LOGINMalam ketiga setelah kelahiran Long Yichen, lembah Artha terasa lebih dingin. Asap hitam yang biasanya bergulung pelan kini berputar cepat, seolah menari mengikuti irama jantung bayi yang baru saja diputuskan untuk “bangkit” dalam tiga hari. Di dalam kubah tanah liat, api kecil berubah biru—tanda bahwa ritual pemanggilan fragmen jiwa akan dimulai.
Granny Mei duduk di lingkaran rune tua yang digambar dengan darahnya sendiri. Tiga cawan kecil terletak di depannya: 1. Cawan pertama berisi setetes darah naga tua—darah yang masih berdenyut seperti cairan emas panas. 2. Cawan kedua berisi air mata bulan—cairan bening yang berkilauan di gelap, berasal dari batu bulan yang hanya muncul saat gerhana penuh. 3. Cawan ketiga kosong—menunggu nyala api dari gunung berapi yang mati. Lin Hu kembali lebih dulu. Dada dan lengannya tergores tajam, bekas cakar naga tua yang tidur di gua Bawah Tanah. Di punggungnya tergeletuk kantung kulit berisi darah naga—masih berdenyut seperti jantung kecil. Ia meletakkannya dengan hati-hati di cawan pertama. “Naga itu hampir memakan aku,” katanya, napasnya berbunyi seperti deru angin. “Untung aku ingat mantra tidur kuno Granny.” Mei Xue datang berikutnya, membawa botol kaca kecil berisi cairan bening yang berkilauan seperti permata. “Air mata bulan,” katanya, meletakkan botol di cawan kedua. “Aku harus menunggu gerhana penuh di puncak Gunung Kaca. Satu tetes saja—tapi cukup untuk membangkitkan ingatan terdalam.” Kael datang terakhir, membawa sebuah batu hitam berlubang di tengahnya. Ia meletakkan batu itu di tengah lingkaran rune, lalu meneteskan tiga tetes racun hijau ke dalam lubang. Batu itu mulai berdenyut, lalu meledak menjadi nyala api hijau—api yang tidak panas, namun terasa menusuk tulang. “Api dari gunung berapi yang mati,” kata Kael, suaranya serak. “Hanya akan bertahan satu jam. Setelah itu, kita harus selesai.” Granny Mei mengangguk. Ia mengambil Long Yichen dari pangkuan Lin Hu, menempatkannya di tengah lingkaran rune. Bayi itu tertidur pulen, tapi alisnya berkerut—seolah ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. “Kita mulai,” kata Granny Mei. Ritual dimulai. Granny Mei meletakkan telunjuknya di dahi Long Yichen. Ia mulai melantunkan mantra kuno—bukan dalam bahasa manusia, melainkan bahasa naga yang berbunyi seperti gemuruh guntur dan desir daun. Setiap suku kata keluar, darah naga di cawan pertama mulai berdenyut lebih cepat. Cahaya emas naik, membentuk silinder di sekitar bayi. Air mata bulan di cawan kedua mulai mendidih, mengeluarkan uap berkilau. Uap itu turun, menyentuh kulit bayi, seolah menenangkan api yang baru saja menyala. Api hijau dari batu Kael mulai menjalar, membentuk pola naga yang melingkar di sekitar bayi. Api itu tidak membakar kulit, melainkan menulis rune kuno di udara—rune yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang pernah mati sekali. Bayi itu tiba-tiba membuka mata. Matanya merah delima menatap langsung ke mata Granny Mei. Seolah ada kilas balik—sebuah wajah pria berseragam emas terbakar di atas pilar cahaya, menatap kehancuran yang baru saja dimulai. Granny Mei menatap kembali. “Ingat, Long Yichen. Ingat siapa dirimu.” Dari dalam dada bayi, terdengar suara—bukan suara bayi, melainkan suara dalam yang membuat seluruh kubah bergetar: “Aku… adalah Kaisar yang Terbuang.” Getaran itu menyebar ke seluruh lembah. Tanah di bawah kubah mulai retak. Asap hitam di langit berputar menjadi pusaran besar. Di kejauhan, burung gagak hitam terbang tergesa-gesa, meninggalkan sarang mereka. Di dalam kubah, Granny Mei menutup mantra. Api hijau padam. Darah naga dan air mata bulan menyatu, membentuk bola cahaya kecil yang masuk ke dada bayi. Tato rune di lengan bayi mulai berkilau—seolah ada api kecil yang baru saja dinyalakan. Bayi itu menutup mata, tertidur pulen kembali. Namun di dada bayi, terdapat cahaya kecil yang berdenyut—seperti jantung kedua. Granny Mei menatap bola cahaya itu. “Fragmen pertama,” ucapnya pelan. “Kekuatan tersembunyi yang akan tumbuh bersamamu.” Lin Hu menatap bayi. “Apa yang baru saja terjadi?” Granny Mei tersenyum tipis. “Long Yichen baru saja mengingat—setidaknya sebagian—siapa dirinya. Tapi masih ada tujuh fragmen lagi. Dan kita punya waktu tiga hari sebelum ‘Pemangsa Jiwa’ datang.” Mei Xue mengangguk. “Maka kita harus melatihnya. Tidak cukup hanya mengingat. Dia harus bisa berjalan, setidaknya.” Kael mengangkat alis. “Bayi yang baru saja lahir harus bisa berjalan dalam tiga hari?” Granny Mei menatap bayi. “Ini bukan bayi biasa. Ini naga yang baru saja dilahirkan ulang. Dan naga… selalu bangkit lebih cepat dari manusia.” Di kejauhan, lima sosok berseragam emas berdiri di atas batu rune yang retak. Mereka bisa merasakan getaran yang baru saja terjadi. Fang Yu menatap langit, wajahnya tanpa ekspresi. “Fragmen pertama sudah bangkit,” katanya. “Kita harus segera mengirim ‘Pemangsa Jiwa’.” Salah satu rekannya—pria berpostur kecil—mengangkat tangan. “Bagaimana jika kita serang langsung?” Fang Yu menggeleng. “Tidak. Kita tunggu. Kita pastikan bahwa Long Yichen tidak akan pernah mengingat seluruh dirinya. Kita akan hancurkan satu persatu fragmen itu—sebelum ia bangkit sepenuhnya.” Di langit, asap hitam membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen kedua baru saja mulai berdenyut, dan kali ini tidak akan ada ampun.Rawa selatan, 10:35. Kabut pagi sudah hilang, tapi cahaya MERAH dari mercusuar surga ke-3 masih menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas unggu di dadanya berkilat seperti takhta penuh, seolah matahari, malam, dan ungu bergabung dalam satu cahaya. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-3 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api, untuk pertempuran terakhir.Target: naik ke surga ke-4, menuju Istana Api, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri yang kini telah menyerah tapi masih menunggu untuk dimaafkan atau untuk dihancurkan total.Jalur: naik tangga api merah lewat Pintu Api menuju Dataran Api surga ke-4 lalu ke Istana Api yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal api merah sebesar telur, berdenyut seperti jantung api, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 10, da
Puncak Tangga Nama surga ke-3. Kabut ungu menyelimuti dataran batu giok putih. Di tengah dataran: Dewi Surga berdiri tegak, berjubah ungu tua bermahkota kristal, mata rubi merah berkilat, tangan menggenggam tongkat rune “Tujuh Langit Terkunci” level 9, berdenyut seperti jantung malam. Di belakangnya: Istana Kaca putih transparan, berkilat seperti es, di dalamnya fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, menunggu untuk diambil atau untuk menghancurkan yang mengambil.Di depan istana: Long Yichen berdiri tegak, kaki kecil menapak batu giok, mahkota hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakangnya: Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berlutut setengah, menatap ibu, seolah menatap takhta yang baru saja retak dan siap untuk diruntuhkan atau untuk dimaafkan.Angin surga ke-3 berhembus pelan, membawa aroma bunga surga yang tidak pernah tumbuh di dunia manusia, tapi juga membawa aroma darah yang pernah menetes di anak
Rawa selatan, 10:40. Kabut pagi mulai surut, tapi cahaya MERAH dari mercusuar menyala terang, mengejar rombongan yang bergerak cepat di tepi kanal. Long Yichen di pangkuan Granny Mei, mahkota putih hitam emas di dadanya berkilat seperti matahari dan malam bergabung. Di belakang mereka, suara dentangan genderang perang menggelegar, menandakan: pasukan surga ke-2 sudah bergerak, mengejar, menyiapkan pedang, menyiapkan api.Target: naik ke surga ke-3, menuju Istana Ibu, menuju fragmen kesebelas, menuju pengkhianat terakhir: Dewi Surga ibu kandungnya sendiri.Jalur: naik tangga angin putih lewat Pintu Angin Hitam menuju Dataran Nama surga ke-3 lalu ke Istana Ibu yang tersimpan fragmen kesebelas: kristal ungu tua sebesar telur, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi formasi “Tujuh Langit Terkunci” level 9, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” naga ungu tua level 9, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Waktu: 4 jam – sebelum matahari tenggelam sebelum mercusu
Dalam mercusuar besar “天”, 10:05. Pintu batu giok tertutup rapat di belakang Granny Mei, menahan suara derap pasukan di luar. Di ruang bawah tanah mercusuar, lorong batu hitam menyempit, lampu kristal merah berkedip pelan, memantalkan bayangan rombongan yang bergerak cepat. Granny Mei membawa Long Yichen di gendongan, mahkota hitam emas di dadanya redup tertutup kain, tapi denyutnya terasa seperti detak jantung kesepuluh yang baru saja lahir.Di depan mereka: pintu rune besar bertuliskan (Tian Lao – Penjara Langit), dikunci rune “Tujuh Langit Terkunci” level 7, hanya bisa dibuka dengan “izin keluar” bertanda tangan Dewan Surga – yang kini ada di tangan Granny Mei. Di belakang pintu: Ruang Tertutup Lantai B-3, tempat fragmen kesepuluh: kristal hitam sebesar kelereng, berdenyut seperti jantung malam, dikelilingi lingkaran rune “Tujuh Langit Terkunci” penuh, dan dijaga oleh “Tawanan Nama” – naga batu hitam level 7, mata rubi merah, tertidur tapi siap bangun jika nama asli terucap.Rencan
Puncak Tangga Nama, 09:55. Kabut putih menyelimuti mercusuar besar “天” yang berdenyut seperti jantung raksasa. Di depan pintu masuk batu giok putih lebar dua kelompok berdiri saling menatap seperti dua bayang bayang yang baru saja bangkit dari kenangan yang sama.Di kiri Long Yichen, bayi 9 hari, mahkota hitam emas di dadanya tertutup kain tapi denyutnya terasa seperti jantung kesembilan yang baru saja mengalahkan pedang. Di belakangnya Granny Mei, Lin Hu, Mei Xue, Kael berdiri tegak seperti tembok yang baru saja dibangun dari kenangan yang hilang.Di kanan Xue Lian, pedang Tian Qiong retak di tangan, mata dingin seperti es abadi tapi di dalamnya terdapat air mata yang tidak pernah jatuh. Di belakangnya Fang Yu, tongkat rune hampir habis, tapi tangan masih menggenggam racun terakhir seperti bayangan yang tidak pernah bisa dilepaskan.Di tengah mercusuar “天” berdenyut menunggu seperti menunggu dua nama yang baru saja kembali dan hanya satu yang akan masuk.Aturan surga hanya satu kelom
Dataran Nama, 08:35. Tangga emas seribu anak tangga berdenyut di bawah kaki Long Yichen, setiap pijakan memantulkan wajah bayi dan bayangan laki laki dewasa berseragam putih yang pedangnya retak. Di anak tangga ke tiga belas batu menangis, air mata biru meleleh, membentuk bintik yang berkilat seperti permata. Di anak tangga ke sembilan ratus sembilan puluh sembilan Xue Lian berlutut, pedang Tian Qiong yang kini hancur berkeping di tanah, matanya merah karena air mata bukan darah.Granny Mei berjalan di belakang bayi, napasnya teratur, tangan siap menangkap jika tangga goyang. Lin Hu, Mei Xue, Kael mengawasi kanan kiri, waspada terhadap singa emas yang mulai bergerak. Mercusuar besar di puncak berdenyut seperti jantung raksasa yang menunggu kepulangan.Setiap seratus anak tangga, Pijakan Nama muncul. Di pijakan ke seratus kilas balik muncul: Xue Feng remaja tersenyum pada kakaknya, tapi mata kakaknya kosong. Di pijakan ke dua ratus kilas balik: Xue Feng menatap ibunya di puncak, ibu m







