Home / Fantasi / Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang / Darah Naga, Air Mata Bulan, dan Api yang Mati

Share

Darah Naga, Air Mata Bulan, dan Api yang Mati

Author: OhmyTwizz
last update Huling Na-update: 2025-08-18 04:53:43

Malam ketiga setelah kelahiran Long Yichen, lembah Artha terasa lebih dingin. Asap hitam yang biasanya bergulung pelan kini berputar cepat, seolah menari mengikuti irama jantung bayi yang baru saja diputuskan untuk “bangkit” dalam tiga hari. Di dalam kubah tanah liat, api kecil berubah biru—tanda bahwa ritual pemanggilan fragmen jiwa akan dimulai.

Granny Mei duduk di lingkaran rune tua yang digambar dengan darahnya sendiri. Tiga cawan kecil terletak di depannya:

1. Cawan pertama berisi setetes darah naga tua—darah yang masih berdenyut seperti cairan emas panas.

2. Cawan kedua berisi air mata bulan—cairan bening yang berkilauan di gelap, berasal dari batu bulan yang hanya muncul saat gerhana penuh.

3. Cawan ketiga kosong—menunggu nyala api dari gunung berapi yang mati.

Lin Hu kembali lebih dulu. Dada dan lengannya tergores tajam, bekas cakar naga tua yang tidur di gua Bawah Tanah. Di punggungnya tergeletuk kantung kulit berisi darah naga—masih berdenyut seperti jantung kecil. Ia meletakkannya dengan hati-hati di cawan pertama.

“Naga itu hampir memakan aku,” katanya, napasnya berbunyi seperti deru angin. “Untung aku ingat mantra tidur kuno Granny.”

Mei Xue datang berikutnya, membawa botol kaca kecil berisi cairan bening yang berkilauan seperti permata. “Air mata bulan,” katanya, meletakkan botol di cawan kedua. “Aku harus menunggu gerhana penuh di puncak Gunung Kaca. Satu tetes saja—tapi cukup untuk membangkitkan ingatan terdalam.”

Kael datang terakhir, membawa sebuah batu hitam berlubang di tengahnya. Ia meletakkan batu itu di tengah lingkaran rune, lalu meneteskan tiga tetes racun hijau ke dalam lubang. Batu itu mulai berdenyut, lalu meledak menjadi nyala api hijau—api yang tidak panas, namun terasa menusuk tulang.

“Api dari gunung berapi yang mati,” kata Kael, suaranya serak. “Hanya akan bertahan satu jam. Setelah itu, kita harus selesai.”

Granny Mei mengangguk. Ia mengambil Long Yichen dari pangkuan Lin Hu, menempatkannya di tengah lingkaran rune. Bayi itu tertidur pulen, tapi alisnya berkerut—seolah ia tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.

“Kita mulai,” kata Granny Mei.

Ritual dimulai.

Granny Mei meletakkan telunjuknya di dahi Long Yichen. Ia mulai melantunkan mantra kuno—bukan dalam bahasa manusia, melainkan bahasa naga yang berbunyi seperti gemuruh guntur dan desir daun. Setiap suku kata keluar, darah naga di cawan pertama mulai berdenyut lebih cepat. Cahaya emas naik, membentuk silinder di sekitar bayi.

Air mata bulan di cawan kedua mulai mendidih, mengeluarkan uap berkilau. Uap itu turun, menyentuh kulit bayi, seolah menenangkan api yang baru saja menyala.

Api hijau dari batu Kael mulai menjalar, membentuk pola naga yang melingkar di sekitar bayi. Api itu tidak membakar kulit, melainkan menulis rune kuno di udara—rune yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang pernah mati sekali.

Bayi itu tiba-tiba membuka mata. Matanya merah delima menatap langsung ke mata Granny Mei. Seolah ada kilas balik—sebuah wajah pria berseragam emas terbakar di atas pilar cahaya, menatap kehancuran yang baru saja dimulai.

Granny Mei menatap kembali. “Ingat, Long Yichen. Ingat siapa dirimu.”

Dari dalam dada bayi, terdengar suara—bukan suara bayi, melainkan suara dalam yang membuat seluruh kubah bergetar: “Aku… adalah Kaisar yang Terbuang.”

Getaran itu menyebar ke seluruh lembah. Tanah di bawah kubah mulai retak. Asap hitam di langit berputar menjadi pusaran besar. Di kejauhan, burung gagak hitam terbang tergesa-gesa, meninggalkan sarang mereka.

Di dalam kubah, Granny Mei menutup mantra. Api hijau padam. Darah naga dan air mata bulan menyatu, membentuk bola cahaya kecil yang masuk ke dada bayi. Tato rune di lengan bayi mulai berkilau—seolah ada api kecil yang baru saja dinyalakan.

Bayi itu menutup mata, tertidur pulen kembali. Namun di dada bayi, terdapat cahaya kecil yang berdenyut—seperti jantung kedua.

Granny Mei menatap bola cahaya itu. “Fragmen pertama,” ucapnya pelan. “Kekuatan tersembunyi yang akan tumbuh bersamamu.”

Lin Hu menatap bayi. “Apa yang baru saja terjadi?”

Granny Mei tersenyum tipis. “Long Yichen baru saja mengingat—setidaknya sebagian—siapa dirinya. Tapi masih ada tujuh fragmen lagi. Dan kita punya waktu tiga hari sebelum ‘Pemangsa Jiwa’ datang.”

Mei Xue mengangguk. “Maka kita harus melatihnya. Tidak cukup hanya mengingat. Dia harus bisa berjalan, setidaknya.”

Kael mengangkat alis. “Bayi yang baru saja lahir harus bisa berjalan dalam tiga hari?”

Granny Mei menatap bayi. “Ini bukan bayi biasa. Ini naga yang baru saja dilahirkan ulang. Dan naga… selalu bangkit lebih cepat dari manusia.”

Di kejauhan, lima sosok berseragam emas berdiri di atas batu rune yang retak. Mereka bisa merasakan getaran yang baru saja terjadi. Fang Yu menatap langit, wajahnya tanpa ekspresi.

“Fragmen pertama sudah bangkit,” katanya. “Kita harus segera mengirim ‘Pemangsa Jiwa’.”

Salah satu rekannya—pria berpostur kecil—mengangkat tangan. “Bagaimana jika kita serang langsung?”

Fang Yu menggeleng. “Tidak. Kita tunggu. Kita pastikan bahwa Long Yichen tidak akan pernah mengingat seluruh dirinya. Kita akan hancurkan satu persatu fragmen itu—sebelum ia bangkit sepenuhnya.”

Di langit, asap hitam membentuk wajah naga yang menatap ke bawah—seolah mengingatkan dunia bahwa fragmen kedua baru saja mulai berdenyut, dan kali ini tidak akan ada ampun.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Nama yang Terucap, Bayang yang Datang

    Fajar di Hutan Bambu Qi Xian terasa dingin seperti air es yang menetes dari urun daun. Kabut putih naik perlahan, membawa bau tanah basah dan asap unggun tipis. Di gubuk kayu tua, Long Yichen duduk di atas tikar anyaman, matanya merah delima menatap api kecil yang berkobar. Di dalam api, bayangan pedang berkelok-kelok, seolah menari mengikuti irama detak jantungnya yang baru saja berkata: “Feng…”Granny Mei berlutut di sampingnya, menekan telunjuk ke dahi bayi. “Namamu adalah Xue Feng. Tapi kau Long Yichen sekarang. Ingat dua nama—karena dua dunia menuntutmu.”Bayi itu mengejutkan: ia mengangguk. Perlahan, tapi pasti.Di luar gubuk, Lin Hu mengawasi langit. Telinganya bergerak-gerak, menangkap desing angin yang membawa aroma api ungu. “Burung api pengintai,” desisnya. “Tiga ekor. Jarak lima kilometer, kecepatan tinggi.”Mei Xue muncul dari balik pohon bambu, membawa selembar kristal tipis. “Sinyal resonansi pecahan inti—kuat. Mereka mengunci posisi kita.”Kael melempar kantung racun k

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Portal Darah dan Nama yang Terlupakan

    Lorong dalam Gua Rune Tua bergetar seperti tali layang yang ditarik badai. Batu rune di dinding retak satu per satu, melepaskan serpihan kristal yang melayang seperti kupu-kupu berdarah. Portal darah berdiameter tiga meter berdenyut di ujung lorong—permukaannya seperti kaca cair yang dipanaskan dari dalam, kadang memunculkan wajah bayi yang menangis, kadang wajah naga yang menyeram.Granny Mei berlari terhuyung-huyung, Long Yichen di gendongan kain yang diikat di dadanya. Darah dari luka di lengan bawahnya menetes ke tanah, membentuk jejak cahaya merah yang langsung diserap batu—seolah gua sendiri menuntun mereka menuju portal.“Tiga detik lagi!” teriak Mei Xue dari belakang. Ia melempar rune penghalang terakhir—batu rune melebur menjadi dinding kristal setebal satu meter, menutup lorong. Sekejap kemudian, suara dentuman keras bergema: Lei Zhen versi mini Pemangsa Jiwa menabrak dinding, cakar batunya menyisir permukaan hingga terkelupas serpihan kristal seperti kuku kucing.Lin Hu ber

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Jegetan Bayi di Tengah Badai

    Gua Rune Tua, tengah malam kedua.Angin topan dari sayap Pemangsa Jiwa menerobos lorong batu, menyeret abu kristal hingga berkilauan seperti hujan emas. Di depan kolam darah kristal, Long Yichen—bayi berusia empat hari—duduk tegak di pangkuan Granny Mei. Matanya merah delima menatap ke luar: lima siluet berseragam emas melangkah perlahan, di belakangnya bayang-bayang burung batu sebesar rumah.Fang Yu berdiri paling depan, tongkat rune retak di tangan kirinya. “Keluar,” katanya datar. “Aku tahu kau punya pecahan inti. Kami akan mengambilnya—bersama bayi itu.”Granny Mei mengangkat punggungnya. Darah segar mengalir dari luka di telapak tangan—ia meneteskannya ke kolam. Darah kristal mendidih kembali, membentuk lapisan tembus pandang berwarna merah delima di depan mereka.Mei Xue berkata pelan, “Kita punya satu menit sebelum lapisan pecah.”Lin Hu menggeram, taring serigala terlihat. “Satu menit cukup.”Langkah 1 – Bayi menari.Granny Mei meletakkan Long Yichen di atas batu rune datar.

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pecahan Inti Meteor

    Gua Rune Tua, tengah malam.Suara batu yang retak masih bergema di lorong-lorong sempit. Fang Yu menatap retakan halus pada tongkat rune-nya—seperti jaring laba-laba emas yang menyebar dari titik tumbukan pedang bayi tadi. Ia menekan ujung jari pada retakan; aura hangat menusuk kulit, membawa kilas kenangan tujuh abad silam.Kilas itu datang kilat: api ungu yang menjilat langit ke-9, Xue Feng berdiri di puncak awan, pedang putih panjang terhunus di tangan kanan. Di hulu pedang, rune Tian Qiong bersinar terang—rune yang ditulis oleh tangan Fang Yu sendiri, dulu, ketika ia masih berlutut di hadapan Kaisar sebagai “Prajurit Bayangan”.Fang Yu menutup mata, menahan getaran yang menggetarkan tulangnya. Ia tahu persis: pedang bayi itu bukan tiruan. Itulah inti meteor yang seharusnya telah ia hancurkan bersama tubuh Xue Feng.Lima tahun lalu – Istana Tian Qiong, malam pengkhianatan.Fang Yu mengangkat cawan lava surgawi. Di dalamnya, inti meteor berbentuk telur sebesar kepalan tangan berdeny

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Pemangsa Jiwa datang dengan Senja

    Senja di Lembah Artha bukanlah kemerah-merahan biasa—ia tenggelam dalam ungu gelap, bergemuruh seperti ombak yang siap menelan darat. Di langit rendah, awan asap hitam berputar mengelilingi gunung berapi mati, menutupi sisa cahaya senja dengan cepat. Di atas tanah retak, lima sosok berseragam emas berdiri di tengah formasi lingkaran rune tersembunyi—masing-masing memegang kristal hitam berdenyut, seolah jantung iblis yang baru saja dicabut. Di tengah formasi, Fang Yu menatap ke arah Gua Rune Tua, menunggu satu hal: matahari sepenuhnya tenggelam.Di dalam gua, Granny Mei merasakan denyut aneh di ubun-ubunnya. Ia mengangkat kepala, menatap langit gua yang tinggi. “Mereka datang lebih cepat dari perkiraan,” bisiknya.Lin Hu yang sedang menggendong Long Yichen—sekarang sudah bisa duduk tegak di pangkuannya—mengencangkan lengan. “Berapa banyak?”“Lima,” jawab Mei Xue, jari-jarinya menari di atas permukaan batu. “Tapi satu di antaranya membawa sesuatu yang bukan manusia.”Kael menggerutu, m

  • Surga yang Berdarah : Reinkarnasi Sang Kaisar Terbuang   Hari Pertama Latihan

    Di lembah Artha, fajar tidak pernah benar-benar datang—hanya kabut abu-abu yang menebal, lalu meredup lagi. Namun di dalam kubah tanah liat, cahaya emas di dada Long Yichen tetap berdenyut, menandakan fragmen pertama telah aktif. Bayi itu kini mampu menggerakkan tangan dan kaki dengan kekuatan yang tidak lazim: ketika ia menendang udara, hembusan angin keluar dari telapak kakinya, menumbangkan botol kosong di sudut ruangan.Granny Mei melihat ke arah Lin Hu, Mei Xue, dan Kael. “Tiga hari. Hari pertama: stabilitas. Hari kedua: mobilitas. Hari ketiga: resonansi fragmen. Kita mulai.”Hari pertama: stabilitas.Latihan stabilisasi inti jiwa dilakukan di tepi jurang batu tajam. Granny Mei menempatkan Long Yichen di atas batu rune datar sebesar piring. Jika bayi itu menangis, rune akan menyerap getaran dan menjatuhkannya ke jurang—hanya beberapa meter, cukup untuk membangunkan naluri terbang naga. Jika ia tenang, rune akan menebalkan, memperkuat fragmen.Pertama, bayi itu menangis. Jurang be

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status