"Gimana rasanya? Enak, ‘kan?" Juna menyantap mie kuah kari ayam sambil tersenyum evil melirik perempuan yang duduk di hadapannya. "Ini tuh makanan paling nikmat di tanggal tua. Ah, ralat! Bukan cuma di tanggal tua, tapi dimakan setiap hari juga enggak bakalan bosan, soalnya setiap hari adalah tanggal tua bagi saya dan juga keluarga. Hehehe." Diam-diam Juna memperhatikan ekspresi Airish. Berharap menemukan ketidaksukaan di balik wajah wanita itu. Namun, Airish malah terlihat menikmati mie kuah tersebut alih-alih merasa mual dan memuntahkan isinya. "Ini enak," kata perempuan itu. Juna tampak kecewa. Ini jelas di luar perkiraan. Namun, tidak hanya sampai di situ. Masih ada cara lain yang bisa Juna lakukan untuk membuat Airish ilfeel. "Ada satu ritual lagi untuk menikmati mie instan." "Ritual apa?" "Tunggu sebentar." Juna bangkit berdiri, lalu melangkah menuju dapur. Selang beberapa saat, pemuda itu sudah kembali sambil membawa semangkuk nasi di tangannya. "TARAAA!" Dia memperliha
'Pacar?'"Iya, Juna itu pacarku. Kenapa? Ada yang salah?" Airish tersenyum licik, sedangkan lawan bicaranya terdiam beberapa saat.Sampai akhirnya, panggilan terputus secara sepihak. Airish menjauhkan ponsel milik Juna dari telinganya."Cih! Pasti sekarang gadis itu cuma bisa nangis di pojokan kamar," ucap Airish seraya berdecih sinis.Selang beberapa menit, Juna kembali menghampiri Airish setelah keluar dari toilet. Dia cukup terkejut ketika melihat mie dan nasi Airish sudah habis duluan."Saya pikir kamu nggak suka." Pemuda itu berkomentar seraya melirik mangkuk di atas meja yang sudah bersih.Airish menjawab, "Apa sebelumnya aku pernah bilang kalau aku enggak suka mie instan?" Alisnya berjengit naik. "Aku suka, hanya saja enggak bagus kalau dikonsumsi terlalu sering."Juna hanya manggut-manggut, lalu melanjutkan kegiatan menyantap mie dan nasi miliknya."Tadi gadis itu menghubungimu."Perkataan Airish membuat Juna menghentikan pergerakannya. Sejenak pria itu menoleh pada Airish yang
"Nanti malam?" tanya Juna. Airish mengangguk memberi jawaban.Lantas Juna terkekeh sinis. "Kenapa bukan sekarang saja?" tantangnya. "Saya rasa, lebih cepat lebih baik.""Oh, ya ampun! Bisakah kamu berhenti menggunakan kata 'saya' untuk menyebut diri sendiri? Aku merasa seperti sedang bicara dengan tukang sedot WC," protesnya.Juna mengerjap sesaat, lalu mengangguk paham. "Oke!" balasnya. "Jadi, apa bisa kita mulai sekarang?"Ucapan Juna membuat Airish mengernyit, sama sekali tidak menyangka bahwa Juna akan menanggapi seagresif itu."Aku lebih suka tindakan langsung dibandingkan hanya berkata-kata," ucap Airish.Diam sejenak. Sampai akhirnya, pemuda tampan itu bangkit dari posisi duduknya dan melangkah mendekati Airish. Berdiri di hadapan Airish, melingkarkan jemari pada pergelangan tangan Airish, menarik Airish untuk kemudian dia dorong tubuh gadis itu hingga membentur tembok apartemen.Airish tertegun. Memperhatikan mata elang Juna yang menatapnya dalam jarak sedekat ini, terlebih lag
Tanpa bicara panjang-lebar, Juna segera turun dari mobil dan menghampiri dua insan berlawanan jenis yang baru saja keluar dari kafe.Airish tak tinggal diam, melainkan ikut turun dari mobil menyusul kepergian Juna yang entah mau menemui siapa."Wah ... nggak nyangka ya kita bisa ketemu di sini," ucap Juna saat berdiri tepat di hadapan dua orang tersebut."Ju-na?" Gadis itu, Nayla membulatkan mata melihat sosok Juna, sedangkan laki-laki yang sedang bersama Nayla tampak memasang ekspresi bingung."Dia siapa?" tanya Reno, pacar baru Nayla—atau mungkin tunangan?Nayla tergugu. "Di-dia ... bukan siapa-siapa, ‘kok," jawabnya seraya menelan ludah dengan susah payah.Alih-alih marah atau membabi-buta, Juna justru menunjukkan senyuman enteng seakan ini bukanlah apa-apa. "Yakin aku bukan siapa-siapa?" tanyanya.Di sisi lain, Airish yang berdiri di samping Juna hanya fokus menjadi pendengar. Diam-diam mencoba membaca situasi dan mencari tahu siapa gadis yang saat ini sedang bicara dengan Juna.N
"Jadi, sejak kapan kalian berpacaran?" Airish bertanya kepada dua manusia di hadapannya, sambil memotong daging panggang yang telah dia pesan.Nayla tidak mengeluarkan sepatah kata pun, sehingga Reno mewakili gadis itu untuk menjawab, "Belum lama. Sekitar dua bulan yang lalu.""Dua bulan?" tukas Juna. Pernyataan Reno membuatnya berdecih, yang mana hal itu mengesahkan bahwa Nayla sudah mengkhianati cintanya."Kenapa? Kok, kelihatan kaget gitu?" tanya Reno yang baru saja menelan makanan yang dia kunyah.Sejenak Juna terkekeh pelan, mengerling, lalu kembali menatap Reno. "Nggak pa-pa. Jaga baik-baik Nayla, ya. Dia tuh orangnya setiaaa banget."Nayla hanya bisa menunduk seraya meremas gelas tinggi berisi air putih di atas meja. Menelan ludah dengan susah payah, menahan hasrat ingin muntah karena mendengar ucapan Juna yang sukses membuat isi lambungnya terasa penuh seketika.Entah apa tujuan Juna melontarkan kalimat satire tersebut, yang pasti Nayla merasa seperti dikuliti hidup-hidup."Ud
Sampai di area parkir, barulah Juna melepaskan Airish dengan gerakan yang terbilang kasar—sehingga gadis itu lagi-lagi meringis seraya memegangi lengan."Kamu kenapa, ‘sih? Kasar banget," ucap Airish tidak terima."Aku kenapa?" Juna melotot tajam, merasa perlakuannya terhadap Airish sangatlah wajar. "Kamu yang kenapa?!" hardiknya. Airish tersentak karena kaget dibentak oleh Juna."Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan barusan?" Juna mengajukan pertanyaan retoris, dan gadis manis di hadapannya itu menganggukkan kepala."Ada yang salah?"Lantas Juna menengadahkan kepala, menatap langit di siang hari yang mulai mendung, karena ini merupakan musim hujan di penghujung tahun. "Masih aja nanya," ucapnya sambil terkekeh gusar.Airish mencoba santai. Menyandarkan tubuh pada sisi mobil yang terparkir di samping kanannya. "Aku nggak merasa ada yang salah. Kalaupun ada, mungkin kamu bisa menjelaskannya pelan-pelan.""Kesalahanmu itu jelas, Rish!" Juna mengingatkan, "Kamu bohong di depan Nayla d
"Antar aku ke rumah Juna sekarang." Airish baru saja masuk ke dalam mobil dan duduk di samping jok pengemudi, tepat ketika dia mengatakan kalimat itu kepada Elvian."Untuk apa?" Pria itu sudah menyalakan mesin, tapi belum menginjak pedal gas.Gadis itu menoleh, menusuk asisten pribadinya melalui tatapan yang dalam dan tajam. "Apa sekarang kamu punya tugas baru, yaitu bertanya banyak hal dan juga ikut campur urusanku?"Sontak Elvian terkekeh, "Apa pun yang menjadi urusanmu, itu adalah urusanku juga, ‘kan? Sembilan puluh lima persen masalah dalam hidupmu selalu aku yang menyelesaikannya. Anda lupa, Nona?"Hening. Hanya ada raut datar yang mencekam di balik wajah Airish, dan itu membuat Elvian bergidik ngeri karena sadar sudah salah bicara pada atasan killer-nya yang angkuh itu."Cepat bawa aku ke rumah Juna dan jangan banyak tanya, sebelum aku menyuruh seseorang memesan batu nisan atas nama Elvian Nuraga!"Siap, laksanakan!Elvian tak lagi banyak bicara. Segera menginjak pedal gas, menu
"Pacar?" tukas Diana. Bola matanya beralih memandang Juna, menunggu klarifikasi dari pemuda itu mengenai pernyataan Airish yang sulit dipercaya. "Jun, apa itu benar?"Juna sadar betul, ibunya butuh penjelasan. Namun, dia juga bingung harus menjawab apa, sehingga memutuskan untuk bungkam."Kenapa diam? Jawab Ibu, Jun! Apa benar gadis cantik ini adalah pacar baru kamu?" Diana kembali mendesak anak pertamanya agar mau mengatakan yang sejujurnya.Alih-alih menjawab, Juna malah menguliti Airish dengan tatapan elang yang membunuh.Sayangnya, itu tidak berarti apa-apa bagi Airish. Yang dilakukan gadis itu hanyalah mengulas senyuman miring seraya berkata, "Just tell the truth, Babe. Ibumu, yang mana nantinya akan menjadi ibuku juga, perlu tahu soal hubungan kita yang sebenarnya. Cepat beritahu Mommy kalau kita memang pacaran, dan jangan berdalih.""Jun?" Lagi, Diana tidak sedikit pun memberi ruang bagi Juna untuk mengabaikan tanya yang belum terjawab.Menelan ludah sejenak, lalu membalas tatap