus menangisi perbuatannya semalam. 

Tangan Sansan merogoh sakunya, menatap kartu nama di tangannya. 

"Zidan Leonli. Gue harus minta pertanggungjawaban lo!" ujar Sansan bertekad kuat. Matanya membulat, gigi dan gerahamnya beradu kuat. Tangan Sansan terkepal erat.

 ***

Lain tempat, Zidan tampak merenung memikirkan apa yang sudah terjadi semalam. Inilah akibat ia mabuk-mabukan tidak kenal tempat. Zidan benar-benar sudah kehilangan kesadarannya tadi malam sehingga meliampaskan semuanya pada gadis itu.

"Bro, gue minta maaf. Gue--"

Zidan mengangkat tangannya, menyuruh lawan bicaranya untuk diam. 

"Setelah lo buat gue mabuk, kenapa lo menghilang? Kenapa lo gak mengamankan gue, Fan?" 

"Gue juga gak tahu. Pikiran gue sedang kacau, Bro. Jadi gue juga gak ingat apa-apa."

"Terus gimana nasib tuh cewek, ya?" ujar Zidan memijat pelipisnya pelan.

"Lo harus nikahin dia. Y--ya lo ... harus tanggung jawab, Bro. I--iya, kan?"

"Nyokap gue memang pengen gue nikah cepat, tapi gak mungkin, kan, gue nikah sama cewek gak jelas dan murahan kayak gitu." 

"Eits, tapi lo udah merenggut kesucian dia, Bro. Lo mesti tanggung jawab, dong."

"Emang lo yakin dia masih suci? Cewek suka main ke club, pasti dia udah pernah melakukan hal yang sama berulang kali."

"Ya, tapi, kan ... terserah lo, deh, gue balik ke ruangan dulu. Masih banyak kerjaan yang belum gue selesein."

"Hmm."

Zidan kembali memijat pelipisnya. Apakah ia harus mencari dan menemui gadis itu? Apakah ia harus bertanggung jawab? Zidan sangat pusing memikirkannya.

***

Setelah hampir seharian tidak keluar kamar. Akhirnya, Sansan memilih keluar kamar juga, karena perutnya yang sudah keroncongan belum diisi sesuap nasi pun dari pagi. Daripada nanti ia sakit, lebih baik Sansan makan saja. 

"Sayang, gimana keadaannya, Nak?" tanya Nuni khawatir.

"Ng--udah baikan kok, Nek."

"Ah, syukurlah. Kamu udah makan?"

"Ini baru mau makan, Nek."

"Mau Nenek ambilin?"

"Eh, nggak usah, Nek. Biar aku ambil sendiri aja."

"Ya sudah."

Sansan berjalan ke dapur dan mengambil makanan membawanya ke meja makan. Sansan menghabisi satu piring nasi dengan cepat. Peluh besae membasahi pelipisnya.

"Alhamdulillah, kenyang," ucap Sansan mengusap perutnya.

Setelah itu, ia berjalan ke sofa ruang keluarga tempat neneknya duduk.

"Nek, aku mau ke luar bentar. Ke rumahnya Atid."

"Jangan pulang malam-malam, ya."

"Oke, Nek. Aku pamit, ya. Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

Sansan menarik tas kecilnya di atas meja. Ia harus ke rumah Atid—sahabat Sansan—karena ia membutuhkan pertolongan sahabatnya itu. 

Seperti biasa, Sansan mengendarai motornya jika bepergian. Ada satu mobil dan dua motor di bagasi rumahnya, tetapi Sansan lebih memilih memakai motor.

***

"Tumben-tumbenan lo ke sini, San." Kalimat itu merupakan kalimat sambutan dari sang pemilik rumah saat mendapati Sansan di depan rumahnya. Sansan hanya mendengkus pelan, lalu langsung masuk ke dalam tanpa disuruh.

"Raqib mana?" tanya Sansan.

"Ke pasar sama nyokap gue," jawab Atid.

Raqib dan Atid adalah saudara kembar tak seiras, karena Raqib adalah perempuan, sedangkan Atid adalah laki-laki. 

Raqibta Nasima dan Atid Nasima. Anak dari Amira—tantenya Sansan atau adik dari ibu kandung Sansan.

Ya, mereka adalah sepupuan dan juga bersahabat sejak kecil. Sansan selalu menyebutkan jika ia bersahabat dengan dua malaikat. Ya, seperti kedua sepupunya maksudnya. Nama yang diberikan Amira sangatlah epick.

"Ngomong-ngomong, ngapain lo ke sini? Kayak gak ada kerjaan aja lo."

"Gue pengen lo bantuin gue."

"Bantu apaan? Gue mager, nih. Tugas kuliah gue numpuk. Lo jangan minta bantuan macam-macam, ya!"

"Ish, sok sibuk banget sih, lo. Mana sini tugas lo, biar gue yang kerjain, asal lo mau bantuin gue."

"Wih, yang bener, nih? Eh, emangnya lo ngerti?"

"Ah, udah, deh. Gitu amat lo sama gue. Mau gak, nih, bantuin gue? Ya maulah, ya. Kalau nggak gue tonjok lo."

"Serem amat, Neng. Ya udah, bantu apaan?"

"Lo harus cari orang ini," ucap Sansan memberikan kartu nama kepada Atid yang langsung diambil oleh pria itu.

"Siapa, nih?"

"Udah, cari aja. Lo mesti cari tahu dia orangnya gimana, terus apa kepribadian dia dan apa hal-hal yang sering dia lakukan."

"Kenapa bukan lo aja yang cari nih orang?"

"Gue maunya lo yang cari. Niat bantuin gak, sih?"

"Iya-iya. Emang dia siapa, sih?"

"Udah, entar lo juga tahu dia siapa."

"Hmm."

Selang beberapa menit kemudian. Raqib datang bersama Amira sambil membawa dua kantong plastik besar di tangan mereka.

"Lah, San? Sejak kapan lo dimari? Mau ngutang lagi, ya?" tanya Raqib dengan logat candaannya.

"Hai, Tante," sapa Sansan salim dengan Amira tanpa menghiraukan ucapan Raqib. 

"Hai, Sayang." 

"Dih, sombong amat lo, San."

"Iya. Gue mau ngutang lagi. Sanggup berapa lo mau minjemin gue?" 

"Canda, Sist. Pa kabar?" Raqib lalu memeluk Sansan. Gadis tomboy itu memang hobi bercanda.

"Baik."

"San, mau makan apa? Mau Tante buatin nasi goreng?"

"Ah, nggak usah deh, Tante. Aku udah makan kok tadi."

"Ya udah, Tante ke dalam dulu, ya."

"Iya, Tante.

Raqib menarik tangan Sansan duduk di sofa. "Cerita aja, lo ngapain ke sini?" tanya Raqib penasaran.

"Ra, lo kenal nih orang, gak?" tanya Atid memberikan kartu nama itu pada Raqib.

Mata Raqib melebar melihat kartu nama itu. "Pak Zidan?" ucapnya terkejut.

"Lo kenal?" 

***

Hallo. Yuk, baca lagi next chapter. Semoga suka, ya. Bantuin Sansan nemuin Zidan, yuk. 

Bagi yang nanya, nikah dadakannya sesuai judulnya kapan? Tungguin aja. Karena ga mungkin kan nikah tanpa persiapan wakaka. Mari kita cari tahu apa arti judul Suddenly Married ini.

Terima kasih yang udah mau baca.

Salam hangat,

~Amalia Ulan

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status