Di lembah Artha, fajar tidak pernah benar-benar datang—hanya kabut abu-abu yang menebal, lalu meredup lagi. Namun di dalam kubah tanah liat, cahaya emas di dada Long Yichen tetap berdenyut, menandakan fragmen pertama telah aktif. Bayi itu kini mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan kekuatan yang tidak lazim: ketika ia menendang udara, hembusan angin keluar dari telapak kakinya, menumbangkan botol kosong di sudut ruangan.
Granny Mei melihat ke arah Lin Hu, Mei Xue, dan Kael. “Tiga hari. Hari pertama: stabilitas. Hari kedua: mobilitas. Hari ketiga: resonansi fragmen. Kita mulai.” Hari pertama: stabilitas. Latihan stabilisasi inti jiwa dilakukan di tepi jurang batu tajam. Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune datar sebesar piring. Jika bayi itu menangis, rune akan menyerap getaran dan menjatuhkannya ke jurang—hanya beberapa meter, cukup untuk membangunkan naluri terbang naga. Jika ia tenang, rune akan menebalkan, memperkuat fragmen. Pertama, bayi itu menangis. Jurang bergema. Namun di tengah tangis, cahaya emas di dadanya berkedip, membentuk lapisan udara tipis seperti balon. Long Yichen melayang selama tiga detik—lalu jatuh pelan kembali ke batu. Granny Mei tersenyum. “Bagus. Lapisan pelindung otomatis aktif. Hari pertama selesai.” Hari kedua: mobilitas. Tujuan: membuat bayi yang baru berusia tiga hari bisa berjalan lima langkah tanpa jatuh. Tempat latihan: dataran batu retak yang dipenuhi rune kuno. Setiap rune akan muncul di bawah kaki Long Yichen ketika ia melangkah. Jika rune tidak menyala, batu akan runtuh. Lin Hu berlutut di ujung dataran, menggenggam mainan bulu burung hitam—hadiah yang biasa digunakan untuk melatih anak serigala. Ia mengayunkan mainan itu ke kiri dan ke kanan, mencoba menarik perhatian Long Yichen. Mei Xue berdiri di sisi kanan, siap menangkap jika bayi itu jatuh. Kael memegang tongkat berisi racun penenang—untuk memastikan bayi tidak menangis terlalu keras, sehingga rune tetap stabil. Long Yichen menatap mainan itu, matanya merah berbinar. Ia mengangkat tangan kecil—lalu menendang udara. Tubuhnya melompat maju satu langkah. Rune di bawah kakinya menyala hijau. Batu tetap kokoh. Langkah kedua. Rune menyala kuning. Ketiga. Merah. Keempat. Ungu. Kelima. Emas. Ketika kaki terakhir menyentuh tanah, seluruh dataran batu bersinar. Cahaya emas membentuk silinder kecil di sekitar Long Yichen—seolah batu-batu itu memberikan hormat. Bayi itu tertawa kecil, suaranya seperti denting lonceng kristal yang jatuh di atas marmer. Lin Hu melemparkan mainan itu ke udara. Long Yichen menendang lagi—dan kali ini, tanpa sengaja, ia memecahkan mainan itu menjadi serpihan bulu yang melayang seperti salju. Mei Xue menatap serpihan itu. “Dia baru berusia tiga hari, dan sudah bisa memecahkan benda dengan tendangan udara.” Granny Mei tersenyum. “Hari kedua selesai.” Hari ketiga: resonansi fragmen. Tujuan: membangkitkan fragmen kedua—fragmen yang bersembunyi di darah bayi, namun tertutup oleh trauma kematian di surga. Tempat: Gua Rune Tua, tiga kilometer di bawah lembah. Gua itu dipenuhi stalaktit kristal yang menyala redup. Di tengah gua, terdapat kolam darah kristal—darah naga yang terperangkap selama ribuan tahun, membeku namun tetap berdenyut. Granny Mei membawa Long Yichen ke tepi kolam. Ia meneteskan tiga tetes darah bayi ke dalam kolam. Darah itu tidak tercampur, melainkan membentuk pola naga yang melingkar. Kristal stalaktit mulai bergetar, mengeluarkan suara seperti nyanyian wanita yang berduka. Lin Hu, Mei Xue, dan Kael berdiri di luar lingkaran, siap menangkap jika bayi itu terguncang terlalu keras. Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune di tengah kolam. Ia mulai melantunkan mantra kedua—lebih dalam, lebih gelap, lebih lama. Mantra itu berbunyi seperti guntur yang terperangkap dalam gua. Tiba-tiba, kolam darah kristal mulai mendidih. Darah kristal naik, membentuk silinder merah di sekitar Long Yichen. Di dalam silinder, bayi itu menatap kosong—seolah melihat kenangan yang tidak dimilikinya. Kilas balik: Wajah seorang wanita berseragam emas—kakak tertuanya, Xue Lian—menatapnya dengan mata berlinang air mata. “Maaf, adikku. Tapi surga tidak butuh Kaisar yang punya masa lalu.” Pedang putih menembus dadanya. Darah emas menyembur. Formasi Segi Tujuh menyala. Tubuhnya hancur. Namun sebelum kegelapan menyelubungi, ia sempat melihat tujuh sosok berdiri di atas pilar cahaya—menatapnya dengan tatapan kosong. Bayi itu menangis. Tangisan itu kali ini tidak seperti raungan naga, melainkan tangisan manusia yang baru saja kehilangan segalanya. Darah kristal yang naik tadi turun kembali, masuk ke dalam tubuh bayi. Di dada bayi, cahaya emas tadi kini berubah menjadi dua cahaya—cahaya pertama tetap di dada, cahaya kedua muncul di telapak tangan kanan, membentuk rune kecil berbentuk pedang. Granny Mei menatap rune itu. “Fragmen kedua. Inginan: untuk memegang pedang kembali.” Di luar gua, Fang Yu dan lima rekannya menatap langit. Mereka bisa merasakan getaran kedua yang baru saja terjadi. Cahaya di tangan kanan Long Yichen—meski tersembunyi di dalam gua—terasa seperti jarum yang menusuk jauh ke surga. Fang Yu mengangkat tangan. “Pemangsa Jiwa akan tiba malam ini.” Salah satu rekannya—pria berpostur kecil—menggerutu. “Kita tunggu di sini?” Fang Yu menggeleng. “Kita buat perangkap. Kita tunggu di jalan menuju gua. Kita pastikan bahwa Long Yichen tidak akan pernah keluar hidup-hidup.” Di langit, asap hitam membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen kedua baru saja bangkit, dan kali ini tidak akan ada ampun.Fajar di Hutan Bambu Qi Xian terasa dingin seperti air es yang menetes dari urun daun. Kabut putih naik perlahan, membawa bau tanah basah dan asap unggun tipis. Di gubuk kayu tua, Long Yichen duduk di atas tikar anyaman, matanya merah delima menatap api kecil yang berkobar. Di dalam api, bayangan pedang berkelok-kelok, seolah menari mengikuti irama detak jantungnya yang baru saja berkata: “Feng…”Granny Mei berlutut di sampingnya, menekan telunjuk ke dahi bayi. “Namamu adalah Xue Feng. Tapi kau Long Yichen sekarang. Ingat dua nama—karena dua dunia menuntutmu.”Bayi itu mengejutkan: ia mengangguk. Perlahan, tapi pasti.Di luar gubuk, Lin Hu mengawasi langit. Telinganya bergerak-gerak, menangkap desing angin yang membawa aroma api ungu. “Burung api pengintai,” desisnya. “Tiga ekor. Jarak lima kilometer, kecepatan tinggi.”Mei Xue muncul dari balik pohon bambu, membawa selembar kristal tipis. “Sinyal resonansi pecahan inti—kuat. Mereka mengunci posisi kita.”Kael melempar kantung racun k
Lorong dalam Gua Rune Tua bergetar seperti tali layang yang ditarik badai. Batu rune di dinding retak satu per satu, melepaskan serpihan kristal yang melayang seperti kupu-kupu berdarah. Portal darah berdiameter tiga meter berdenyut di ujung lorong—permukaannya seperti kaca cair yang dipanaskan dari dalam, kadang memunculkan wajah bayi yang menangis, kadang wajah naga yang menyeram.Granny Mei berlari terhuyung-huyung, Long Yichen di gendongan kain yang diikat di dadanya. Darah dari luka di lengan bawahnya menetes ke tanah, membentuk jejak cahaya merah yang langsung diserap batu—seolah gua sendiri menuntun mereka menuju portal.“Tiga detik lagi!” teriak Mei Xue dari belakang. Ia melempar rune penghalang terakhir—batu rune melebur menjadi dinding kristal setebal satu meter, menutup lorong. Sekejap kemudian, suara dentuman keras bergema: Lei Zhen versi mini Pemangsa Jiwa menabrak dinding, cakar batunya menyisir permukaan hingga terkelupas serpihan kristal seperti kuku kucing.Lin Hu ber
Gua Rune Tua, tengah malam kedua.Angin topan dari sayap Pemangsa Jiwa menerobos lorong batu, menyeret abu kristal hingga berkilauan seperti hujan emas. Di depan kolam darah kristal, Long Yichen—bayi berusia empat hari—duduk tegak di pangkuan Granny Mei. Matanya merah delima menatap ke luar: lima siluet berseragam emas melangkah perlahan, di belakangnya bayang-bayang burung batu sebesar rumah.Fang Yu berdiri paling depan, tongkat rune retak di tangan kirinya. “Keluar,” katanya datar. “Aku tahu kau punya pecahan inti. Kami akan mengambilnya—bersama bayi itu.”Granny Mei mengangkat punggungnya. Darah segar mengalir dari luka di telapak tangan—ia meneteskannya ke kolam. Darah kristal mendidih kembali, membentuk lapisan tembus pandang berwarna merah delima di depan mereka.Mei Xue berkata pelan, “Kita punya satu menit sebelum lapisan pecah.”Lin Hu menggeram, taring serigala terlihat. “Satu menit cukup.”Langkah 1 – Bayi menari.Granny Mei meletakkan Long Yichen di atas batu rune datar.
Gua Rune Tua, tengah malam.Suara batu yang retak masih bergema di lorong-lorong sempit. Fang Yu menatap retakan halus pada tongkat rune-nya—seperti jaring laba-laba emas yang menyebar dari titik tumbukan pedang bayi tadi. Ia menekan ujung jari pada retakan; aura hangat menusuk kulit, membawa kilas kenangan tujuh abad silam.Kilas itu datang kilat: api ungu yang menjilat langit ke-9, Xue Feng berdiri di puncak awan, pedang putih panjang terhunus di tangan kanan. Di hulu pedang, rune Tian Qiong bersinar terang—rune yang ditulis oleh tangan Fang Yu sendiri, dulu, ketika ia masih berlutut di hadapan Kaisar sebagai “Prajurit Bayangan”.Fang Yu menutup mata, menahan getaran yang menggetarkan tulangnya. Ia tahu persis: pedang bayi itu bukan tiruan. Itulah inti meteor yang seharusnya telah ia hancurkan bersama tubuh Xue Feng.Lima tahun lalu – Istana Tian Qiong, malam pengkhianatan.Fang Yu mengangkat cawan lava surgawi. Di dalamnya, inti meteor berbentuk telur sebesar kepalan tangan berdeny
Senja di Lembah Artha bukanlah kemerah-merahan biasa—ia tenggelam dalam ungu gelap, bergemuruh seperti ombak yang siap menelan darat. Di langit rendah, awan asap hitam berputar mengelilingi gunung berapi mati, menutupi sisa cahaya senja dengan cepat. Di atas tanah retak, lima sosok berseragam emas berdiri di tengah formasi lingkaran rune tersembunyi—masing-masing memegang kristal hitam berdenyut, seolah jantung iblis yang baru saja dicabut. Di tengah formasi, Fang Yu menatap ke arah Gua Rune Tua, menunggu satu hal: matahari sepenuhnya tenggelam.Di dalam gua, Granny Mei merasakan denyut aneh di ubun-ubunnya. Ia mengangkat kepala, menatap langit gua yang tinggi. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” bisiknya.Lin Hu yang sedang menggendong Long Yichen—sekarang sudah bisa duduk tegak di pangkuannya—mengencangkan lengan. “Berapa banyak?”“Lima,” jawab Mei Xue, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Tapi satu di antaranya membawa sesuatu yang bukan manusia.”Kael menggerutu, m
Di lembah Artha, fajar tidak pernah benar-benar datang—hanya kabut abu-abu yang menebal, lalu meredup lagi. Namun di dalam kubah tanah liat, cahaya emas di dada Long Yichen tetap berdenyut, menandakan fragmen pertama telah aktif. Bayi itu kini mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan kekuatan yang tidak lazim: ketika ia menendang udara, hembusan angin keluar dari telapak kakinya, menumbangkan botol kosong di sudut ruangan.Granny Mei melihat ke arah Lin Hu, Mei Xue, dan Kael. “Tiga hari. Hari pertama: stabilitas. Hari kedua: mobilitas. Hari ketiga: resonansi fragmen. Kita mulai.”Hari pertama: stabilitas.Latihan stabilisasi inti jiwa dilakukan di tepi jurang batu tajam. Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune datar sebesar piring. Jika bayi itu menangis, rune akan menyerap getaran dan menjatuhkannya ke jurang—hanya beberapa meter, cukup untuk membangunkan naluri terbang naga. Jika ia tenang, rune akan menebalkan, memperkuat fragmen.Pertama, bayi itu menangis. Jurang be